"Sudahlah, tidak ada yang perlu ditangisi, semoga kamu bahagia degan takdir yang di berikan oleh semesta, aku menyesal telah meninggalkanmu," aku tak kuasa menahan tangis, ketika kedua tangan Fadil membingaki wajahku dan menghapus air mataku.
Perlahan Fadil meninggalkanku, ia terus berjalan menjauh tanpa menoleh lagi.
"Apakah ia merasakan sakit yang sama seperti apa yang aku rasakan saat ini," batinku.
Seandainya aku tahu jika hari ini, sosok dalam mimpi-mimpi indahku akan datang. Mungkin aku akan menolak perjodohan ini.
Ketika kita berjanji, maka saat itu juga kita telah mengambil energi yang besar berupa harapan, terhadap seseorang yang di janjikan dan kita wajib mengembalikan energi itu, dengan luka atau bahagia.
Fadil telah mengembalikan semua itu untukku, meski luka yang ia terima.
Sepenggal kisah yang masih tertinggal dalam hatiku, kisah yang tidak pernah usai. Mungkin aku akan terjebak dalam simpul yang kuikat mati sendiri. Merangkai bangunan tanpa pondasi. Berlayar dengan nakhoda yang tidak aku ketahui. Entahlah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H