Byurr!
Tubuhku kuyup saat sepasang tangan kekar itu menjatuhkan sebuah ember berisi air kotor melumuri seluruh wajahku hingga ke badanku. Aromanya masih kuingat hingga saat ini.
Sebegitu kotornyakah aku baginya? sebegitu nakalnyakah aku di usia itu hingga membuatnya murka?
Sebegitu bencikah dia padaku?
Aku mengunjungi seseorang yang biasa kupanggil ayah. Namun sosok itu malah membalas salamku dengan seember air bekas dan membuatku menangis meraung-raung di hadapannya. Jika ini mimpi, tolong bangunkan aku sekarang juga. Kenapa rasanya begitu sakit. Sangat sakit.
“Pergi saja sana! Untuk apa kamu di sini sekarang?” bentaknya padaku yang masih menangis.
Rintih tangisku malah semakin menjadi, sambil memeluk tubuh mungilku yang kedinginan. Aku seperti anak yang tak seharusnya dilahirkan di matanya. Aku bukan anak yang diharapkannya selama ini. Mengingat itu, hatiku semakin retak. Aku adalah seseorang yang dilahirkan ke dunia ini tanpa kuminta. Tanpa ku tahu alasan kenapa aku harus ada.
Dahulu ... aku mungkin jelmaan dari doa yang dipanjatkannya setiap malam sebelum wanita yang melahirkanku ke dunia ini pergi untuk selamanya.
Tujuh tahun yang lalu ... orang bilang wanita yang sudah ditakdirkan menjadi ibuku meninggalkanku tepat saat umurku menginjak tiga tahun. Kanker rahim telah mengambil dirinya dariku yang saat itu sangat kubutuhkan keberadaannya. Egoisnya, tidak ada seorang pun yang tau bahwa penyakit itu telah menggerogotinya begitu lama. Hingga akhirnya takdir membawanya jauh dari jangkauan tapuk mataku. Sejak saat itu pula lelaki yang kusapa ayah itu perlahan menjauh.
Lantas bagaimana dengan aku?
Apakah salahku kenapa ibu pergi?