Mohon tunggu...
Naraya Syifah
Naraya Syifah Mohon Tunggu... Penulis - Perempuan Penggembala Sajak

Tidak ada yang istimewa dari Naraya Syifah, ia hanya seorang gadis kampung yang sederhana, putri sulung dari keluarga sederhana yang disimpan banyak harapan di pundaknnya. Ia memiliki kepribadian mengumpulkan sajak di pelataran rumahnya. Pernah tergabung dalam beberapa komunitas literasi dan alhamdullilah saat ini sebagai penggerak literasi di kabupaten Subang. Ia menjalankan komunitas Pena Cita bersama teman-teman sehobinya. Kecintaannya pada literasi menghantarkannya sampai di sini. Semoga awal yang baru ini dapat lebih mengembangkan tulisannya dan merubah hidupnya. Selain menulis ia juga tergila-gila dengan K-drama yang dapat menginspirasi nya dalam menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

(Kisah Nyata) Temanku Guntur Sekolah

29 Juni 2022   19:28 Diperbarui: 2 Juli 2022   08:53 843
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Nadia jelek ...!”

“Nadia bau ...!”

“Jijik banget deket dia ... jangan ditemenin!”

“Pergi saja sana! dasar jelek!”

Kepalaku terus saja berisik, seperti kaset kusut yang berputar. Semakin lama semakin membuncah, cekamannya semakin kuat mencabik-cabik pikiranku. Lontaran itu sudah seperti makanan sehari-hari yang harus kutelan sepanjang hidupku. Datang bertubi-tubi seperti gemuruh guntur yang merobek-robek pendengaranku.

Tapi siapa yang peduli? Meski seluruh tubuhku berdarah tak ada seorang pun yang mempedulikanku. Dunia mendidiku dengan cara seperti itu. Kenapa aku tidak bisa menawarnya dan menggantikan nasibku dengan mereka? Bukankah ini terlalu kejam untuk anak diusia sembilan tahun?

Aku selalu memakai parfum paling wangi saat itu, wajahku tidak terlalu jelek, pakaianku rapi, bahkan kusisir rambutku. 

Lantas kenapa aku selalu diejek? Dunia bahkan tak dapat menampung semua air mataku saat kutatap diriku sendiri yang begitu mengenaskan.

Jika tak ada yang mencintaiku, haruskah aku membencinya juga? Atau apa aku harus lari dari dunia ini?

Saat ini aku masih menangis tersedu-sedu memeluk kedua lututku di dalam toilet di sekolahku. Aku menyalakan keran air dan mengunci pintu agar tak ada yang dapat mendengar tangisku. Tetapi, kalaupun mereka mendengarnya toh tidak akan ada yang peduli. Namun untuk sebentar saja ... hanya sebentar saja aku ingin bersembunyi dari cercaan orang-orang itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun