"Rara?" tanyanya setelah aku berada tepat di hadapannya. Aku mengangguk, lalu kutarik lengannya menuju tanah lapang dekat rumahku.
Tanah lapang yang biasanya ramai oleh orang-orang bermain bola, tapi kini nampak sunyi seakan memberiku waktu untuk berbicara dengan Fadil.
"Kamu tumbuh menjadi wanita idaman, Ra, kamu sangat cantik," ucapnya setelah kami duduk di bangku kayu sisi lapangan.
Aku tarik nafas dalam dan menghembuskan perlahan. "Kemana saja selama ini, Kak?" tanyaku dengan mata yang mulai berembun.
"Maafkan aku, Ra... aku pergi secara diam-diam, untuk meneruskan kuliah di salah satu perguruan tinggi di Bandung," ucapnya lirih.
Aku tertunduk, diam-diam kuhapus air mata yang mulai menetes.
"Aku tidak tahu apakah kedatanganku, akan menjemput bahagia atau menjemput luka," suaranya terdengar bergetar dan aku tidak berani menatapnya.
"Hanya satu tekadku, ingin mengembalikan rasa cinta dan sayang yang telah kamu titipkan di hatiku," lanjutnya.
"Kak...Maafkan aku... lusa adalah hari di mana seorang laki-laki akan melamarku," ucapku lirih.
"Tidak perlu meminta maaf, aku yang salah," timpalnya, seraya berdiri. Ada gurat kecewa di wajahnya.
"Kak..." ucapku seraya mengenggam tangan kokohnya.