Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Galau Hati Anak Lelakiku

24 Februari 2021   16:10 Diperbarui: 24 Februari 2021   16:21 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Uff!!! Ternyata aku tertidur sejak sore sebelum menemani suami dan anak-anak untuk makan malam. Waktu hampir pukul 24.00. Aku beranjak mengambil air wudu untuk salat Isya ketika suamiku masuk kamar setelah menonton TV.

"Sudah makan malam semua kan?" tanyaku basa-basi.

Seperti kebiasaan jika aku lembur atau rapat yang mengharuskanku pulang malam, urusan makan malam tentu sudah terselesaikan. Justru anak-anak lebih suka jika kutinggal bersibuk karena mereka pasti minta makan malam di luar berempat dengan ayahnya.

Seperti kebiasaan pula, walaupun kantuk luar biasa ibaratnya berjalan dengan mata terpejam, aku selalu membuka kamar anak-anakku satu per satu sekadar memastikan sudah di rumahkah mereka? Si sulung sudah mendengkur. Demikian pula si bungsu. Akan tetapi, kamar si anak tengah kosong. Ke manakah dia?

Bagaikan tentara yang harus siaga menghadapi musuh, kantukku mendadak hilang. Betapa berat mendapat titipan tiga orang jagoan. Jika si sulung saat dimarahi selalu minta maaf, si bungsu akan menemaniku bahkan membantuku memasak, lain lagi dengan si anak tengah. Jika dimarahi, ia berlalu kemudian mendiamkan aku, seolah ibunya tidak pernah ada.

Oleh karena itu, ketika mendapati kamarnya kosong, selain gelisah harus kucari ke mana, aku harus mencari-cari kalimat yang pas untuk menegurnya, yang tidak membuatnya marah. Ia sangat sensitif. Begitukah karakter anak tengah? Entahlah.

Tiba-tiba tampak sesosok tubuh sedang duduk di kursi taman dalam kegelapan. Ada nyala terang di tangannya, tentu itu gawainya. Aku pun pelan-pelan mendekatinya agar tak menimbulkan suara, kemudian duduk di sebelahnya. Ia hanya menoleh sebentar lalu menutup gawainya.

Tatkala melihat kerisauan membayangi wajahnya, aku pun memeluknya.

"Sudah lama sekali ibu tidak memelukmu, Nak. Ketika Kamu terbangun tidak menangis lagi jika tidak melihat ibu di sebelahmu, ibu pun menganggapmu sudah besar. Sudah tidak manja dan siap memiliki adik baru. Sejak saat itu, kita seolah menjadi jauh. Kamu selalu menjaga jarak dengan Ibu."

Tiba-tiba aku ingin menangis saat mengucapkan itu. Ia pun tidak memberontak seperti kebiasaannya jika kupeluk. Maka, aku pun tetap memeluknya sambil mengelus rambutnya karena kepalanya rebah di bahuku.

"Ibu tidak marah?" tanyanya lirih.

Walaupun aku tidak tahu masalah apa yang tengah dialaminya, aku harus menunjukkan ekspresi tidak marah. Aku tidak ingin ia semakin menjauh dan menganggapku tidak pernah ada jika merasa terlalu sering dimarahi.

"Ibu tidak akan mengomel kan?"tanyanya lagi sambil menata kepalanya agar nyaman bersandar di bahuku yang tengah membelai rambutnya.

"Ibu akan bertindak seperti psikolog dan guru yang mencoba mencari akar masalah lalu memberi solusi tanpa menghukum. Tapi jika masalahmu bersentuhan dengan undang-undang, ibu bisa apa? Itu memang urusan polisi, jaksa, dan hakim, karena Kamu hidup di suatu negara...

"Bukan seperti lirik lagu John Lennon, 'Imagine', itu ya, Bu?" jawabnya tertawa.

"Jika kehidupan dibiarkan berlangsung tanpa tatanan, kacaulah dunia."

"Mengapa? Toh hukum rimba penghuninya aman-aman saja."

"Karena mereka menggunakan insting. Manusia punya akal dan nafsu. Yang dimaui bukan hanya kebutuhan melainkan keinginan juga. Padahal kodrat keinginan itu tak terhingga. Selain sembako ditimbun, dana yang sudah dianggarkan pun bisa diembat," jawabku lagi sambil tetap mengelus rambutnya.

"Sudah lama ibu tidak memperlakukan aku seperti ini. Ibu suka spontan marah kalau aku salah. Aku jadi sedih, merasa tidak dibutuhkan,"protesnya sambil melingkarkan lengan ke perutku.

"Kamu saja yang sensitif. Kakak dan adikmu menganggap amarah ibu ibarat angin lalu. Bagaimanapun, ibu sangat menyayangi Kalian, kan?"

"Bu, kenapa aku dulu nggak punya saudara perempuan ya?"

Ia mulai membawaku menuju masalahnya rupanya.

"Anggap saja takdir. Walaupun pilihan jenis kelamin sudah diupayakan. Tapi tetap kalah dengan kehendak takdir. Adikmu dulu saat USG awal, tampak seperti perempuan. Nyatanya terlahir lelaki."

"Bu, aku kan nggak punya saudara perempuan. Aku punya banyak teman perempuan, boleh kan?"

"Kalau hanya berteman, mengapa dilarang? Pada dasarnya perempuan juga sesekali ingin curhat kepada teman lelaki yang dianggapnya lebih logis. Asalkan hati-hati janganlah curhatnya menuju tempat sepi berdua saja. Setan akan menyertai seperti yang dialami Begawan Wisrawa dengan Dewi Sukesi dalam Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu."

"Duh, Ibu nggak pernah bercerita tentang sastra itu...

"Bukan ibu nggak bercerita. Kamu saja yang terlalu sibuk dengan hobimu sehingga tidak selalu mendekat saat ibu mendongeng. Tanyai kakak dan adikmu. Ibu selalu mendongeng setiap Minggu pagi. Tapi Kamu selalu menghilang."

"Aku kan mengasah hobi. Buktinya aku sering meraih kejuaraan dalam lomba yang berkaitan dengan hobiku kan?" kilahnya.

"Seharusnya sih, ibu mendongengnya malam hari, sebelum aku tertidur, sebelum aku terlelap dalam pelukan ibu. Aku selalu merasa sendiri. Ibu tidak pernah peduli. Sukanya marah melulu. Sudah pemarah, nggak bikin anak perempuan pula. Aku jadi seolah hidup tanpa arah,"gerutunya.

Ucapan yang membuat hatiku tersentuh. Seharusnya aku lebih banyak mendengarkan keluhannya, apa keinginannya, apa yang ingin dikatakan, dan yang ingin didengarkan.

"Jadi Ibu harus mendongeng seperti dalam Kisah Seribu Satu Malam?" tanyaku mencubit pipinya.

"Kamu kurusan. Berapa kali Kamu tidak makan malam?" tanyaku.

"Jika ibu tidak di rumah. Aku bebas tidak makan malam, kecuali diajak ayah makan di luar. Asyik."

"Huu...sukanya makan di luar melulu. Berat di ongkos, tahu,"godaku.

"Ayo, ceritakan. Kamu sepertinya ada masalah. Lihat nih, sudah pukul 00.00. Besok Kamu harus sekolah. Ibu juga harus kerja. Ibu nggak mau lagi dipanggil BK karena Kamu terlambat ke sekolah."

"Waow. Kita kan lagi WfH. Besok ada jam daring tapi pukul 10.00. Bu, jika dulu ibu pacaran, lalu lelakinya ingin putus, gimana tanggapan ibu?"

"Hmm...cinta itu bukan paksaan. Cinta itu keikhlasan kedua belah pihak untuk selalu bersama dalam suka duka. Jika salah satu merasa tidak nyaman, lebih baik terus terang. Aku tidak keberatan. Justru, dulu jika ada gejala pacarku hatinya mendua, aku sebagai perempuan yang peka, malah memutus duluan daripada dipermalukan. Aku menyenandungkan lagu "Burung Kecil" yang dinyanyikan Gito Rollies. Untuk apa memenjara jiwa raga manusia yang tidak lagi merasa sejalan. Kita berhak menemukan orang lain yang lebih membuat bahagia kan?"

"Iya sih."

"Kamu mengalami hal seperti itu?"

"Aku hanya suka berteman dengan banyak wanita. Selama ini nggak ada masalah, toh aku nggak pernah menyatakan cinta. Kami hanya berteman dan tak ada yang sedemikian terobsesi. Hingga suatu hari aku bertemu seseorang yang agresif...

"Kamu menanggapi?"

"Kuperlakukan seperti teman yang lain."

"Ia cinta? Pasti kan? Anakku kan tampan. Sudah begitu, berprestasi pula yang memprediksi masa depannya bakal cerah. Siapa sih yang tidak ingin memamerkan pacaran dengan anakku?" kucubit hidungnya.

"Ia memang bersikap lain, seolah aku harus mau, harus memilihnya. Apa pun yang terjadi...

"Ia terobsesi untuk memamerkan Kamu. Memang ia nggak punya prestasi sendiri?"

"Punya sih, tapi kalah dengan pretasiku."

"Lalu apa maunya?"

"Ia memaksa pacaran denganku. Tapi cewek satu itu aneh deh Bu. Selain ia cerita-cerita bahwa aku pacarnyalah, ia pun mengunggah foto-foto kami saat wisata berdua. Aku jadi merasa dianggap sebagai playboy deh oleh teman-teman wanita.

"Hm...Ibu bilang apa dulu...

"Ibu jangan marahlah,"pintanya.

"Ibu tidak marah. Ibu hanya berpesan, jika berteman dan ingin jalan, jangan berdua saja. Ajak teman-teman yang lain. Itu untuk jaga-jaga jika ada yang naksir Kamu, ia tidak baper. Selain itu, tidak semua orang bisa berbesar hati menerima penolakan. Ada yang ditolak malah berprestasi, ada yang mau mengerti bahwa Kamu memang potensial mendapatkan yang lebih pas bagimu sesuai prestasimu. Adapula yang menempel bak lintah mengisap darah sampai membuat kakimu terluka, karena yang dibutuhkan memang darahmu untuk mendongkrak rasa percaya dirinya."

"Ia tampaknya bermasalah secara psikologis, membuatku nggak tega bersikap keras menghindarinya. Tapi, dampaknya, cewek-cewek lain jadi apatis padaku tuh."

Aku memencet hidungnya lagi,

"Bodo amat. Kelak pasti Kamu akan bertemu dengan wanita yang bisa mengerti Kamu...

"Jika tidak?"

"Kabarnya di Russia jumlah wanita surplus? Ciyee...Kamu tentu suka. Cantik-cantik pula."

" Itu jika ditinjau dari usia, distribusinya berubah. Untuk umur 29 tahun ke bawah, kabarnya malah lelakinya lebih banyak. Untuk umur 70 tahun ke atas perempuan lebih bnyak...

."Dampak perang dunia kedua mungkin."

"Ah, Ibu tahu aja. Sok kekinian deh."

"Namanya juga punya anak sudah remaja. Harus mengikuti berita kekinian dong."

"Ah, ibu sukanya menggoda gitu deh. Bukan banyak istri yang aku ingini. Aku hanya suka punya banyak teman perempuan yang nggak baperan, karena ibu nggak dekat denganku, nggak pernah membiarkan aku ingin bermanja, nggak pernah mendongeng. Aku pun nggak punya saudara perempuan," jawabnya dengan suara melemah.

Duh...ternyata ia tertidur. Aku pun mencium keningnya, membiarkannya merebahkan kepala ke pangkuanku. Hal yang tidak pernah lagi dilakukan sejak ia memiliki adik. Sementara itu, saat tangan kiriku membelai rambutnya, aku pun membuka-buka gawainya. Foto apa gerangan yang meresahkan dirinya?

"Ibu nggak marah kan?" tanyanya lagi dengan mata terpejam, membiarkanku membuka gawainya.

"Nggak, tapi jika kesandung masalah hukum, itu di luar wewenangku,"jawabku memencet hidungnya lagi. Ia pun kembali terlelap.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun