“Tanah ini sudah ada di istana saat To Makaka mengambilnya dan memberikannya padaku, To Makaka juga berpesan agar kita semua hidup di atas tanah segenggam ini" Tetua yang menerima hadiah dari To Makaka juga merasa kebingungan.
“Sepertinya To Makaka tidak menghargai kita. Bagaimana caranya kita semua bisa hidup dari tanah segenggam itu? Ini adalah penghinaan!"' Seseorang mulai tersulut amarah.
“Jangan berpikir panas, hanya pikiran dingin yang selalu mendapatkan hasil baik dan bijak" Tetua mencoba menenangkan suasana.
"Seharusnya engkau bertanya pada To Makaka untuk apa tanah segenggam ini" Yang lain ikut pula bicara.
 “Aku malu bertanya, karena aku berpikir To Makaka adalah manusia yang paling peduli pada rakyat, tentu saja hadiah yang diberikannya adalah salah satu bentuk kepeduliannya pada kita" Tambah Tetua.
“Baiklah, karena malam sudah semakin larut alangkah baiknya kalau esok kita lanjutkan perundingan ini lagi" Kata orang paling tua diantara mereka yang hadir. Akhirnya perundingan tidak membuahkan hasil, teka-teki tentang tanah segenggam yang diberikan To lakaka, tidak ada satu pun yang bisa memecahkannya. Sudah tujuh malam enam hari pertemuan untuk berunding dilakukan para Tetua dari wilayah barat.
“Jika malam ini kita belum bisa mendapatkan hasil untuk apa tanah segenggam ini di berikan pada kita, maka esok kita kembali ke istana untuk bertanya pada To Makaka maksud dan tujuan diberikannya tanah ini pada kita" Kata tetua membuka kembali perundingan pada malam ketujuh.
"Betul yang dikatakan Tetua, sebaiknya kita kembali ke istana untuk mendapatkan jawaban dari tanah segenggam ini" Beberapa orang membenarkan pendapat Tetua.
"Tunggu dulu! To Makaka memberikan segenggam tanah sebagai hadiah, lalu meminta pada kita untuk hidup di atas tanah itu" Seorang pemuda tiba-tiba angkat bicara.
"Betul, itu yang dikatakan To Makaka" Tetua membenarkan.
"Maksud dari To Makaka adalah lita' sallemo atau tanah segenggam itu kita hancurkan lalu kita berkeliling untuk menabur tanah itu hingga habis, itulah luas wilayah kita. Itulah tanah kita, tanah di mana kita bisa hidup di atasnya tanpa ada gangguan lagi, sebab To Makaka telah memberikannya pada kita" Pemuda yang sama menjelaskan buah pikirannya yang cemerlang. Semua yang hadir dalam perundingan itu kemudian tersadar bahwa lita'sallemo yang diberikan To Makaka, yang mereka perdebatkan manfaatnya, yang tadinya disangka sebagai bentuk hinaan justru hadiah yang sangat besar, jauh lebih besar dari sekadar segenggam tanah. Mereka akhirnya setuju dan sepakat untuk menaburkan lita sallemo itu sebagai ke beberapa daerah sebagai batas wilayah.