Selama ini aku sudah menelan semua omong kosong di sekitarku yang mengatakan bahwa ia akan dijodohkan dengan perempuan lain. Tentu saja aku tidak mempercayainya karena keyakinanku padanya jauh lebih besar, bahkan kedua keluarga kami sudah saling dikenalkan. Bagaimana mungkin dia akan meninggalkanku dan memulai dengan yang lain.
"Siapa yang mau dijodohkan? Aa, kan, sudah bilang mau nungguin Adek sampai lulus sekolah. Bahkan sampai lulus kuliah nanti, Aa akan tetap setia," sangkalnya di seberang sana.
"Tapi semua orang mengatakan bahwa Aa akan dijodohkan dengan yang lain," ucapku sembari menahan genangan air mata di kelopak mataku yang sudah berat.
"Kalau begitu kita menikah saja. Adek tidak keberatan nikah muda sama aa?"
Entah bodoh atau memang aku sudah tergila-gila padanya. Aku menerima begitu saja tawarannya. Bahkan sempat terlintas di pikiranku, aku yang saat itu masih duduk di bangku kelas dua SMK ingin menghentikan studiku untuk menikah dengannya.
Masalah sekolah nanti saja. Toh, aku bisa menyusul dengan paket B setelah menikah. Yang terpenting aku ingin bersamanya. Aku hanya ingin dia, dan hidup dengannya.
Pembicaraan kami berakhir sampai di situ saja. Namun hal itu terus diulangnya setiap kali ada kesempatan. Dia beberapa kali menyeruakan keinginannya untuk menikahiku dan jawabanku selalu sama. Aku selalu setuju untuk menikahinya, persetan dengan sekolahku. Aku tidak perduli.
Pak Alif dengan keberaniannya dan sikapnya yang tenang berhasil meyakinkan ibu dan ayahku bahwa ia berniat menikahiku dalam waktu dekat.Â
Kedua orang tuaku pun tak pernah mempermasalahkannya, selagi aku bahagia dengannya. Namun kabar bahwa dia akan dijodohkan semakin santer terdengar.
Aku berpura-pura tuli seakan aku tak mendengarnya. Aku mengabaikan sahabat dan orang-orang yang biasa di sampingku hanya untuk mempercayainya. Hingga pada suatu sore, senjaku berubah menjadi hitam pekat. Gemuruh guntur saling meraung-raung berlomba-lomba dengan derasnya hujan di mataku.
Saat itu tepat pukul 17.00 aku menerima telepon dari ibuku. Tidak! Lebih tepatnya itu adalah waktu di mana rumah yang sudah lima tahun kubangun dihancurkan badai dan aku tertimpa puing-puing reruntuhannya.