"Adik demamnya naik lagi, kak. Wajahnya pucat, tubuh adik terus menggigil."
Bimo harus segera melakukan sesuatu. Ia teringat akan perkataan wanita paruh baya yang menolongnya kemarin. Sekarang, ia akan menunggunya kembali.
"Adit di sini jagain adik, ya? Kakak cari uang buat bawa adik ke dokter." Adit mengangguk tanda mengerti.
Dari terbit fajar hingga matahari telah kembali ke peraduannya, Bimo masih berdiri di trotoar jalan memegang beberapa keping recehan yang ia dapatkan. Kedua matanya memutar ke seluruh penjuru jalan, mencari seseorang yang sedari tadi ia tunggu.
Semburat langit merah muda kini telah berganti menjadi hitam pekat, pertanda malam akan segera datang. Dia tidak mungkin terus berdiri di sini, sementara adiknya dalam keadaan tidak baik.
"Mungkin ibu itu tidak akan datang lagi," gumamnya.
Bimo meninggalkan harapannya di trotoar jalan dengan mata berlinang kecewa. Tidak seharusnya dirinya berharap kepada siapapun.
Jalanan sudah mulai renggang, bahkan Bimo bisa dengan leluasa berjalan di tengah jalan jika ia mau. Namun seketika penampakan tiga pasang tubuh kekar berdiri di hadapannya, membuatnya ketakutan. Sorot ketiga pasang mata itu semakin terlihat menyeramkan dalam kegelapan.
Apa yang harus ia lakukan sekarang?Â
Bahkan dirinya dikepung dari segala arah. Ketiga mafia itu berusaha untuk menyekapnya kembali. Laki-laki gondrong itu berkata bahwa ia akan membunuhnya dan menjual organ tubuhnya.
Bimo semakin takut, tidak ada seorang pun yang bisa ia mintai pertolongan. Jikalaupun ada, tidak akan ada yang berani menolongnya. Siapa yang mau berurusan dengan tiga mafia kejam itu? Bahkan Bimo menyebutnya pengawal iblis. Mereka hidup di muka bumi ini hanya untuk mencari kekacauan dan menghancurkan banyak orang.