“Nadia jelek ...!”
“Nadia bau ...!”
“Jijik banget deket dia ... jangan ditemenin!”
“Pergi saja sana! dasar jelek!”
Kepalaku terus saja berisik, seperti kaset kusut yang berputar. Semakin lama semakin membuncah, cekamannya semakin kuat mencabik-cabik pikiranku. Lontaran itu sudah seperti makanan sehari-hari yang harus kutelan sepanjang hidupku. Datang bertubi-tubi seperti gemuruh guntur yang merobek-robek pendengaranku.
Tapi siapa yang peduli? Meski seluruh tubuhku berdarah tak ada seorang pun yang mempedulikanku. Dunia mendidiku dengan cara seperti itu. Kenapa aku tidak bisa menawarnya dan menggantikan nasibku dengan mereka? Bukankah ini terlalu kejam untuk anak diusia sembilan tahun?
Aku selalu memakai parfum paling wangi saat itu, wajahku tidak terlalu jelek, pakaianku rapi, bahkan kusisir rambutku.
Lantas kenapa aku selalu diejek? Dunia bahkan tak dapat menampung semua air mataku saat kutatap diriku sendiri yang begitu mengenaskan.
Jika tak ada yang mencintaiku, haruskah aku membencinya juga? Atau apa aku harus lari dari dunia ini?
Saat ini aku masih menangis tersedu-sedu memeluk kedua lututku di dalam toilet di sekolahku. Aku menyalakan keran air dan mengunci pintu agar tak ada yang dapat mendengar tangisku. Tetapi, kalaupun mereka mendengarnya toh tidak akan ada yang peduli. Namun untuk sebentar saja ... hanya sebentar saja aku ingin bersembunyi dari cercaan orang-orang itu.
Setelah aku merasa cukup baik, aku keluar dan membuka pintu untuk kembali ke dalam kelas. Namun Rianti dan teman-temannya sudah menungguku di luar pintu sambil berkacak pinggang menatapku bengis.
“Lama banget sih, lo di dalem! Lo nggak pingsan, kan? Ha ... ha ... ha ....” makinya mengundang gelak tawa anak-anak lain di sekitarku.
Aku hanya diam membisu tak membalas sehurup pun perkataannya karena tak ingin membuat suasana semakin ribut.
“Mana duit lo? Lo masih punya duit kan, buat kita jajan?” tanya Rianti
“Eng ... enggak ada lagi,” jawabku terbata-bata.
“Alah ... boong lo!” Rianti mengatakannya sembari mendorong tubuhku hingga aku jatuh tersungkur ke belakang.
Dia memerintahkan kedua temannya memegang kedua tanganku sehingga Rianti bisa mengambil uangku dengan bebas di saku bajuku.
“Gak usah lo repot-repot boongin gue, ujung-ujungnya juga duit lo bakal gue ambil. Awas aja kalau lo berani ngadu, gue bakal nyiksa lo lebih-lebih lagi dari ini!” teriaknya di wajahku.
Setelah mengambil semua uang jajanku, Rianti dan teman-temannya melengos pergi disusul olehku yang berjalan mengekor di belakangnya. Sepanjang jalan menuju kelas kata-kata hinaan dan ejekan itu terus masuk dalam ruang dengarku.
Seperti guntur di tengah gulita yang meraung-raung merobek gendangku, menakutiku, dan mencoba membunuhku perlahan sedang aku sendirian di tengah jalan tanpa siapapun bersedia memegang tanganku. Namun seakan sudah biasa, aku mengabaikannya berharap suara hujan itu akan menutupi gemuruhnya. Aku bahkan tidak berani untuk mengatakannya kepada siapapun. Aku hanya dapat menelannya bulat-bulat lalu kumuntahkan semua cacian itu saat ku sendiri.
Pernah pada suatu hari saat uang jajanku dirampasnya hingga ludes bahkan uang tabunganku diambil pula. Aku hanya berpasrah menerima semua kesalahan yang tidak aku lakukan. Guruku mengomentariku bahwa aku tidak bisa menjaga kepercayaan orang tuaku. Orang tuaku yang mengasuhku selama ini yang tak lain adalah om ku sendiri namun biasa kusapa papa dan mama yang merupakan istri dari om ku menuduhku bahwa aku selalu memakai uangnya untuk kupakai sendiri. Hal seperti itu tidak hanya terjadi sesekali namun terus terjadi sampai kelulusanku.
“Nadia, uangnya mana?” tanya guruku begitu membuka buku tabunganku.
Seperti biasa, aku hanya mengatupkan bibirku tanpa berkata satu hurup pun. Aku terlalu takut untuk bicara. Bahkan tubuhku bergetar dan kaki-kakiku lemas.
“Hahahaha ....” ledek semua siswa di kelasku.
Mereka jelas tau semua yang terjadi kepadaku? Dan mereka berpura-pura tuli seakan tidak mendengar. Tidak hanya Rianti dan teman-temannya yang membullyku, tetapi juga geng Reno yang terkenal sangar dan galak. Mana ada orang yang berani membelaku.
Lalu apa yang menarik dari menyiksa seorang anak Sekolah Dasar?
Apa karena kepolosannya?
Atau kepasrahannya menerima nasib?
Apa kalian bersenang-senang melihat ketuna dayaanku?
Tidak hanya teman-temanku yang mengejekku, tetapi juga seseorang yang begitu kuhormati ikut campur dalam meremukkan hatiku yang sudah lebam-lebam.
Saat itu sore hari menjelang magrib, saat gerombolan anak ayam pun sudah masuk ke kandangnya mengikuti induknya. Saat semua cerita keluarga mulai disuguhkan dan menikmatinya bersama-sama menanggalkan seluruh kesibukannya di siang hari. Namun berbeda denganku, bukan senyuman yang dihidangkan di atas piringku, bukan rindu atau romantisme yang ku kunyah saat itu, namun air mata dan sesak yang menghujam jantungku.
Byurr!
Tubuhku kuyup saat sepasang tangan kekar itu menjatuhkan sebuah ember berisi air kotor melumuri seluruh wajahku hingga ke badanku. Aromanya masih kuingat hingga saat ini.
Sebegitu kotornyakah aku baginya? sebegitu nakalnyakah aku di usia itu hingga membuatnya murka?
Sebegitu bencikah dia padaku?
Aku mengunjungi seseorang yang biasa kupanggil ayah. Namun sosok itu malah membalas salamku dengan seember air bekas dan membuatku menangis meraung-raung di hadapannya. Jika ini mimpi, tolong bangunkan aku sekarang juga. Kenapa rasanya begitu sakit. Sangat sakit.
“Pergi saja sana! Untuk apa kamu di sini sekarang?” bentaknya padaku yang masih menangis.
Rintih tangisku malah semakin menjadi, sambil memeluk tubuh mungilku yang kedinginan. Aku seperti anak yang tak seharusnya dilahirkan di matanya. Aku bukan anak yang diharapkannya selama ini. Mengingat itu, hatiku semakin retak. Aku adalah seseorang yang dilahirkan ke dunia ini tanpa kuminta. Tanpa ku tahu alasan kenapa aku harus ada.
Dahulu ... aku mungkin jelmaan dari doa yang dipanjatkannya setiap malam sebelum wanita yang melahirkanku ke dunia ini pergi untuk selamanya.
Tujuh tahun yang lalu ... orang bilang wanita yang sudah ditakdirkan menjadi ibuku meninggalkanku tepat saat umurku menginjak tiga tahun. Kanker rahim telah mengambil dirinya dariku yang saat itu sangat kubutuhkan keberadaannya. Egoisnya, tidak ada seorang pun yang tau bahwa penyakit itu telah menggerogotinya begitu lama. Hingga akhirnya takdir membawanya jauh dari jangkauan tapuk mataku. Sejak saat itu pula lelaki yang kusapa ayah itu perlahan menjauh.
Lantas bagaimana dengan aku?
Apakah salahku kenapa ibu pergi?
Salahku juga kenapa ayah menjauh?
Semua orang berlomba meninggalkanku sampai aku mahir menahan segala rasa sakit bagaimana perihnya ditinggalkan.
“Ayo, kita pulang,” ucap seorang wanita yang biasa kusapa bibi. Entah sejak kapan dia ada di sini bersamaku.
Tubuhku yang masih menangis diseretnya mengikuti tubuhnya yang besar. Sepanjang jalan aku masih menangis ulah lelaki yang begitu kuhormati itu. Sejak saat itu, setiap kali muncul pemikiran untuk mengunjunginya atau memohon sesuatu padanya aku akan memikirkannya ribuan kali. Aku tidak ingin bertemu dengannya jika akhirnya aku akan membencinya. Hingga pelan-pelan rasa yang kumiliki untuknya berubah menjadi asing. Entah peduliku masih ada di suatu tempat di hatiku, atau aku sudah benar-benar melupakannya.
Setelah lulus Sekolah Dasar aku melanjutkan jenjang pendidikanku ke SMP. Awalnya biasa saja, namun bertambahnya hari kehidupanku semakin kacau. Penderitaan yang kulalui sewaktu di Sekolah Dasar rupanya belum berakhir dan malah semakin menjadi-jadi.
Rupanya, salah satu teman kelasku di SDN Welas Asih menceritakan semua tentangku hingga akhirnya aku kembali menjadi objek permainan mereka.
Dan aku benci pada diriku, aku bahkan tidak bisa menyelamatkan diriku sendiri.
Kenapa aku tak melawan mereka dan membuat semua orang takut padaku?
Kenapa aku diam saja selama ini dan menerima semua perlakuan buruk mereka padaku?
Kenapa aku tidak menceritakannya pada orang dewasa dan memohon keadilan?
Kenapa?
Kenapa aku harus sebodoh ini?
Kenapa aku harus selemah ini?
Bukankah dengan begitu mereka akan berhenti menyiksaku?
Pikiran seperti itu pernah mampir di kepalaku, namun sialnya aku terlalu takut untuk bertindak. Aku tak punya siapapun di samping aku. Tak ada orang yang bisa kumintai pertolongan selain diriku sendiri yang sudah tak berdaya.
Aku memberanikan diri untuk mengadukannya kepada guruku saat SMP, namun ia hanya sebatas mendengar tanpa memahami. Tak ada aturan yang jelas yang bisa melindungiku di sekolah. Orang-orang yang menggangguku tak mendapatkan hukuman apapun selain sebuah wejangan yang muncul dalam satu kalimat.
“Jangan diulangi lagi, ya. Kasihan temannya.”
Itu saja. Lantas apa mereka jera?
Apa mereka takut?
Apa mereka akan berhenti?
Lupakan wejangan itu! Lihat apa yang terjadi kepadaku setelahnya ....
Perlakuannya padaku semakin bengis. Suatu hari ketika aku hendak mengambil air wudu di sebuah sungai di dekat sekolah, seorang anak mendorongku hingga aku tercebur. Seseorang yang lainnya berteriak meminta tolong melihat tubuhku yang terombang-ambing namun tak melakukan apapun, seseorang yang lainnya hanya diam menyaksiakan seakan aku adalah tontonan komedi untuknya.
Dengan kekuatan penuh aku berusaha untuk naik ke tepian. Aku sadar tidak akan ada yang dapat menolongku selain diriku sendiri.
Aku pulang dengan pakaian basah kuyup membawa gosip yang beredar di keranjang hatiku yang patah, bahwa si gadis jelek dan ceroboh terpeleset ke dalam sungai. Bahkan supir angkut pun tak mengijinkanku untuk duduk di mobilnya, sementara beberapa penumpang yang lain menatapku dengan iba.
Aku mulai menemukan senyumanku di bangku SMA. Saat itu aku belajar menjadi kuat. Dunia telah mendidiku begitu hebat hingga akhirnya aku dapat bertahan sejauh ini. Lalu menghadiahiku senyuman yang dapat kubuka kapan saja ketika aku mau, lewat teman-temanku yang luar biasa.
Lalu bagaimana dengan orang-orang yang mengejekku selama ini?
Bagaimana mereka sekarang?
Apa mereka lebih baik daripadaku?
Entahlah ... mengingatnya masih membuatku sakit. Aku tak mengharapkan permintaan maaf apapun. Sudah kuputuskan untuk menghapusnya dari pertemananku dan dari ruang ingatanku.
Kita bahagia saja dengan versi kita masing-masing. Namun saat kalian mengingatku, aku harap Tuhan memberinya rasa sedih yang dalam yang melekat di hatinya.
Sebentar saja ... hanya untuk sebentar saja, rasakan itu dan pahami rasa sakitku.
Lalu setelah itu ... seperti kataku tadi,
Mari hidup bahagia dengan versi masing-masing.
--------------------------
Akibat dari bullying ini, korban selalu takut pergi ke sekolah, dia bahkan harus pergi ke psikiater selama sebulan. Semoga tidak akan ada lagi kejadian-kejadian serupa yang seperti itu.
Stop bullying!
Terima kasih sudah membaca.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H