25 Agustus 2017
Seusai mengantar si kecil sekolah di TK Permata Bunda yang berlokasi di kompleks rumah, saya bertemu ibu Imelda dan anaknya, duduk di pinggir jalan. Ia terlihat lemas dan lesu. Napasnya terlihat turun naik.
Ibu Imelda pekerjaannya memulung. Kompleks rumah saya menjadi "wilayah" yang wajib dikelilinginya. Setiap hari ia mencari "harta" seperti botol bekas, gelas minuman bekas, dan kardus. Atau yang lainnya yang sekiranya bisa dijadikan uang.
Biasanya, beberapa anaknya yang masih kecil-kecil yang usianya masih di bawah 5 tahun, sering ikut. Saya tidak bisa membayangkan anak sekecil itu harus berjalan jauh mengitari kompleks. Saya saja yang dewasa terasa pegal. Â
Kali ini, anaknya yang kelima yang menemani. Ternyata Ibu Imelda tengah hamil 7 bulan. Dan, ini berarti kehamilan yang ke-8! Saya sudah berulangkali mengingatkan untuk tidak hamil lagi pada kehamilan sebelumnya.
Anaknya yang paling kecil saja baru berumur 18 bulan. Tapi apa mau dikata, ya hamil lagi. Padahal, suaminya juga bekerja sebagai pemulung, hanya beda wilayah saja. Beberapa anaknya ikut si ibu, beberapa anaknya yang lain ikut bapaknya. Berkeliling mencari barang-barang bekas yang bisa diuangkan.
Karena terlihat lemas begitu, saya mengajaknya mampir ke rumah. Berhubung si mbak belum belanja dan belum masak, saya suguhi mie instan dan teh manis hangat sambil menonton program acara di televisi di ruang tengah.
Saya sebenarnya sudah berpesan kepada si mbak, kalau bertemu Ibu Imelda dan anak-anaknya ajak makan di rumah. Suguhi saja yang ada di meja makan. Kalau belum masak, ya buatkan ceplok telur atau telur dadar.
"Mbak insyaallah dapat pahala juga karena menghidangkan makanan buat orang dhuafa," kata saya suatu ketika.
Setelah istirahat sejenak, ia pun pamit. Ia tersenyum bahagia, saya pun tersenyum bahagia. Saya lantas bersiap-siap melanjutkan aktivitas saya di luar rumah.
***
15 Januari 2019.
Saat itu, saya sedang di kamar. Saya mendengar ada yang mengucapkan salam berkali-kali di saat langit masih saja mendung. Saya pun beranjak untuk memastikan siapa gerangan.
Pintu rumah memang sedikit terbuka. Dari balik jendela saya melihat Ibu Imelda, pemulung yang biasa "beroperasi" di sekitar kompleks rumah.
Saya sudah lama juga tak bersua dengannya. Setiap dia ke rumah, saya kebetulan selalu tidak ada. Jadi, saya pun menyambutnya dan mempersilakannya masuk.
"Ibu ke mana aja, baru keliatan? tanya saya.
"Kemarin saya ke sini, cuma Bunda dari pagi nggak ada di rumah," jawabnya.
"Ooo..., kemarin itu saya ke RS Hermina Depok," kata saya.
Rupa-rupanya dia lagi hamil besar. Jelas saya kaget. Ya kagetlah karena ini kehamilannya yang ke-10 di saat anak-anaknya yang lain masih kecil-kecil. Nasihat saya tidak mempan juga, ternyata.
Bagaimana saya tidak gusar. Usia si ibu 39 tahun (ia menikah di usia yang masih muda, 16 tahun!). Sementara suaminya juga tidak punya pekerjaan tetap. Terkadang memulung di kompleks lain.
Tapi ya bagaimana lagi. Berbuih-buih saya menasihati untuk tidak hamil lagi dengan melihat banyak kondisi yang "tidak memungkinkan", ya ia tetap saja hamil.
Lalu saya bertanya apa yang bisa saya bantu? Ia pun menuturkan saat ini butuh beras. Setelah saya cari di dapur, ternyata saya juga tidak punya beras. Wadahnya kosong.
Akhirnya saya kasih "mentahnya" saja buat dibelikan beras dan beberapa bungkus mie instan. Setelah mengobrol ini itu, akhirnya ia pun pamit sambil mengucapkan terima kasih.
Ada kebahagian yang terpancar dari senyumnya, begitu pula saya, bahagia karena masih bisa berbagi.
***
25 Januari 2019.
Di saat saya merebah di kamar dengan hp di tangan, ada yang mengucapkan salam berulang kali. Saya pun meminta si mbak untuk melihat siapa gerangan di luar sana.
"Siapa mbak?" tanya saya.
"Cari ibu," jawabnya. Siapa ya? Kalau tetangga jauh saya, Dewi Syafrianis, biasanya main masuk. Jadi, tidak mungkinlah kawan saya itu.
Setelah memakai jilbab, saya pun menghampiri. Ternyata Ibu Imelda. Kali ini ia menggendong bayi.
"Sudah lahiran ya?" kata saya. Ternyata si ibu sudah melahirkan seminggu lalu melalui operasi caesar. Jatanya sih karena air ketubannya sudah bocor.
"Ya ampun, bayi merah gini dibawa-bawa?" kata saya. Ia diantar anak ketiganya, lelaki, yang duduk di kelas 6 SD. Dia membawa buku pasien yang bertuliskan nama rumah sakit.
"Jadi ini anak yang ke-10?" tanya saya. Ia hanya tersenyum. Lantas ia bercerita harus caesar setelah dirujuk bidan. Operasi dicover BPJS, tapi untuk bayi yang baru lahir ia dikenakan biaya Rp600 ribu. Mungkin karena bayi belum menjadi peserta BPJS Kesehatan.
Ia memberikan nama bayinya "Amanah Bayini". Entah apa maknanya. Mungkin artinya diamanahkan untuk menjaga bayi ini. Bayi perempuan yang cantik. Syukurlah lahirnya dengan selamat dan sempurna.
Berhubung dia habis operasi caesar, otomatis dia tidak bisa "bekerja". Entah untuk berapa lama. Suaminya yang tidak ada kerjaan juga tengah kurang sehat.
Jadi, dari mana uang untuk menghidupi keluarganya sehari-hari? Si ibu hanya tersenyum lebar memperlihatkan giginya yang ompong. Matanya menatap ke luar.
Semoga saja Allah memudahkan segala urusannya menjadi lebih mudah semudah-mudahnya, dan mencukupkan rezeki si ibu dan anak-anaknya.
Setelah mengobrol-obrol sekitar 35 menit, suami saya pun memberinya uang. Tidak banyak, tapi setidaknya diharapkan dapat meringankan "kesusahannya".
Si ibu pun pamit seraya mengucapkan terima kasih. Ada senyum kebahagiaan yang merekah dari bibirnya. Saya dan suami juga tersenyum bahagia.
Di luar langit masih terlihat mendung. Saya berharap pas sampai di rumahnya, hujan baru turun sehingga si bayi tidak kehujanan.
***
27 April 2020
Kebetulan saya bertemu dengan ibu pemulung yang punya anak 10 itu ketika dia tengah menjalankan "profesinya". Ia memanggul karung dan menggendong anaknya yang kecil. Sementara anaknya yang satu lagi mengikutinya.
Lama juga saya tak bersua dengannya sejak virus mewabah. Syukurlah kabarnya baik-baik saja. Setidaknya begitu yang ia sampaikan kepada saya.
"Ibu nanti ke rumah ya, tapi nggak usah masuk. Tunggu di luar aja ya. Kita harus berjarak," kata saya ketika berpapasan dengannya. Tak begitu jauh dari klinik dr Salma, sepulangnya saya belanja.
Tak lama ia pun ke rumah, berdiri tak jauh dari pos satpam. Saya pun memberikan sembako berisikan beras sekantong, minyak goreng 1 liter, 15 bungkus mie intans. Lalu saya tambahi sedikit uang buat beli sayuran dan lauk pauk.
Oh iya, sembako ini bukan saya dapat beli, tapi dapat dari relasi 'Sahabat Kartini' yang membagikan paket sembako untuk driver ojol, tuna wisma, dan siapa saja yang terdampak Covid-19. Â
Nah, saya termasuk yang kebagian, lalu saya berikan buat ibu Imelda karena saya merasa dia pihak yang lebih membutuhkan.
Semoga saja dapat meringankan beban ekonominya. Karena menurut penuturannya praktis hanya ia seorang yang 'bekerja', sementara suami hanya mengandalkan panggilan orang yang ingin menservis peralatan elektroniknya.
"Ya kalo orderan, ya dipanggil, kalo nggak ada ya di rumah aja bund," katanya. Setelah ngobrol-ngobrol sebentar ia pun pamit dengan senyum kebahagiaan.
***
15 Mei 2020
Lima belas menit menjelang maghrib, suami keluar rumah. Katanya mau beli kebab dan es dawet buat anak-anak berbuka puasa. Sebenarnya saya sih sudah menyajikan basreng alias bakso goreng bikin sendiri, cireng alias aci digoreng, roti panggang, dan jagung rebus.
Hingga adzan maghrib usai, suami belum juga balik. Lama juga. Jadilah anak-anak nyemil basreng dan cireng. Basreng buatan saya dan roti panggang habis tak bersisa. Sementara cireng yang saya beli di abang sayur tadi pagi, yang saya goreng menjelang maghrib tersisa 3.
Tak lama suami pun datang dengan menenteng kantong plastik kecil berisi 1 kebab dan 1 es dawet.
"Waduh cuma ada 1 ini, pada habis," kata suami yang tergopoh-gopoh menuangkan ke mangkok lalu diberikan kepada Putik dan Najmu, anak pertama dan kedua saya. Sebungkus itu dibagi dua.
"Tadi Daddy habis melakukan satu kebaikan makanya agak lama sampai rumah. Tadi Daddy ketemu sama ibu-ibu pemulung yang anaknya banyak itu," katanya.
"Oh Ibu Imelda," kata saya.
"Kepayahan dia bawa-bawa karung di pundaknya," katanya.
"Terus Daddy kasih dorongan deh yang sebelumnya Daddy beli di Mang Asep. Maksudnya biar dia nggak manggul-manggul, tinggal dorong aja.
"Eh, pas Daddy mau pesan kebab ketemu sama ibu itu lagi. Seperti kepayahan begitu. Ada anaknya lagi ngikut," lanjutnya.
Padahal tadi pagi saya bertemu dengan si ibu saat saya melewati minimarket dekat rumah. Duduk istirahat menyandar di tembok bersama anaknya. Wajahnya terlihat letih.
Lha sampai sore masih-masih ngubek-ngubek saja? atau dia balik lagi?
"Ya sudah Daddy tawarin aja antar ke rumahnya. Kan kasihan juga," lanjut suami.
"Rumahnya jauh nggak?" tanya saya.
"Jauhhh banget, makanya Daddy agak lama sampai rumah," jawabnya. "Ketemu sama suaminya?" tanya saya yang dijawab "nggak".
"Aduh Daddy sebenarnya nggak mau cerita-cerita ini ntar nilai pahalanya hilang lagi. Tapi nggak apa-apalah ya sama istri sendiri. Kan harus ada penjelasan juga kenapa sampai rumah lama," katanya.
Saya yang mendengarkan hanya tersenyum, lalu kami lanjut menyantap hidangan berbuka puasa.
**
Suatu hari saya mengumpulkan pakaian-pakaian bekas anak-anak yang masih layak pakai. Ada beberapa dus. Saya sudah niatkan buat Ibu Imelda mengingat ia memiliki banyak anak yang masih kecil-kecil. Ada juga yang sepantaran anak-anak saya.
Ketika saya bertemu dengannya, saya pun memintanya untuk mampir ke rumah. Ia lantas memilih baju-baju yang kira-kira pas dengan ukuran badan anak-anaknya. Suami juga memberikan sepatu anak-anak yang sudah tidak terpakai.
Meski yang saya bagikan adalah bekas pakai, tapi raut wajahnya terlihat bahagia. Saya dapat melihatnya dari senyumnya yang terus merekah.
Berbagi kebahagiaan bisa dengan memberi dan menyantuni. Bisa berupa barang, uang, tenaga, makanan, atau perhatian. Mungkin dengan menanyakan kabarnya saja sudah cukup membuat orang bahagia.
Dan, senyummu itu, kebahagiaan kita bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H