Bimo bukannya tidak lapar, ia hanya tidak ingin melihat adiknya lebih kelaparan. Sesekali Bimo mengusap perutnya yang melilit begitu perih seakan meringkus seluruh jantungnya.
Adit menghabiskan sepotong rotinya dengan lahap. Belum sampai satu menit, semua roti-roti itu sudah berkumpul di kerongkongannya.
Si jangkung sakti kini telah berubah menjadi merah. Bimo dan Adit bersegera melakukan aksinya. Mereka menghampiri kuda-kuda mewah yang sejenak mengistirahatkan dirinya dari kemacetan. Mereka mulai berceloteh dengan kedua bibirnya, Â lewat lagu andalan mereka yang berjudul Ayah.Â
Meskipun mereka tidak tau, di mana ayahnya saat ini. Mereka hanya hidup bertiga di jalanan, bersama seorang wanita tua yang mengaku sebagai ibunya. Namun setahun yang lalu, wanita tua itu pun pergi meninggalkan mereka untuk selamanya.
Mereka berpindah-pindah tempat dari mobil yang satu ke mobil yang lain. Hanya sepotong lagu yang menjadi mata pencahariannya, diiringi suara musik dari kedua telapak tangan yang saling beradu. Bukan gitar maupun ukulele seperti pengamen-pengamen yang lain.
Bimo tersenyum getir sembari membungkukan badan saat sekeping recehan itu dilemparkan ke hadapannya. Dalam hati ia mengumpat, dasar pelit! Padahal dia hanya meminta kepingan recehan saja.
"Mereka semua pelit-pelit," umpat Adit.
"Sekarang kita tawarkan jasa kita aja."
Adit dan Bimo berjalan menuju terminal. Tempat biasa mereka menawarkan jasa angkutan umum, atau membawakan barang belanjaan orang-orang menuju kendaraan yang ditumpanginya. Itupun sangat jarang keduanya beruntung. Hanya orang-orang berempati tinggi yang akan menolong mereka.
Di tengah jalan, mereka melihat gerombolan anak sekolah sedang berebut angkut. Keduanya ingin sekali memakai seragam itu. Tapi semua itu hanya menjadi mimpi yang mustahil akan sampai.
"Tulisan yang itu bacaannya apa, kak?" tanya Adit menunjuk papan nama yang terpasang di atas dada anak-anak sekolah dasar.
"Kakak tidak tau," jawab Bimo cepat.