Mohon tunggu...
Nela Dusan
Nela Dusan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Praktisi KFLS dan Founder/Owner Katering Keto

mantan lawyer, pengarang, penerjemah tersumpah; penyuka fotografi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

"If You're Not The One" (3)

21 Januari 2019   11:22 Diperbarui: 21 Januari 2019   11:46 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pipit seorang perempuan yang cantik, pintar walaupun sedikit manja, mungkin karena dia anak bungsu dan satu-satunya perempuan dari empat bersaudara dan karena jarak usianya dengan kakaknya terpaut jauh, delapan tahun, membuat dia selalu dimanja oleh semua kakaknya. 

Aku merasa beruntung Pipit mau jadi pacarku, padahal sewaktu di kampus banyak sekali laki-laki yang tertarik padanya. Jelas ada perasaan bangga karena aku berhasil mencuri hatinya, hingga hari ini.

Sebenarnya cukup banyak perbedaan antara Pipit dan Fira. Fira merupakan sosok perempuan mandiri yang sangat mapan. Aku jarang melihat Fira merasa ragu dalam mengambil keputusan, kadang-kadang hal itu sempat menggangguku. Bersama dengan Fira aku merasa seperti tidak ada artinya. 

Tidak ada yang tidak dimiliki Fira, dia punya segalanya, karir, uang, apartemen, mobil, pendeknya secara materi tidak ada lagi yang tidak dipunyainya. Meski punya apartemen, Fira memilih tetap tinggal bersama orang tuanya, terutama karena semua kakaknya sudah tidak ada yang tinggal disana. 

Berhubung hanya dia yang belum menikah, sudah sewajarnya menemani orang tuanya yang sudah lumayan lanjut usianya. Hubunganku dengan Fira hanya sebatas teman. Mungkin itu pula yang membuat perasaanku resah saat ini, tapi aku tidak punya keberanian untuk mencari tahu kenapa.

Rabu pagi, aku terbangun jam 5.30, agak terlambat untuk shalat subuh sebenarnya, tapi apa boleh buat, daripada tidak sama sekali. Kepalaku agak pening karena kurang tidur semalam. Sampai kantor jam 9 pagi, kantor sudah ramai. 

Seperti biasa aku mampir ke pantry sekedar mendengarkan obrolan pagi sejenak sebelum memulai aktivitas kantor. Tidak lama kemudian, aku kembali ke ruanganku dan mulai membuka email. 

Dalam semalam sudah ada 12 email yang masuk, empat di antaranya dikirim oleh klienku yang memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai permintaan mereka. Email itu ditujukan kepada Rahmat, Partner yang bertanggung jawab untuk pekerjaan yang satu itu.

Persoalan yang dihadapi klienku cukup pelik. Klienku adalah suatu bank pemerintah yang termasuk dalam pinjaman sindikasi bersama dengan 9 kreditur lainnya. Ke sembilan kreditur lainnya itu merupakan bank-bank yang berasal dari Jepang, Amerika Serikat, Swiss, Belanda, Inggris, Jerman dan Malaysia. 

Pada awalnya pinjaman merupakan pinjaman yang berdiri sendiri-sendiri, namun pada saat krisis moneter tahun 1998 tersebut semua pinjaman tersebut menjadi macet. Akhirnya Desember tahun 2005 disepakati oleh para kreditur untuk melakukan restrukturisasi kredit dalam bentuk sindikasi. 

Kesepakatan mereka sebenarnya cukup jelas yaitu untuk jaminan yang sudah pernah diberikan sebelumnya akan tetap berlaku dan tidak termasuk ke dalam jaminan yang dipari pasu dengan kreditur sindikasi lainnya. 

Perjanjian restrukturisasi jelas menyebutkan bahwa berlakunya perjanjian restrukturisasi adalah dalam waktu 6 bulan sejak tanggal tanda tangan yang berarti jatuh waktu tanggal 30 Juni 2005 yang ditandai dengan dikeluarkannya Pernyataan Efektif oleh masing-masing kreditur anggota sindikasi. 

Disinilah letak masalahnya, klienku tidak bisa mengeluarkan Pernyataan Efektif, karena mereka kehilangan jaminan yang pernah diberikan sebelumnya. Masalahnya yang terbesar adalah, kehilangan itu disebabkan karena kelalaian mereka sendiri. 

Tenggat waktu efektif sudah diundur dua kali dan para kreditur sindikasi lainnya sudah mulai resah. Mereka mulai mengancam akan meninggalkan klienku apabila sampai tanggal 30 September 2006 belum juga ada Pernyataan Efektif yang dikeluarkan klienku. Sekarang bank pemerintah tersebut memohon agar kantorku mencarikan jalan keluarnya.

Seperti yang telah didiskusikan dalam meeting terakhir hari Senin yang lalu, aku meminta mereka agar memberikan kronologis peristiwa sejak awal sampai dengan terjadinya kelalaian tersebut. Jaminan yang diberikan sebelumnya kepada klienku adalah berupa Fidusia bahan baku. 

Semestinya mereka sudah melakukan pendaftaran begitu dikeluarkannya peraturan baru mengenai kewajiban pendaftaran jaminan berupa fidusia di kantor pendaftaran fidusia. Namun, entah bagaimana, jaminan fidusia tersebut lalai mereka daftarkan segera sementara ternyata jaminan yang sama diberikan juga kepada kreditur dari Jerman, akibatnya klienku kehilangan hak jaminan fidusia mereka. 

Sebagai kreditur, tentunya klienku merasa sangat dirugikan, akan tetapi debitur juga merasa telah memberikan jaminan yang semestinya, masalahnya kreditur lalai bukan urusan mereka. Klienku menghadapi kesulitan yang sangat besar apabila membiarkan jaminan hilang tanpa ada penggantinya.

Aku mempelajari kronologis yang mereka sampaikan, dari awal hingga akhir. Dari kronologis itu aku menemukan suatu informasi yang sangat menarik dan belakangan sangat membantuku dalam menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. 

Ternyata, debitur tersebut pernah menyetujui pemberian jaminan pengganti, namun hingga saat ini belum ada realisasinya. Aku mendiskusikan masalah klienku tersebut dengan Rahmat dan kami sepakat untuk mengundang klien ke kantor jam 2 sore nanti.

Pukul 2 sore, klienku datang ke kantor. Kami berdiskusi panjang lebar mengenai persoalan yang dihadapi. Aku berpikir akan satu hal, aku tertarik ingin mengetahui lebih dalam mengenai janji dari debitur untuk memberikan jaminan pengganti. Menurut klienku, debitur hanya memberikan janji-janji tetapi setiap ditagih selalu saja ada alasan, sepertinya mencoba untuk menghindar.

"Jadi menurut bapak, mereka tidak benar-benar serius memberikan jaminan pengganti?" tanyaku

"Benar pak, soalnya mereka selalu saja punya alasan untuk menunda, yang pimpinannya sedang ke luar negeri lah, pemegang saham belum menyetujui, banyak alasan lainnya."

"Lalu bapak melakukan tindakan apa?"

"Ya belum ada, hanya meminta terus menerus. Masalahnya begini pak Randy, kami ini sebenarnya khawatir kalau masalah ini menjadi temuan auditor internal kami, disangka kami berkomplot dengan debitur, padahal ini memang karena miskomunikasi diantara bagian legal dan administrasi kredit kami sebelumnya."

"Apa tindakan manajemen bapak?" Tanya Rahmat

"Yah mereka mana mau tau pak, pokoknya pesannya jelas, harus ada jalan keluar mengenai jaminan sebelum Pernyataan Efektif, tetapi mereka juga sudah mulai grogi karena ditelepon oleh para anggota sindikasi lainnya."

"Jelas mereka merasa tidak nyaman, semua mata tertuju kepada mereka." Timpal Rahmat.

Tiba-tiba sebuah pikiran gila melintas di kepalaku. Aku punya ide.

"Pak, kalau saya lihat koresponden bapak dengan debitur mengenai jaminan pengganti sebenarnya Bapak sudah meminta sejak bulan Februari yang lalu kan?"

"Benar pak Randy."

"Kalau begitu saya tahu kita harus melakukan apa. Kapan mereka mengundang bapak untuk meeting? Hari Jum'at minggu ini?" tanyaku.

Orang-orang di ruang meeting kelihatan bingung melihat sikapku yang sangat optimis.

"Iya pak. Mereka mengundang kami di kantor konsultan hukum mereka. Makanya kami sangat khawatir akan masalah ini, pasti dalam rapat kami akan disalahkan karena belum juga mengeluarkan Pernyataan Efektif."

"Oke, bagus kalau begitu, kita akan hadapi mereka di sana. Saya justru sudah sangat tidak sabar menunggu momen tersebut."

Aku melihat wajah Rahmat yang agak merengut, tidak senang karena aku belum juga menjelaskan maksudku. Aku masa bodoh, bahkan ada perasaan senang melihat situasi begini. Aku memang tidak pernah respek pada Rahmat, dia seorang lawyer yang kurang kreatif hanya terpaku secara teori dan peraturan hukum, tidak pernah mempunyai pemikiran yang lebih terbuka apalagi mencoba berpikir dari sudut komersial.

"Coba kamu jelaskan maksudmu itu Ran, langsung saja, tidak usah bertele-tele seperti ini." Nada suara Rahmat mulai meninggi, tidak sabar dia.

Aku sangat menikmati situasi demikian, sebenarnya bukan baru sekali aku mengerjai Rahmat. Dulu aku memang tidak berani bersikap seperti sekarang, aku selalu memberikan ideku kepada Rahmat sebelum memberitahukan kepada yang lain ternyata dia mengakui semua ide tersebut sebagai idenya yang membuat dia disanjung-sanjung oleh klien dan seisi kantor kami. 

Jangankan sepatah kata ucapan terima kasih kepadaku, dia bahkan berani mencemoohkanku di depan orang banyak sebagai orang yang tidak kreatif. Cukup sudah bagiku, tidak ada lagi ide-ide kreatif gila dariku, kalau dia mengharapkan sanjungan, dia harus memeras otaknya sendiri. 

Aku bahkan merasa dia setengah memaksaku untuk membantu dia dalam menangani pekerjaannya. Tapi...kali ini aku sudah belajar banyak dari kejadian lalu, tidak ada lagi Associate bodoh seperti dulu.

Setelah puas melihat rasa penasaran di wajah Rahmat, akhirnya aku menguraikan rencanaku kepadanya dan klien. Penuh harap klienku menerima ideku secara bulat, termasuk juga Rahmat walaupun kelihatan tidak rela tetapi dia tahu ideku sangat masuk akal.

"Jadi hari Jum'at nanti pak Randy... dan pak Rahmat juga tentunya, akan hadir kan mendampingi kami? Terus terang pak, kalau kami rasanya tidak sanggup menjalankan rencana tersebut, melihat wajah orang-orang Jepang yang tidak sabar itu saja sudah membuat kami keringat dingin." Soetarjo, Kepala Divisi Pengelolaan Kredit berkata.

"Tentu pak, saya dan Randy akan mendampingi bapak-bapak. Jangan khawatir, saya akan pastikan dia akan hadir." Ujar Rahmat seraya menunjukku, mulai pandai dia memainkan kartunya untuk tidak kehilangan muka di hadapan klien.

Kamis pagi, seperti biasa aku sampai kantor pukul 8.30 dan menghabiskan waktu sejenak di pantry untuk berbagi cerita dengan teman-teman. Pagi itu sudah ada Ismed, Michael, Ahmad dan Sulistyo. Semua sedang ramai membahas pertandingan bola tadi malam, Real Madrid melawan Barcelona, wah seru. 

Aku ikut mendengarkan dengan penuh perhatian sayang semalam aku tidak menonton. Biasanya aku rajin menyalakan alarm jam supaya bisa terbangun, tapi tadi malam aku kebablasan tidur sampai subuh. Lumayan juga menyimak obrolan mereka aku serasa turut menyaksikan serunya pertandingan itu.

Sedang asyiknya kami membahas bola, tiba-tiba ada tangan yang menjawil bahuku, aku tengok ternyata Fira. Dia duduk di sebelahku sambil tersenyum, tapi aku bisa lihat raut wajahnya yang sangat lelah. Aku balas tersenyum sembari berkata, "Hai...sudah datang? Pulang jam berapa tadi malam, aku dengar kamu pulang pagi lagi?"

"Iya, aku pulang jam 2 pagi, pengennya datang siang, tapi jam 10 ini akan ada conference call."

"Kapan closing?"

"Rencananya besok."

"O ya?" Aku sangat senang mendengarnya, setidaknya sebentar lagi aku bisa melihat Fira yang lebih menyenangkan karena punya banyak waktu.

"Ya, makanya aku harus ngebut menyelesaikan semuanya, duh rasanya nervous banget deh. Kamu tau aku pengen apa sesudah closing?" Fira menatapku, matanya berbinar-binar, aku menggeleng,

"Aku pengen ke Bali, ke vila tante Wiwiek di Ubud, kan sepi tuh, nah aku mau tidur di sana tanpa diganggu telepon, hp, laptop, e-mail, pokoknya aku mau kabur seminggu. Kayaknya pulangnya nanti baru aku bisa fresh deh.

"Atau kamu gak pengen pulang lagi, karena keenakan." Fira tertawa mendengar kata-kataku, dia manggut-manggut, mungkin saja timpalnya.

"Nanti makan siang mau nggak?" aku Tanya Fira, aku kangen makan siang dengannya.

"Bukannya mau atau tidak Ran, bisa atau tidak. Kamu kok kesannya kalau aku gak lunch sama kamu karena aku nggak mau, aku selalu mau, tapi nggak bisa hari ini."

"Oke bu. Sori salah pilih kata-kata. Lupa aku ngomong sama lawyer, hehe...." Fira ikut tertawa.

"Mungkin besok malam aku sudah bisa santai...tapi...tunggu deh, kayaknya belum bisa juga tuh, karena sesudah closing siang, kita akan ada makan malam dengan semua pihak yang terlibat dalam transaksi ini. Duh...aku sebenernya malas sekali ikut acara seperti itu, penuh basa-basi ya."

"Benar sekali, tapi kamu harus datang, bagian dari tugas kan?"

"Iya sih. Ran, aku pengen nonton deh, nanti kalau sudah santai temani aku nonton ya."

"Boleh, kamu bilang aja maunya kapan."

"Eh, udah jam 9 aku balik ke tempatku ya, nanti kita ngobrol lagi." Terus Fira bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkanku. Tidak sengaja aku mengikuti bayangannya meninggalkan pantry, sampai kurasakan pundakku ditampar oleh Michael.

"Bos, asyik bener ngobrolnya. Kayak-kayaknya teman kita ini ada sesuatu nih sama Partner, hehe...Ran, doi tuh bukan kelasnya kita, hehe...."

"Salah loe bilang begitu Mike, yang benar dia itu bukan kelasnya elo, memang tepat sekali." Kami semua mentertawakan Michael yang wajahnya menjadi kecut karena jadi obyek tertawaan.

"Eh Ran, sebenarnya elo ada apa sih sama Fira?" Sulistyo bertanya.

"Nggak ada apa-apa, memangnya ada apa menurut loe?" aku balik bertanya.

"Ya nggak tau, habis loe sering jalan bareng dia sih. Waktu kapan tuh, gue dengar ada yang mergokin elo berdua lagi makan malam di EX Plaza Indonesia, terus ada lagi yang lihat elo keluar bioskop berdua. Bener Ran"

"Terus kalau benar kenapa memangnya?"

"Lha, kan elo udah ada Pipit bos, gila juga loe ya, kawin belom udah mulai-mulai poligami."

"Gila loe, poligami dibawa-bawa. Gue dan Pipit baik-baik aja, dia juga tau kalau gue bersahabat dengan Fira."

"Jadi...?" Ahmad seperti menunggu kelanjutan kisah.

"Jadi apa? Ya nggak jadi apa-apa. Udah ah, balik yuk, kerja-kerja, gossip aja senengnya." Aku langsung berdiri meninggalkan ruangan diikuti yang lain, mereka masih penasaran dan mengejarku dengan banyak pertanyaan yang tidak kujawab, mereka pikir aku berkelit, sesungguhnya aku tidak punya jawaban, aku pun bingung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun