Mohon tunggu...
Naraya Syifah
Naraya Syifah Mohon Tunggu... Penulis - Perempuan Penggembala Sajak

Tidak ada yang istimewa dari Naraya Syifah, ia hanya seorang gadis kampung yang sederhana, putri sulung dari keluarga sederhana yang disimpan banyak harapan di pundaknnya. Ia memiliki kepribadian mengumpulkan sajak di pelataran rumahnya. Pernah tergabung dalam beberapa komunitas literasi dan alhamdullilah saat ini sebagai penggerak literasi di kabupaten Subang. Ia menjalankan komunitas Pena Cita bersama teman-teman sehobinya. Kecintaannya pada literasi menghantarkannya sampai di sini. Semoga awal yang baru ini dapat lebih mengembangkan tulisannya dan merubah hidupnya. Selain menulis ia juga tergila-gila dengan K-drama yang dapat menginspirasi nya dalam menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kado Terindah Bima

26 Juni 2022   18:54 Diperbarui: 26 Juni 2022   19:24 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bimo bukannya tidak lapar, ia hanya tidak ingin melihat adiknya lebih kelaparan. Sesekali Bimo mengusap perutnya yang melilit begitu perih seakan meringkus seluruh jantungnya.

Adit menghabiskan sepotong rotinya dengan lahap. Belum sampai satu menit, semua roti-roti itu sudah berkumpul di kerongkongannya.

Si jangkung sakti kini telah berubah menjadi merah. Bimo dan Adit bersegera melakukan aksinya. Mereka menghampiri kuda-kuda mewah yang sejenak mengistirahatkan dirinya dari kemacetan. Mereka mulai berceloteh dengan kedua bibirnya,  lewat lagu andalan mereka yang berjudul Ayah. 

Meskipun mereka tidak tau, di mana ayahnya saat ini. Mereka hanya hidup bertiga di jalanan, bersama seorang wanita tua yang mengaku sebagai ibunya. Namun setahun yang lalu, wanita tua itu pun pergi meninggalkan mereka untuk selamanya.

Mereka berpindah-pindah tempat dari mobil yang satu ke mobil yang lain. Hanya sepotong lagu yang menjadi mata pencahariannya, diiringi suara musik dari kedua telapak tangan yang saling beradu. Bukan gitar maupun ukulele seperti pengamen-pengamen yang lain.

Bimo tersenyum getir sembari membungkukan badan saat sekeping recehan itu dilemparkan ke hadapannya. Dalam hati ia mengumpat, dasar pelit! Padahal dia hanya meminta kepingan recehan saja.

"Mereka semua pelit-pelit," umpat Adit.
"Sekarang kita tawarkan jasa kita aja."

Adit dan Bimo berjalan menuju terminal. Tempat biasa mereka menawarkan jasa angkutan umum, atau membawakan barang belanjaan orang-orang menuju kendaraan yang ditumpanginya. Itupun sangat jarang keduanya beruntung. Hanya orang-orang berempati tinggi yang akan menolong mereka.

Di tengah jalan, mereka melihat gerombolan anak sekolah sedang berebut angkut. Keduanya ingin sekali memakai seragam itu. Tapi semua itu hanya menjadi mimpi yang mustahil akan sampai.

"Tulisan yang itu bacaannya apa, kak?" tanya Adit menunjuk papan nama yang terpasang di atas dada anak-anak sekolah dasar.

"Kakak tidak tau," jawab Bimo cepat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun