Mohon tunggu...
Naraya Syifah
Naraya Syifah Mohon Tunggu... Penulis - Perempuan Penggembala Sajak

Tidak ada yang istimewa dari Naraya Syifah, ia hanya seorang gadis kampung yang sederhana, putri sulung dari keluarga sederhana yang disimpan banyak harapan di pundaknnya. Ia memiliki kepribadian mengumpulkan sajak di pelataran rumahnya. Pernah tergabung dalam beberapa komunitas literasi dan alhamdullilah saat ini sebagai penggerak literasi di kabupaten Subang. Ia menjalankan komunitas Pena Cita bersama teman-teman sehobinya. Kecintaannya pada literasi menghantarkannya sampai di sini. Semoga awal yang baru ini dapat lebih mengembangkan tulisannya dan merubah hidupnya. Selain menulis ia juga tergila-gila dengan K-drama yang dapat menginspirasi nya dalam menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

(Kisah Nyata) Ditinggal ke Pelaminan

6 Juli 2022   18:10 Diperbarui: 7 Juli 2022   12:25 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Sebentar lagi Pak ganteng mau masuk," ucap salah salah satu siswi di kelasku.

Iya. Begitulah sapaan kami untuk salah satu guru yang kebetulan sedang menjalankan KKN di sekolahku. Dia adalah bintang dari mahasiswa KKN yang lainnya. Namanya menjadi perhatian seluruh siswi khususnya di kelasku berkat parasnya yang tampan dan kepiawaiannya dalam mengajar.

Aku pun menyadari bahwa Tuhan telah menciptakan makhluk sesempurna ini. Seakan Dia menciptakannya sambil tersenyum. Dan entah kapan sejak aku memulainya, kehadirannya di sini tak pernah lepas dari perhatianku. Toh, tidak salah, kan jika seorang murid mengagumi gurunya sendiri. Hanya sebatas itu.

Seiring berjalannya waktu, entah hanya perasaanku saja atau aku yang terlalu berlebihan, tetapi dia selalu membuat aku merona dengan sikapnya. Caranya menyebut namaku, caranya memanggilku di dalam kelas, juga bagaimana dia yang terus mengandalkanku dalam hal apapun di sekolah.

Apakah aku terlalu lebay jika aku mengatakan bahwa hatiku berdebar karena itu?

Dia membuatku berharap kepadanya secara tak langsung.

Suatu hari, aku menatap notif pesan yang masuk ke whatsApp-ku yang ternyata adalah dirinya. Aku mengulum senyumku sendiri hingga aku terus menatapnya berulang-ulang jika ini bukanlah mimpi.

Assalamualaikum ... Laras, ini dengan Pak Alif.

Hatiku berdegup kencang hanya karena satu pesan darinya. Lantas aku kemudian membalasnya.

Waalaikumsalam ... iya, Pak.

Jawabku lebih terdengar canggung karena tak tau kata apa yang harus kutulis untuknya. Percakapan itu terus berlangsung sampai kantuk mulai menyerang.

Selang beberapa lama, Pak Alif mengatakan jika ia ingin meminta waktu lebihku untuknya. Ternyata diapun dijerat rasa yang sama, dia mengatakan jika ia menyukaiku.

Aku yang tengah dimabuk cinta untuknya tetiba mendapat pernyataan cinta dari seseorang yang selama ini aku kagumi diam-diam, jantungku melompat-lompat kegirangan.

Aku tidak pandai menyembunyikan rasaku, bahwa saat ini ribuan kupu-kupu seperti tengah menggelitiki dadaku. Aku tak berhenti tersenyum karenanya, bahkan kubawa sampai ke dunia mimpiku. Aromanya masih bisa kucium.

Semenjak kami resmi menjadi sepasang kekasih, komunikasi kami semakin intens bahkan sesekali Pak Alif bertandang ke rumahku untuk berbincang dengan ayah dan ibuku. Namun hal itu tidaklah sering mengingat Pak Alif berdiam di salah satu pondok pesantren serta ada beberapa tanggung jawab yang diembannya di sana.

Perjalananku selama kurang lebih tiga tahun bersama Pak Alif berjalan mulus dan baik-baik saja. Meskipun kami tidak sering bertemu seperti pasangan yang lainnya. Beberapa hari setelah kelulusanku, Pak Alif kembali bertandang ke rumahku.

"Kemana Adek akan melanjutkan studinya?" tanyanya padaku.

