Â
Sepenggal Kisah yang Tertinggal
Â
Tidak biasanya Aku seperti ini, 10 menit... 20 menit...hingga 30 menit... tak satu kalimat pun tergores, aku terus memandangi layar laptop yang masih bersih. Imajinasi yang biasanya menari-nari ingin segera di tuangkan dalam kalimat-kalimat indah. Kini raib entah kemana.
Berkali-kali aku menghela nafas dalam, otakku seakan buntu. Kenangan itu masih disini, sepenggal kisah yang masih tertingal. Di hati yang kian hari kian sepi.
Rinai gerimis kian deras membasahi bumi, seorang pemuda mengenakan kardigan cokelat dan celana dengan warna senada berlari menuju warung sisi jalan, hanya berpayungkan sebuah maap bersampul biru.
"Permisi. Bu... numpang berteduh," ucapnya.
"Mangga, Mas silahkan?" ucap si ibu empunya warung dari balik dagangannya.
Saat gerimis mulai reda, aku membayar cemilan dan minuman yang kumakan sejak tadi menunggu hujan. "Wah ndak ada kembaliannya, Neng," ucap si ibu. Aku mulai mencari uang receh di tasku.
"Sudah, Bu... sekalian sama punya saya saja, jadi berapa," ucap pemuda yang tadi numpang berteduh di warung yang sama denganku.
"Tarimakasih, Kak, maaf sudah merepotkan," ucapku dengan rasa tidak enak hati.
"Tidak apa, kebetulan aku Cuma minum, pasti tidak ada kembaliannya juga,' ucapnya seraya tersenyum manis.
"Kaka dari SMU Bakti Pertiwi?" tanyaku.
"Tahu dari mana?"
"Itu aku liat di maap yang Kakak bawa," jawabku. sambil tersenyum. Setelah berbasa-basi sebentar, aku pun pamit. Hujan sudah reda aku harus segera pulang ke rumah, karena hari sudah semakin sore.
*****
Pagi nan sejuk, matahari tersenyum ramah menyambut hari. Aku melangkah pelan menggerakkan tangan kekiri dan kekanan. menyurusi jalan.
"Hai...cantik," Aku menoleh, seeorang tersenyum ramah telah berada tepat di sampingku.
"Hai, Kak... jumpa lagi kita?"
"Aku Fadil, kemarin kita belum sempat berkenalan, bukan?" ucap Fadil sambil mengulurkan tangan.
"Aku, Kiara... biasa di panggil Rara."
"Apa kamu sering joging?"
"Nggak juga, kadang-kadang saja."
Kami berjalan bersama, bercerita dan tertawa, pagi itu terasa lebih indah dari biasanya. Kami semakin dekat, sejak pertemuan pagi itu hampir setiap akhir pekan kami habiskan bersama.
"Jangan panggil aku, Kakak. Panggil saja Fadil," ucap fadil kala itu.
"Akh... jangan Kak, jelas-jelas kakak lebih tua dari aku,' ucapku sambil terkekeh.
"Berapa usiamu sekarang?" tanya Fadil penasaran.
"Aku baru kelas 2 SMP!" seruku seraya menunjuk hidungku sendiri.
"Oh...kelas 2 SMP?!" seru Fadil terkejut, postur tubuhku memeng tinggi besar. Jika tidak mengenalku mereka akan mengira aku gadis usia SMA.
Fadil menggaruk kepala yang tidak gatal, kikuk dan risih sepertinya setelah mengetahui jika aku ternyata anak SMP.
"Kenapa kak?" tanyaku.
"Tidak apa-apa.... Dulu aku mengira kamu seusia denganku," aku tertawa melihat sikap dan perubahan wajah fadil.
"Kak, apa kakak malu selalu jalan sama anak SMP?"
"Ah...siapa bilang," ujar Fadil salah tingkah.
Setelah kejadian pagi itu, keakraban kami masih seperti biasa. Hingga satu hari pas di momen pergantian tahun. Fadil mengajakku keluar, sekedar jalan-jalan dan menikmati malam tahun baru di angkringan pinggil jalan.
"Kak, apa kakak tidak jalan-jalan dengan pacar?' tanyaku polos.
"Hhmm... aku tidak punya pacar," jawabnya sambil mengunyah makanan.
"Kalau gitu, kenapa kita gak pacaran saja," ucapku sambil tertawa senang, mendengar jawaban Fadil.
"Kamu masih terlalu kecil untuk pacaran," ucapnya.
Aku mencabikkan kedua bibirku. Memandang lekat laki-laki yang diam-diam membuatku selalu berkhayal dan ingin cepat dewasa.
"Tapi...aku sayang sama Kakak," ujarku dengan kepolosan tanpa di buat-buat.
"Belajar dulu sampai pintar, nanti kalau kamu sudah besar, baru kita pacaran."
"Apa kakak mau menyimpan cinta dan sayangku, hingga aku dewasa?' lanjutku menatapnya penuh harap.
Entah dalam kondisi sadar atau tidak, ia menganggukan kepala.
Sejak saat itu aku merasa memiliki mimpi yang begitu besar. Mimpi yang membuatku semangat menjalani hari dan penuh harap dalam rentan waktu yang panjang. Sebuah penantian.
Tanpa di sadari aku tumbuh menjadi wanita yang introvert, menutup diri dari semua pergaulan terutama laki-laki. Kugunakan waktu senggang hanya untuk menulis, menggoreskan kata-kata indah, tentang sebuh harapan, impian dan kerinduan.
Sementara Fadil, menghilang entah kemana. Ia pergi tanpa memberi kabar.
Bertahun-tahun lamanya aku menunggu, ya... menunggu sebuah janji dari seseorang yang memebriku harapan.
Cinta pertama tumbuh subur dalam hatiku. Meski tanpa pupuk maupun stimulasi akan sebuah cinta yang sesungguhnya. Aku begitu bahagia dengan bayang-bayang semu seorang Fadil.
Sesekali aku menyambangi warung tempat di mana pertama kali kami bertemu. menyusuri jalan yang menyimpan banyak kenangan indah.
Jejaknya tidak terhapus oleh rintik hujan, tidak juga tertutup debu jalanan. Masih segar dalam ingatanku, kala kami melangkah di bawah temaram lampu jalanan, seraya mengunyah kacang rebus dan kulitnya kami tebar sepanjang jalan agar menjadi kenangan.
******
"Kak Fadil...!!" seruku melihat sosok yang selama ini membayangi hidupku. Bediri di depan rumahku, aku nyaris tak percaya, aku melangkah cepat mendekatinya memastikan jika ini bukanlah mimpi.
Fadil tersenyum sangat manis, lebih manis dari senyumnya yang pernah kukenal.
"Rara?" tanyanya setelah aku berada tepat di hadapannya. Aku mengangguk, lalu kutarik lengannya menuju tanah lapang dekat rumahku.
Tanah lapang yang biasanya ramai oleh orang-orang bermain bola, tapi kini nampak sunyi seakan memberiku waktu untuk berbicara dengan Fadil.
"Kamu tumbuh menjadi wanita idaman, Ra, kamu sangat cantik," ucapnya setelah kami duduk di bangku kayu sisi lapangan.
Aku tarik nafas dalam dan menghembuskan perlahan. "Kemana saja selama ini, Kak?" tanyaku dengan mata yang mulai berembun.
"Maafkan aku, Ra... aku pergi secara diam-diam, untuk meneruskan kuliah di salah satu perguruan tinggi di Bandung," ucapnya lirih.
Aku tertunduk, diam-diam kuhapus air mata yang mulai menetes.
"Aku tidak tahu apakah kedatanganku, akan menjemput bahagia atau menjemput luka," suaranya terdengar bergetar dan aku tidak berani menatapnya.
"Hanya satu tekadku, ingin mengembalikan rasa cinta dan sayang yang telah kamu titipkan di hatiku," lanjutnya.
"Kak...Maafkan aku... lusa adalah hari di mana seorang laki-laki akan melamarku," ucapku lirih.
"Tidak perlu meminta maaf, aku yang salah," timpalnya, seraya berdiri. Ada gurat kecewa di wajahnya.
"Kak..." ucapku seraya mengenggam tangan kokohnya.
"Sudahlah, tidak ada yang perlu ditangisi, semoga kamu bahagia degan takdir yang di berikan oleh semesta, aku menyesal telah meninggalkanmu," aku tak kuasa menahan tangis, ketika kedua tangan Fadil membingaki wajahku dan menghapus air mataku.
Perlahan Fadil meninggalkanku, ia terus berjalan menjauh tanpa menoleh lagi.
"Apakah ia merasakan sakit yang sama seperti apa yang aku rasakan saat ini," batinku.
Seandainya aku tahu jika hari ini, sosok dalam mimpi-mimpi indahku akan datang. Mungkin aku akan menolak perjodohan ini.
Ketika kita berjanji, maka saat itu juga kita telah mengambil energi yang besar berupa harapan, terhadap seseorang yang di janjikan dan kita wajib mengembalikan energi itu, dengan luka atau bahagia.
Fadil telah mengembalikan semua itu untukku, meski luka yang ia terima.
Sepenggal kisah yang masih tertinggal dalam hatiku, kisah yang tidak pernah usai. Mungkin aku akan terjebak dalam simpul yang kuikat mati sendiri. Merangkai bangunan tanpa pondasi. Berlayar dengan nakhoda yang tidak aku ketahui. Entahlah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H