"kalau memang benar kamu menyukaiku, ikuti saran Aa. Kalau memang tidak bisa, kita cukup sampai di sini saja."
Aku yang tak terima dengan pernyataan putusnya tentu saja memilih untuk mendengarkan sarannya dan mengikutinya ke pesantren. Aku sudah terlanjur mencintainya, membayangkan aku akan putus dengannya membuat hatiku sakit. Aku akan melakukan apapun agar aku dan Pak Alif terus bersama.
Toh, dengan mengikutinya ke pondok setidaknya aku bisa terus melihatnya setiap hari meski tidak bisa berbincang berdua saja. Itu saja sudah membuatku senang.
Satu tahun di pondok telah dilewati. Dia masih sama, sesekali menyapa saat kami tak sengaja bertemu. Dia juga masih bertanya padaku di dalam kelas karena kebetulan dia juga mengajariku di pondok pesantren. Sebagaimana guru dan seorang muridnya, kami berinteraksi di dalam kelas dan di luar kelas secukupnya.Â
Kehadirannya membuatku semakin bersemangat dalam menuntut ilmu. Apalagi jika hafalanku belum lancar, aku merasa malu padanya.
Di tahun ke dua aku di pondok yang berarti tahun ke lima hubungan kami, badai itu mulai menerjang. Rumah cinta yang sudah kami siapkan perlahan-lahan ambruk. Atapnya bocor, kayu dan paku-pakunya berlarian terseret angin.
Apakah pondasi yang kami buat tak cukup kuat?
Dengan sekali tiup rumah itu ambruk seketika. Tidak ada yang tersisa, hanya aku yang tertatih-tatih sendirian terjebak dalam rumah itu yang bahkan sebentar lagi akan menimpa tubuhku.
Hatiku koyak tercabik-cabik jejak dirinya, aku bahkan keluar dengan lumuran darah namun dia mengabaikannya dan berpura-pura tidak tau.
Demi cintaku untuknya, aku masih berusaha mempercayainya saat sang bayu mulai menggoyahkan hubungan kami. Tapi aku tak ingin goyah sedikit saja, perasaanku padanya kupikul lebih besar dari semua gosip yang menyeruak di tubuh pesantren yang masuk ke dalam ruang gendangku secara gerombolan.
"Apa benar Aa mau dijodohin?" tanyaku padanya melalui telepon yang kupinjam dari ibuku.