Kenapa aku harus selemah ini?
Bukankah dengan begitu mereka akan berhenti menyiksaku?
Pikiran seperti itu pernah mampir di kepalaku, namun sialnya aku terlalu takut untuk bertindak. Aku tak punya siapapun di samping aku. Tak ada orang yang bisa kumintai pertolongan selain diriku sendiri yang sudah tak berdaya.
Aku memberanikan diri untuk mengadukannya kepada guruku saat SMP, namun ia hanya sebatas mendengar tanpa memahami. Tak ada aturan yang jelas yang bisa melindungiku di sekolah. Orang-orang yang menggangguku tak mendapatkan hukuman apapun selain sebuah wejangan yang muncul dalam satu kalimat.
“Jangan diulangi lagi, ya. Kasihan temannya.”
Itu saja. Lantas apa mereka jera?
Apa mereka takut?
Apa mereka akan berhenti?
Lupakan wejangan itu! Lihat apa yang terjadi kepadaku setelahnya ....
Perlakuannya padaku semakin bengis. Suatu hari ketika aku hendak mengambil air wudu di sebuah sungai di dekat sekolah, seorang anak mendorongku hingga aku tercebur. Seseorang yang lainnya berteriak meminta tolong melihat tubuhku yang terombang-ambing namun tak melakukan apapun, seseorang yang lainnya hanya diam menyaksiakan seakan aku adalah tontonan komedi untuknya.
Dengan kekuatan penuh aku berusaha untuk naik ke tepian. Aku sadar tidak akan ada yang dapat menolongku selain diriku sendiri.
Aku pulang dengan pakaian basah kuyup membawa gosip yang beredar di keranjang hatiku yang patah, bahwa si gadis jelek dan ceroboh terpeleset ke dalam sungai. Bahkan supir angkut pun tak mengijinkanku untuk duduk di mobilnya, sementara beberapa penumpang yang lain menatapku dengan iba.