"Entahlah ... aku masih belum tau," jujurku yang memang saat itu belum punya incaran sekolah manapun untuk mengisi perjalanan sekolah menengahku.

"Kalau memang belum punya ikut saja dengan Aa, Adek bisa sekolah di sana sambil belajar ilmu agama."

"Aa mau aku sekolah sambil mondok?" tanyaku ragu.

"kalau memang benar kamu menyukaiku, ikuti saran Aa. Kalau memang tidak bisa, kita cukup sampai di sini saja."

Aku yang tak terima dengan pernyataan putusnya tentu saja memilih untuk mendengarkan sarannya dan mengikutinya ke pesantren. Aku sudah terlanjur mencintainya, membayangkan aku akan putus dengannya membuat hatiku sakit. Aku akan melakukan apapun agar aku dan Pak Alif terus bersama.

Toh, dengan mengikutinya ke pondok setidaknya aku bisa terus melihatnya setiap hari meski tidak bisa berbincang berdua saja. Itu saja sudah membuatku senang.

Satu tahun di pondok telah dilewati. Dia masih sama, sesekali menyapa saat kami tak sengaja bertemu. Dia juga masih bertanya padaku di dalam kelas karena kebetulan dia juga mengajariku di pondok pesantren. Sebagaimana guru dan seorang muridnya, kami berinteraksi di dalam kelas dan di luar kelas secukupnya. 

Kehadirannya membuatku semakin bersemangat dalam menuntut ilmu. Apalagi jika hafalanku belum lancar, aku merasa malu padanya.

Di tahun ke dua aku di pondok yang berarti tahun ke lima hubungan kami, badai itu mulai menerjang. Rumah cinta yang sudah kami siapkan perlahan-lahan ambruk. Atapnya bocor, kayu dan paku-pakunya berlarian terseret angin.

Apakah pondasi yang kami buat tak cukup kuat?

Dengan sekali tiup rumah itu ambruk seketika. Tidak ada yang tersisa, hanya aku yang tertatih-tatih sendirian terjebak dalam rumah itu yang bahkan sebentar lagi akan menimpa tubuhku.

Hatiku koyak tercabik-cabik jejak dirinya, aku bahkan keluar dengan lumuran darah namun dia mengabaikannya dan berpura-pura tidak tau.

Demi cintaku untuknya, aku masih berusaha mempercayainya saat sang bayu mulai menggoyahkan hubungan kami. Tapi aku tak ingin goyah sedikit saja, perasaanku padanya kupikul lebih besar dari semua gosip yang menyeruak di tubuh pesantren yang masuk ke dalam ruang gendangku secara gerombolan.

"Apa benar Aa mau dijodohin?" tanyaku padanya melalui telepon yang kupinjam dari ibuku.

Selama ini aku sudah menelan semua omong kosong di sekitarku yang mengatakan bahwa ia akan dijodohkan dengan perempuan lain. Tentu saja aku tidak mempercayainya karena keyakinanku padanya jauh lebih besar, bahkan kedua keluarga kami sudah saling dikenalkan. Bagaimana mungkin dia akan meninggalkanku dan memulai dengan yang lain.

"Siapa yang mau dijodohkan? Aa, kan, sudah bilang mau nungguin Adek sampai lulus sekolah. Bahkan sampai lulus kuliah nanti, Aa akan tetap setia," sangkalnya di seberang sana.

"Tapi semua orang mengatakan bahwa Aa akan dijodohkan dengan yang lain," ucapku sembari menahan genangan air mata di kelopak mataku yang sudah berat.

"Kalau begitu kita menikah saja. Adek tidak keberatan nikah muda sama aa?"

Entah bodoh atau memang aku sudah tergila-gila padanya. Aku menerima begitu saja tawarannya. Bahkan sempat terlintas di pikiranku, aku yang saat itu masih duduk di bangku kelas dua SMK ingin menghentikan studiku untuk menikah dengannya.

Masalah sekolah nanti saja. Toh, aku bisa menyusul dengan paket B setelah menikah. Yang terpenting aku ingin bersamanya. Aku hanya ingin dia, dan hidup dengannya.

Pembicaraan kami berakhir sampai di situ saja. Namun hal itu terus diulangnya setiap kali ada kesempatan. Dia beberapa kali menyeruakan keinginannya untuk menikahiku dan jawabanku selalu sama. Aku selalu setuju untuk menikahinya, persetan dengan sekolahku. Aku tidak perduli.

Pak Alif dengan keberaniannya dan sikapnya yang tenang berhasil meyakinkan ibu dan ayahku bahwa ia berniat menikahiku dalam waktu dekat. 

Kedua orang tuaku pun tak pernah mempermasalahkannya, selagi aku bahagia dengannya. Namun kabar bahwa dia akan dijodohkan semakin santer terdengar.

Aku berpura-pura tuli seakan aku tak mendengarnya. Aku mengabaikan sahabat dan orang-orang yang biasa di sampingku hanya untuk mempercayainya. Hingga pada suatu sore, senjaku berubah menjadi hitam pekat. Gemuruh guntur saling meraung-raung berlomba-lomba dengan derasnya hujan di mataku.

Saat itu tepat pukul 17.00 aku menerima telepon dari ibuku. Tidak! Lebih tepatnya itu adalah waktu di mana rumah yang sudah lima tahun kubangun dihancurkan badai dan aku tertimpa puing-puing reruntuhannya.

"Itu tidak mungkin, Bu" rintihku dengan mata berlinang.

Pertahananku hancur, tubuhku bergetar, suaraku mulai tak terdengar. Berulang kali ibu memanggil namaku di seberang sana.

"Ras ... Laras ... kamu baik-baik saja, kan?"

Kedua bibirku bergetar, aku tak dapat mengatakan sehurup pun karena menahan tangis yang sebentar lagi akan pecah. Bagaimana mungkin aku baik-baik saja.

"I -iya bu ... tapi kenapa, bu? Kenapa dia tidak memberitahuku padahal baru saja kita bertemu? Kenapa dia tidak mengatakan apapun pada Laras? Dia bilang kita akan menikah sebentar lagi, kan, Bu" Aku mengucapkannya dengan suara bergetar.

"Ibu juga tidak tau, tiba-tiba dia datang dan mengatakan ingin taaruf dengan seseorang. Kamu harus ikhlas, Nak. Sekarang jalani saja sekolahmu dan mengaji dengan baik. Jangan memikirkan apapun. Jangan memikirkan dia lagi," nasehat ibu sebelum menutup teleponnya.

Hal yang kusesalkan hingga saat ini, kenapa dia tidak jujur saja kepadaku bahwa ia memang dijodohkan dan akan menikahi perempuan lain. Kenapa dia terus menanam harapan padaku hingga akhirnya aku tak tau bagaimana cara menghentikannya.

Di saat dia mengatakan bahwa dia telah memilihku ketimbang perjodohan itu, aku terus memupuk benih cintaku untuknya. Tapi dengan egoisnya yang ia berikan kepadaku hanyalah kebohongan.

Tak lama dari itu aku mendengar dia telah mengkhitbah perempuan itu dan kini telah dikaruniai seorang anak. Dia sudah bahagia dengan pilihannya.

Lalu aku?

Seperti orang bodoh aku masih menunggunya untuk kembali.
Aku masih menunggunya datang dan mengatakan maafnya karena meninggalkanku.

Seperti orang bodoh aku masih mengharapkannya sebesar itu.

Aku mungkin sudah tidak waras mencintai seseorang yang sudah mengkhianatiku dan kini telah menjadi milik perempuan lain.

Aku tidak bisa membuka hatiku untuk pria lain. Di dalam sini, masih dipenuhi dengan jejaknya. Bagaimana bisa aku menghapusnya sementara bayangan wajahnya terus berputar di kepalaku.

Pak Alif ....

Tolong jangan membenciku karena masih mencintaimu.

Jangan membenciku karena masih merindukanmu.

Aku juga ingin pulih. Aku ingin terhapus dari rasa sakit ini.

Ini juga tidak adil untukku, bagaimana mungkin aku sesakit ini sementara kamu di sana sangat baik-baik saja.

Bagaimana bisa hanya aku yang menderita sendirian?

Aku juga ingin sepertimu. Tertawa seolah tidak ada apapun yang terjadi.

Beri aku waktu lebih lama lagi, meski entah kapan akan terjadi. Tetapi, aku janji hingga tiba waktunya.

Aku akan melupakanmu dan memaafkanmu dengan lapang.

~Jangan pernah mencintai makhluk-Nya melebihi cintamu pada Tuhanmu.~

Jangan berbuat sesuatu atas nama cinta kepada makhluk, lakukanlah atas nama cinta dan baktimu kepada Yang Maha Menciptakanmu. Dialah sesungguhnya Yang Maha membolak-balikan hati manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun