"Itu tidak mungkin, Bu" rintihku dengan mata berlinang.
Pertahananku hancur, tubuhku bergetar, suaraku mulai tak terdengar. Berulang kali ibu memanggil namaku di seberang sana.
"Ras ... Laras ... kamu baik-baik saja, kan?"
Kedua bibirku bergetar, aku tak dapat mengatakan sehurup pun karena menahan tangis yang sebentar lagi akan pecah. Bagaimana mungkin aku baik-baik saja.
"I -iya bu ... tapi kenapa, bu? Kenapa dia tidak memberitahuku padahal baru saja kita bertemu? Kenapa dia tidak mengatakan apapun pada Laras? Dia bilang kita akan menikah sebentar lagi, kan, Bu" Aku mengucapkannya dengan suara bergetar.
"Ibu juga tidak tau, tiba-tiba dia datang dan mengatakan ingin taaruf dengan seseorang. Kamu harus ikhlas, Nak. Sekarang jalani saja sekolahmu dan mengaji dengan baik. Jangan memikirkan apapun. Jangan memikirkan dia lagi," nasehat ibu sebelum menutup teleponnya.
Hal yang kusesalkan hingga saat ini, kenapa dia tidak jujur saja kepadaku bahwa ia memang dijodohkan dan akan menikahi perempuan lain. Kenapa dia terus menanam harapan padaku hingga akhirnya aku tak tau bagaimana cara menghentikannya.
Di saat dia mengatakan bahwa dia telah memilihku ketimbang perjodohan itu, aku terus memupuk benih cintaku untuknya. Tapi dengan egoisnya yang ia berikan kepadaku hanyalah kebohongan.
Tak lama dari itu aku mendengar dia telah mengkhitbah perempuan itu dan kini telah dikaruniai seorang anak. Dia sudah bahagia dengan pilihannya.
Lalu aku?
Seperti orang bodoh aku masih menunggunya untuk kembali.
Aku masih menunggunya datang dan mengatakan maafnya karena meninggalkanku.