Mohon tunggu...
Salfadilla Nashwa Sulaeman
Salfadilla Nashwa Sulaeman Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

SMA NEGERI 2 MAGELANG

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dandelion

19 November 2020   17:08 Diperbarui: 19 November 2020   17:35 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pin.it/2ySjwez

OLEH: SALFADILLA NASHWA SULAEMAN

Pip pipp pipp pip piiipp piippp... Terdengar sayup-sayup suara alarm handphone, kujularkan tanganku dari dalam selimut meraih handphone ku yang berada diatas meja, tepat disamping kasur tidurku. Suara alarm itu tidak cukup membangunkanku, dinginnya udara pagi hari yang menyentuh pergelangan tanganku, membuat aku menarik selimutku kembali.

Grrekkk.. suara pintu yang terbuka itu, sedikit ku dengar. Dap dap dap..., terdengar suara langkah kaki seperti berjalan kearah kananku, berjalan kearah jendela kamarku, sepertinya aku paham dia siapa. Sudah jelas itu pasti mama yang akan membangunkanku. Dan benar saja, pancaran sinar matahari dari balik gorden kamarku, menusuk mataku yang masih terpejam lelap.

"Venus, ini jam berapa. Kamu itu hari ini sekolah loh, kamu lupa, apa pura-pura lupa ha?" Kata mama yang sambil menarik selimutku

"Aduh ma, ini jam berapa sih, masih pagi banget, jarak sekolah sama rumah itu ga sejauh Jakarta Bandung",  kataku sambil merebut selimut ku dari tangan mama.

"Ampun deh Ven, iya sekolahan mu ga sejauh Jakarta Bandung, tapi kalo kamu berangkat jam 06.30, perjalanan bakal kerasa Jakarta Jogja, macet banget dijalanan. Udah buruan sekarang bangun", jawab mama sambil menarik kedua tanganku hingga aku terduduk.

"Iya iya deh nyonya besar," jawabku sedikit kesal.

Aku berjalan mengambil handukku dan bergegas untuk mandi. Tidak sampai 40 menit, aku keluar dari kamar mandi dan mulai untuk bersiap. Ku sisir rambutku, dan aku roll poniku. Toner, pelembab, sunscreen, bedak, penyisir alis, dan lipbalm, secara bergantian aku gunakan. Itu adalah ritual terpenting ku di pagi hari. Dan tak lupa sentuhan terakhir nya adalah catok rambut.

"Venus!! Cepetan turun kamu belum sarapan, ini udah jam 6.30, mama kan udah bilang, jalanan bakal macet kalo kamu baru berangkat sekarang" Teriak mama dari ruang makan bawah.

Ku helakan napas sambil sedikit bergerutu pelan, "mama ini kenapa si, sewot aja dari tadi. Kan sekolah juga diantar kang Adi, mana mungkin telat, lagian pake motor bisa nyelip-nyelip. Toh kalau telat yang kena hukuman kan aku bukan mama"

Aku mulai keluar kamar sambil berjalan santai menuju lantai bawah untuk sarapan. Saat diruang makan aku melihat pintu yang berada di samping kanan dapur terbuka, sepertinya mama sedang mengambil cabai di kebun kecil belakang rumahku. Aku tak menghiraukan pintu yang terbuka itu, aku segera mengambil sereal makananku dan susu putih kesukaanku.

Tiba-tiba saja, terdengar derap langkah kaki seperti terburu-buru dari arah kebun belakang, "Ven, astagfirullah mama lupa banget, hari ini kang Adi kan ga bisa antar, makannya jam segini kang Adi belum sampai"

"Astagaa mama, gimana sih kok ga bilang dari tadi, aduhh aku kan espect nya kang Adi yang anterin pake motor bebeknya itu. Aduhh udah udah, ini ga jadi deh sarapannya aku minum susu saja". Gluk gluk gluk.. aku meminum susu secepat yang aku bisa. Aku langsung mengambil tas dan cardigan Lilac ku diatas kursi.

"Buruan mah Salim, udah ga ada waktu" kataku tergesa sambil meraih tangan mama ku.

"Kamu naik apa hari ini? Gojek aja? Mama kasi uang lebih nih"

"Iya mah gojek aja deh, aku cari driver dulu"

Waktu berjalan sudah hampir 5 menit, dan aku belum juga mendapat driver. Entah ada masalah apa pagi ini, tapi sepertinya aku begitu sial. Gojek yang sedari tadi aku pesan, selalu mendapat cancel-an. Aku mulai panik dan berkeringat.

"Duh mah dari tadi dicancel Mulu sama drivernya, udah deh naik bajai aja" kataku dengan muka yang aku kerutkan.

"Yauda yauda cepetan sana, hati-hati Ven"

Aku langsung lari pergi ke depan gapura perumahan. Beruntungnya, didepan perumahan persis ada bajai yang sedang mangkal. Aku langsung menaiki bajai itu, dan berharap aku tidak telat pagi ini.

Ya, itulah keadaan pagiku hari ini untuk menyambut hari pertama ajaran baru, memasuki kelas 11. Aku Clemira Venus Maezura. Anak perempuan semata wayang di keluarga ya--yang cukup harmonis bisa dibilang begitu, mmm.. aku sih tidak begitu yakin. Orang-orang memanggilku dengan sebutan Venus. Aku cukup dikenal sebagai sosok yang ambisius, tidak mau dikalahkan, dan sedikit egois. "Si ranking 1" adalah julukan ku di sekolah. Entahlah, aku memang terkenal pandai, semua itu juga aku rasa karena tuntutan belajar yang selalu papa aku berikan. Aku orangnya terlalu panikan, mudah cemas, sedikit overthinking, sedikit perasa, dan mudah menangis. Walaupun cengeng, aku bisa dengan mudahnya kembali ceria kok.

"Eh mbak, udah sampe ini. Mbakk! Mbak!" Supir bajai tadi berusaha meraih tanganku, berusaha untuk membuyarkan lamunanku agar aku bisa segera turun.

"Eh eh pak, eh udah sampai ya pak? Aduh maaf pak saya kebawa suana jadi melamun. Berapa ni pak ongkos nya?"

"10.000", jawab si supir. Aku langsung mengambil uang dari saku kanan rok ku. Dan segera memberikannya kepada supir itu. Aku segera turun dan langsung masuk ke sekolah.

Didepan gerbang ada papan pengumuman yang bertuliskan bahwa hari ini ternyata jam masuk diundur menjadi jam 8. Aku bernapas lega karena aku tidak telat hari ini.

Brukkk... "Aduhhh sial banget gue". Tiba-tiba saja aku mendengar suara orang terjatuh tepat dibelakangku, suara gerutuan yang dia ucapkan rasanya tidak asing bagi ku. Aku langsung menoleh ke belakang.

"Astagaa Jery? Lo kenapa si bisa jatuh gini, ngapain bawa buku banyak gini sih?"

"Heh jera Jery, emang lo kenal gue?" Katanya yang sedari tadi sibuk berlutut dan menunduk mengambil semua bukunya.

"HELLO??! ga kenal Lo bilang?" Jawabku dengan ketus sambil mendongakkan kepala nya.

"Eh elo si ratu cengeng?" Jawabnya dengan nada mengejek.

"Hadeh, terserah deh elo mau bilang apa. Buruan nih, ni buku bawa kemana? Perpus? Lo pasti lupa balikin buku kelas 10 kan. Apal banget gue", kataku sambil beranjak dari jongkok, dan membawa sebagian buku Jery yang tadi terjatuh.

Kita berdua segera menuju perpus dan buru-buru menuju lapangan upacara, untuk upacara dan melihat daftar kelas. Sungguh tak disangka, aku dan sahabat cowokku sedari SMP, Jery ternyata satu kelas. Aku merasa senang tetapi juga sedih. Iya, sedih. Karena dia adalah saingan terberat ku dalam memperebutkan ranking 1 pararel disekolah. Dia memang terkenal tampan, ahli basket, dan tentu jenius. Yap, jenius, "si jenius" adalah julukannya. Kita berdua saling bertatapan dan tersenyum. Seolah memberikan tanda kebahagiaan dan tentunya tanda bahaya.

Semua anak menuju kelas dan segera mengambil tempat duduk terbaik bagi mereka. Entah apa yang salah dari kursi paling depan, yang berhadapan langsung dengan guru, nampak kosong keduanya. Dan hanya tinggal kursi itu yang kosong. Mau tidak mau, suka tidak suka, aku harus duduk bersama Jery. Tak begitu terasa, jam kelas menunjukkan pukul 09.30. Bel istirahat pasti akan berbunyi sebentar lagi.

"3--2-----1", bisik Jery kepadaku

Kringgggg.. it's time to break

"Yahaha, pas banget kan. Yuk kantin", ajak Jery

"Yuk, gue kangen sama soto bu Har", jawabku.

Kita berdua beranjak menuju kantin dan langsung memesan makanan yang kita inginkan. Kursi diujung kantin, dekat dengan pohon beringin itu adalah kursi yang sering kita gunakan. Kita berdua menuju kesana secara bersamaan tanpa ada yang memberi tahu.

"Masih nyaman aja tempat ini ya, Ven" tanya Jery padaku

Ku anggukkan kepalaku sambil menyeruput kuah soto yang hangat itu, "he'em, nyadar ga si Lo, temen-temen yang lain udah buat julukan baru buat kita?"

"Si---- PENGHUNI POHON BERINGIN!" Jawab aku dan Jery berbarengan. Kita tertawa terbahak-bahak mendengar itu.

"Aduh, geli banget. Oh iya Ven, bokap Lo gimana? Masih kekeuh sama UI dan kedokteran? Lo nya gimana? Udah berubah pikiran?" Tanya Jery dengan serius kepadaku.

"Paan sih Jer, jam segini udah bahas masalah idup gue?" Jawabku sedikit marah pada Jery.

"Engga gitu Ven, kalo Lo tetep mau konsen ke dunia fashion dan seni yang Lo suka itu--, kan nyokap gue bisa bantu, secara nyokap gue juga anak seni. Kalau semisal Lo sekarang udah mau menerima UI dan kedokteran, besok Minggu depan bakal ada olimpiade Kimia, itung-itung buat tambahan piagam Lo masuk UI besok"

"Duh gue gamau ikut deh Jer, dihari yang sama, sama olimpiade itu, ada pameran galery, gue lebih tertarik itu dari pada olimpiade. Gue capek Jer, dari kelas 10 ikut olim terus, gue kali ini mau juga dong untuk didengar", aku menekankan kata 'Mau juga dong untuk didengar'

"Ven, gue ngerti, tapi bokap gimana? Pasti bokap Lo bakal udah tau tentang olim--"

"Ssstttt ssssttt, kalo Lo ga bilang ga bakal tau dia. Gue beneran cepek Jer lama-lama ikut olim terus. Lagian ni ya, gue yakin kok gue tu diciptakan untuk pinter, sesuai nama depan gue, Clemira, anak yang pandai. Ta--pi pandai dalam seni", Jawabku sedikit sombong.

"Kenapa ga dari awal bilang bokap si Ven kalo Lo lebih minat ke seni?" Tanya Jery, dengan muka yang benar-benar penasaran.

"Hey!, Anak kelas 10 SMA, yang jiwanya masih 11 12 sama anak SMP, yang terlihat masih kecil bukan remaja Dimata bokap gue itu lah yang buat gue ga berani meng-tidak-kan perintah bokap gue. Gue bisa mati waktu itu"

"Ribet banget si idup Lo Ven, udah kaya matematika. Udah tau ada yang gampang cari yang ribet. Kenapa milih 1 + 1 = 5 × 3 - 13 kalau ada 1 + 1 = 2. Logikanya nih ya dari matematika tadi, Lo sendiri bakal tau hasilnya. Iya, hasilnya, Lo pasti ga direstuin sama bokap Lo. Dan ujung-ujungnya Lo bakal nangis. Dan cuman nangis yang bisa Lo lakuin"

"Heh, ga ada yang ga mungkin ya! Kalau kata puisi Sapardi Joko Damono, sih—‘pada suatu hari nanti", jawabku sambil mengangkat tanganku.

Kringgggg... Bel tanda masuk kelas telah berbunyi. Tak terasa jika jam kelas ternyata menunjukkan pukul 14.30, saat nya untuk pulang.

"Ven, bareng gue aja. Gue juga mau ketemu sama nyokap Lo, dah lama gue ga ketemu", ajak Jery kepadaku.

"Iya deh, itung-itung irit uang juga lah, kang Adi ga bisa jemput hari ini. Lo sih selama liburan pulang ke Jogja, pasti Lo kangen tempe mendoan buatan nyokap gue kan?" Tanyaku sambil sedikit tersenyum.

"Oh ya tentu, ter-the best kalo itu mah", jawab Jery sambil menyodorkan helm bogo yang dia bawa.

Udara siang yang begitu menyengat, membuat aku sedikit berkeringat. Tetapi, udara yang menyibakkan rambutku dan mengenai leherku membuat aku sedikit tenang. Aku pejamkan mataku dan seakan semua masalahku bisa lepas begitu saja. Itu lah yang selalu aku rasakan jika aku duduk diatas jok motor yang sama dengan Jery, kenyamanan.

"Yuk masuk Jer", ajakku.

"Ma, kedatangan tamu jauh ni. Katanya kangen!" Teriakku dari ruang tamu, sambil meletakkan tas ku diatas kursi tamu, dan melepas cardiganku.

Suara langkah menuju ruang tamu mulai terdengar. Ya, itu mama dengan daster kesukannya dan tentunya wajah sumringah melihat Jery yang ada di kursi tamu itu. Jery memang telah dianggap anak oleh mama, mama bahkan bilang, 'Jery itu seperti kakakku' entah apa yang ada dipikiran mama saat itu menganggap Jery adalah kakakku. Aku tak begitu menghiraukannya saat itu.

Jery dan mama sangat asik ngobrol berdua. Bahkan mereka lupa jika dalam satu rumah yang sama terdapat anak gadis yang cantik. Begitulah mereka jika bertemu. Melupakan segala hal, dan dunia terasa milik mereka berdua. Papa juga pasti senang jika aku "membawa pulang" Jery, sayangnya papa sedang tidak dirumah. Ya tentu papa suka, karena Jery adalah "si jenius" yang mau masuk UI kedokteran. Mimpi Jery sama dengan mimpi papa. Tapi bedanya, Jery akan mewujudkan mimpinya sendiri, sedangkan papa, akan membuat boneka manusia yang disebut "anak" sebagai mesin pewujud mimpinya itu.

Jam rumah menunjukkan pukul 17.00. Jery pamit pulang padaku dan mama. Dia bertitip pesan padaku agar menyampaikan salamnya pada papa. Mukaku sangat jengkel pada saat itu. Karena aku tau Jery sedang jail padaku. Jery tau jika aku dan papa tidak sedikit akrab, makannya dia memintaku untuk menyampaikan salamnya.

Keesokan harinya, seperti biasanya jam alarm handphone ku berbunyi lagi. Aku langsung bangun saat itu, tanpa dibangunkan mama terlebih dahulu. Aku segara mandi dan turun ke bawah. Entah kenapa hari ini, aku terasa sangat lapar. Betapa terkejutnya aku ketika aku melihat sosok berbadan tinggi, menggunakan seragam pilot.

"PAPAH?!" teriakku sedikit terkejut.

"Eh Ven udah bangun? Sini, papa mau bilang sesuatu sama kamu", jawab papa sambil menepuk-nepukkan tangannya di atas kursi yang terletak di sebelahnya.

"Apa pah?" Jawabku sambil duduk dan sedikit murung. Karena aku sudah tau topik pembicaraan ini akan menuju kemana. Antara tempat les baru, olimpiade, atau UI kedokteran.

"Papa udah denger semalem, bakal ada olimpiade kimia. Kamu harus ikut ya? Biar bisa masuk kedokteran nak"

"Pah, aku gamau ikut olimpiade. Aku capek", kataku memelas.

"Kalau kamu gamau ikut olimpiade, gimana kalau kamu ikut seminar jurusan kedokteran? Bakal ada gues star yang hebat. Seorang dokter bedah terkenal dari luar negeri. Ini brosurnya", jawab papa sambil menjulurkan secarik kertas brosur.

"Pah, aku gamau. Sebenarnya, Venus lebih tertarik kedunia seni dan fashion pa. Itu cita-cita Venus sedari kecil pa!" Kataku dengan nada yang sedikit ditekankan.

"Ven, kamu harus ikut kata-kata papa. Kamu itu pintar, untuk apa dunia seni kamu itu? Lebih baik kamu gunakan otak pintar mu itu untuk hal yang lebih baik, seperti dokter", jawab papa dengan menekankan kata-katanya juga.

"Pa, Venus ini udah besar, ga lagi anak-anak yang harus teruss dibimbing gitu. Apa iya? Venus harus terus dibimbing masuk ini masuk itu, ikut ini ikut itu, atau bahkan papa juga mau, Venus mati dibimbing papa?"

"Venus! Jaga ya mulut kamu itu!" bentak papa padaku.

"Pa, aku capek tiap hari ikut les, ikut privat, seminar, olimpiade, lomba cerdas cermat, semua itu aku udah lakuin dulu. Dengan semua prestasi yang aku raih, apa papa selalu ada setiap pembagian piagam dan piala? Engga kan pa? Cuman mama, pa. Cuman mama yang ada disana. Papa itu terlalu egois. Cuman mau didenger tanpa mau mendengarkan orang lain. Inget ya pa, Venus ini udah remaja, beranjak dewasa bahkan. Venus udah bisa nentuin jalan hidup Venus sendiri", kataku dengan nada yang terus ditinggikan. Aku langsung beranjak dari kursi dan ruangan yang semakin memanas itu. Air mataku sudah tak sanggup lagi aku tahan-tahan.

"Venus!! Dengerin kata papa!" Teriak papa, sambil berusaha mengejarku dan menarik tanganku.

"Kamu harus masuk K-e-d-o-k-t-e-r-a-n"

"Pa, papa ga denger kata-kata aku tadi ha? Aku g-a-m-a-u masuk kedokteran. Aku mau masuk seni. Aku punya pilihan aku sendiri. Kalo papa mau aku masuk kedokteran, ya sana papa aja sendiri yang masuk kedokteran. Kalau itu emang cita-cita papa dulu yang ga kesampean, yauda biarin jadi mimpi papa yang terpendam. Jangan terus semua dilampiasin sama aku dong pa!"

"Kamu ini ya, sekarang udah semakin pinter jawabnya. Papa itu sangat kecewa sama kamu. Papa kira dulu itu kamu memang mau dengar kata papa, tapi ternyata kamu sekarang malah tumbuh jadi anak durhaka kaya gini!"

"Kalaupun aku dengar kata papa sampai akhirnya aku benar-benar masuk kedokteran, aku tidak akan bahagia pa, cuman papa yang bahagia. Sedangkan aku? Aku terus hidup dalam tekanan, penderitaan, dan terus berkutat dengan kepura-puraan"

"Terusin aja kamu jawab!, Terserah kamu Ven, kalau kamu tetep kekeuh mau masuk kesenian. Silahkan, silahkan kamu HIDUP SENDIRI!"

"IYA PAH, VENUS BAKAL HIDUP SEN--"

Plakk,,, suara tamparan dan rasa panas dipipi kananku mulai terasa perih. Kucuran air mata benar-benar tak sanggup aku bendung lagi. Mama yang sedari tadi melihat aku dan papa beradu debat, dan tidak berani menyelanya, akhirnya berlari ke arahku ketika mama melihat aku ditampar oleh sosok penyuruh ini, dia langsung memelukku. Tangisanku tambah menjadi-jadi didalam pelukan itu.

Mama mengajakku masuk ke dalam kamar. Dan meminta ku untuk tidak berangkat sekolah hari ini. Mama berkata, "kamu istirahat aja dulu ya Ven, mama gamau kamu kenapa-napa"

Aku benar-benar marah dan kesal saat itu. Keputusan ku untuk lari dari rumah rasanya sudah bulat. Dengan kucuran air mata yang masih cukup deras, aku memasukkan pakaian ku ke dalam tas ranselku. Aku pergi keluar rumah, tanpa pamit. Aku segera menuju pintu depan, dan tak menghiraukan mama dan juga papa ku. Kepalaku tidak aku paling kan kemana-mana, aku hanya fokus berjalan cepat menuju pintu keluar.

"Ven! Mau kemana kamu?!" Teriak papa dari ruang tengah.

Aku tak menghiraukan suara apapun. Sekalipun itu suara mama ku yang terus menerus meminta ku untuk tidak pergi. Saking kesalnya papa, akhirnya dia menarik tanganku kembali.

"JAWAB PERTANYAAN PAPA, KAMU MAU KEMANA?!" Bentaknya kepadaku.

"Ini kan pa, yang papa mau? Aku hidup sendiri? It's oke aku hidup sendiri pa, yang paling penting aku ga terus²an jadi robot hidup pengabul impian papa", kataku dengan cukup keras, sambil berusaha melepaskan tanganku yang dipegang papa dengan sangat erat. Mama berusaha memelukku, dan merayu ku untuk tidak pergi dari rumah.

"Ven jangan pergi Ven, mama mohon jangan pergi"

Aku memeluk mama sambil mendekatkan diriku kearah telinga mama, "mama jangan khawatir, aku cuman butuh waktu sendiri. Gausa cari aku. Gausa minta tolong siapapun untuk cari aku. Aku akan pulang, saat badaiku udah reda"

Aku segera keluar rumah. Papa yang mau mengejar ku sepertinya di tahan mama untuk membiarkanku tetap pergi. Langkah kaki yang sebenarnya sangat berat untuk melangkah meninggalkan rumah, begitu terasa. Tapi kata hati dan mimpiku juga perlu dipertahankan. Langkah kaki ini terus berjalan bersamaan dengan tetesan air mata yang tak kunjung henti. Kepala aku tundukkan, dan topi yang aku kenakan aku turunkan, agar orang lain tak melihatku yang penuh dengan air mata. Entahlah, aku berjalan ke arah mana, tak ada tujuan. Tapi tiba-tiba saja.

"VENUSSS!" Suara laki-laki terdengar. Aku sungguh takut, aku terasa trauma dengan teriakan suara laki-laki. Tapi setelah orang itu memanggilku ke tiga kalinya, aku baru sadar bahwa itu bukan papa. Bukan suara papa yang aku denger. Tapi orang yang familiar. Akhirnya kubalikkan badanku.

"Jery?! Lo ngapain ada disini?" Tanyaku sambil sedikit terisak

"Lo ngapain disini? Harusnya gue yang nanya Lo ngapain disini, Ven?" Jawab Jery dengan tegas.

"G--gu---gue disini mmm gapapa" jawabku terbata-bata

"Cewek, bolos sekolah, jalan sendirian, nangis lagi, Lo bilang gapapa? Munafik banget si Lo"

"Heh, bolos sekolahnya gue tu masih terhormat. Ga masuk dari pagi, dan ga pake seragam sekolah waktu keluar. Lah elo? Bolos ditengah pelajaran. Balik sana Lo" kataku sambil memalingkan wajahku kearah kiri.

"Ven? Pipi Lo? Merah banget? Lo abis ngapain?"

"Aduh Jer, gausa sok peduli gitu deh. Balik balik balik, balik sanaaa" usirku pada Jery, sambil aku berjalan kecil pergi menjauhi Jery.

"Gak, gue ga akan balik. Sebelum Lo cerita sama gue. Udah sekarang Lo naik, gue anter Lo ke suatu tempat"

"Kemana sih Jer, Lo ga liat gue mau pergi sendiri?"

"Pergi sendiri Lo bilang? Gue tau kalo Lo itu ga punya arah tujuan. Cepetan naik"

Aku sedikit menurunkan ego ku untuk menuruti apa kata Jery. Entah kemana dia membawaku pergi. Yang pasti dia membawaku ke tempat yang cukup jauh dari rumahku. Yang bisa aku lakukan hanyalah pasrah diatas jok motor itu.

"Turun cepetan,  suruh Jery padaku, sambil dia menstandarkan motornya.

"Rumah siapa si Jer?" Tanyaku dengan heran.

"Rumah eyang. Lo tinggal disini aja, Lo butuh waktu untuk nenangin diri dari kerasnya ibu kota kan?"

"Tt--tapi gue ga enak lah sama eyang Lo"

"Udah gapapa, tenang aja. Eyang pasti seneng"

Jery mengajakku masuk. Kita bertiga saling berbincang. Eyang bahkan mengijinkanku untuk tinggal sementara waktu. Eyang adalah sosok penyayang, hangat, senang bercanda, dan ya Pintar!. Sepertinya pintar Sudah menjadi garis keturunan keluarga besar Jery.

Menginjak hari ketiga dirumah eyang, aku sudah merasa sangat nyaman disana. Dan tiba-tiba saja suara motor Honda CBR250RR milik Jery, terdengar. Aku yang masih duduk di bangku belakang rumah, tak beranjak sedikitpun dari tempat itu. Hingga akhirnya Jery mengalah, untuk menemuiku di halaman belakang.

"Pergi yuk! Tapi janji ya abis aku ajak kamu seneng-seneng, kita pulang ke rumah"

"Gue dah nyaman disini jer"

"Lo tau kan Ven kalau marah lebih dari 3 hari itu gabaik"

"Yauda buruan pergi, trus pulang", jawabku seraya berdiri dari bangku.

Kita berdua menuju tempat yang aku tidak tau kemana arahnya. Aku hanya mengikuti alurnya saja. Aku juga tak begitu peduli dia akan mengajakku kemana.

"Lah Jer, ini kan pantaii?!!"

"Iya, pantai"

"Astagfirullah, Lo tau kan jer kalo gue Thalassophobia?"

"Iya tau. Tapi Lo perlu coba kesini Ven. Ini lah tempat satu-satunya di belahan muka bumi ini yang paling tenang. Lagian kita ga bakal nyentuh airnya. Kita cuman duduk diatas tebing itu", kata Jery sambil menunjuk ke arah tebing yang ia maksud.

"Aduhh, gue udah ngerasa cemas bgt ini Jer. Gue kayaknya ga bis--"

"Udah ayok", ajak Jery yang menyela perkataanku dan langsung menarik tanganku.

"Ampun yaAllah, ini namanya bukan seneng-seneng. Tapi uji nyali", kataku dengan mata yang mulai berkaca-kaca karena ketakutan.

"Kita duduk situ aja ya. Ga usah naik ke tebing yang lebih tinggi lagi. Gue Acrophobia, hehehe" kata Jery sambil terus menggeretku untuk tetep naik ke atas tebing.

Kita mulai duduk di tepi tebing. Udara syahdu yang dibawa laut memang menenangkan sekali bagiku. Lagi-lagi angin terasa seperti membawa puih-puih masalah hidupku berterbangan pergi menjauh dariku. Lega sekali rasanya.

"Ven, Lo tau ga? Arti dari setiap nama Lo?" Kata Jery memulai percakapan

"Mmm engga tau"

"M-a-e-z-u-r-r-a" ejanya dengan sedikit pelan, "nih ya menurut numerologi, jumlah angka M=13, A=1, E=5, Z=26, U=21, R=18, A=1 Itu adalah 85. Sehingga, studi numerologi mengatakan, kepribadian yang dimiliki itu salah satunya adalah mengutamakan prinsip. Kayanya gue ngerti kenapa Lo selalu teguh banget sama pendirian dan keinginan Lo"

Aku hanya menjawabnya dengan anggukan dan membiarkan dia terus berbicara.

"C-l-e-m-i-r-a" ejanya sekali lagi, "menurut numerologi, jumlah angka dari C=3, L=12, E=5, M=13, I=9, R=18, A=1 itu adalah 61. Studi numerologi bilangnya si, artinya memiliki kepribadian yang suka belajar dan berpengetahuan. Kayanya itu alesan, kenapa Lo disebut "si ranking1"

Aku langsung menanyakan satu hal yang membuatku sangat bingung, "Venus nya mana? Lo lewatin? Apa Lo lupa nama gue ada venusnya?"

"Nah. Lo sadarkan kalo nama Lo sangat mencerminkan kepribadian Lo? Sekarang saatnya gue jelasin arti Venus"

"Apaan emang arti Venus? Lo bakal bilang 'menurut studi numerologi' kan? Kataku sambil mengeluarkan nada ejekan.

Jery tak menghiraukan nada ejekanku, dan melanjutkan ocehannya itu. "Venus itu planet ke 2 yang paling dekat dengan matahari. Dia bukan planet seistimewa bumi yang bisa menampung kita semua. Sama kaya Lo, ga terlalu istimewa. Venus juga bukan planet terbesar. Tapi ada 1 fakta yang pasti Lo tau. Vanus adalah planet yang paling-- terang"

"Iya gue tau. Terus?" Jawabku

"Gue mau, lo kaya planet venus, bisa terus memancarkan sinar yang paling terang diantara semua planet. Gue mau, Lo orang yang paling terang memancarkan kebahagiaan. Gue tau, lo itu orangnya ceria dan bawa keceriaan buat orang lain. Tapi kalau lo berbadai kaya gini, semesta terasa seperti kehilangan sinarnya yang paling terang", kata Jery sambil menatapku dengan senyumnya yang begitu manis.

Aku hanya bisa menatap Jery dengan tatapan yang sangat dalam. Mataku mulai berkaca. Tapi tanganku, sesegera mungkin menyapu air mata yang mau turun.

"Semua orang didunia ini pasti punya masalah Ven. Allah kasih kita ujian pun Dia pasti udah tau takarannya, udah tau kita kuat apa engga. Gue yakin lo pasti kuat", kata Jery melanjutkan ucapannya.

"Hidup itu emang keras dan penuh kenegatifan, Ven. Itulah mengapa kita selalu berusaha untuk menjadi Proton. Iya Proton, partikel subatomik yang bermuatan positif. Padahal disekelilingnya adalah awan elektron yang bermuatan negatif yang selalu mengelilinginya", Sambung Jery.

"Bagi beberapa orang, rumah bukan jadi tempat untuk pulang. Persis banget sama kayak kata boy Candra,

'Ketika rumah tak lagi tempat yang nyaman untuk pulang. Kau sedang berada jauh dari dirimu yang biasanya. Kau butuh seseorang untuk menemanimu menemukan segelas minuman menghangatkan.

Lo cuman butuh seseorang yang ngertiin Lo. Dan gue-- Gue siap untuk jadi seseorang itu", sambung Jery kedua kalinya sambil lagi-lagi tersenyum dengan begitu lebar.

Aku memeluknya sangat erat. Mulai menangis, dan tangisan itu meringankanku dari segala beban yang aku punya. Aku kembali kerumah dengan rasa takut yang teramat. Ternyata mamaku telah menunggu ku tepat di depan pintu. Ku tundukkan kepalaku karna aku merasa bersalah sekali. Mamaku memelukku, dan mengajak aku dan Jery masuk kedalam rumah. Sungguh terkejut aku ketika melihat papa yang masih dirumah. Ia duduk, dan sepertinya ingin berbicara padaku.

"Venus, anak papa. Papa sekarang ngerti. Papa gamau lagi nyuruh kamu untuk ngelakuin hal yang papa mau. Papa udah percaya bahwa kamu udah dewasa dan papa udah serahkan seluruh kepercayaan papa ke kamu. Kamu sekarang bebas pilih semua tujuan hidupmu. Maafin papa karena keegoisan papa kemarin. Semua itu juga punya alasan yang selama ini kamu ga tau Ven"

Aku sedikit terkejut dengan kata-kata papa. Aku mulai mendongakkan kepala, dan menatap mata papa.

"Dulu, sebenarnya kamu memiliki kakak laki-laki. Dia selisih 2 tahun dari kamu. Ketika itu, papa tidak memiliki uang sebanyak sekarang. Tapi kakak kamu malah mengidap penyakit pneumonia. Pengobatan yang cukup besar, membuat kakak kamu jarang untuk berobat hingga akhirnya kakakmu pergi untuk selamanya. Semenjak itu papa selalu diselimuti rasa bersalah. Kelahiranmu, menjadi harapan baru buat papa dan mama. Papa gamau jika yang papa alami, terulang kembali ke kamu. Papa takut jika kamu terjun di dunia seni yang keadaan ekonomi seorang seniman itu terkadang pasang surut, sehingga akan membuat kamu kesusahan seperti papa pada saat itu, hingga kehilangan kakakmu. Sedangkan dokter? Keadaan ekonomi dokter pasti selalu tercukupi. Dan pada saat itu yang hanya papa pikirkan, kamu bisa menyelamatkan anak-anak dengan gangguan penyakit yang sama dengan kakakmu"

Aku langsung menuju arah papa ku, memeluknya dengan sangat amat erat. Menangis sejadi-jadinya aku di pelukan papa. Dengan suara yang masih terisak-isak, aku berkata,

"Maafin aku pa. Aku ga akan kecewain papa lagi. Dan tentu ga akan kecewain kakak"

Jery pamit untuk pulang. Mama dan papa sangat berterimakasih kepada Jery, karena telah mampu mengajakku untuk pulang. Jery menatapku dan menghampiriku sekali lagi. Dia mengusap air mata yang mengalir di pipi kiriku. Dia merogoh saku kanan jaketnya, sekotak box panjang berwarna merah muda diberikan kepadaku. Dia hanya berkata bahwa aku boleh membukanya nanti ketika ia sudah pulang.

Aku kembali ke kamarku. Aku duduk di jendela kamarku. Menatap langit yang begitu gelap. Aku membuka box merah muda itu. Tak kuduga ternyata berisi botol kaca yang didalamnya terdapat bunga dandelion. Aku terheran-heran apa maksudnya bunga dandelion? Sepucuk surat yang ia berikan mulai aku baca.

- Dandelion, 

Kamu tau kan bunga ini? Apa yang kamu tahu tentang bunga ini? Tumbuhan liar, yang tumbuh diantara ilalang kan? Bunga dandelion sebenarnya punya makna dalam yang bener-bener gue suka. Bunga ini memeng terlihat sangat rapuh, tapi dibalik kerapuhannya itu sebenarnya dia adalah bunga yang paling kuat.

 

Venus, masalah dalam hidup akan tetap ada nantinya. Ingatlah bahwa kehidupan akan sama akhirnya dengan Dandelion. Ia akan ditiup angin kencang hingga akhirnya serpihan bunga ditubuhnya hancur berterbangan. Tapi perlu elo inget, serpihan bunga dandelion yang hancur tertiup angin itu akan tumbuh menjadi bunga baru, dan kehidupan baru. 

Kututup surat itu. Kuletakkan botol kaca dandelion itu diatas meja samping kasurku. Ku duduk diatas ranjangku. Dan di dalam hatiku, aku mengatakan,

"Kamu dan dandelion benar-benar jadi semangat kehidupanku"

-----THE END

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun