Walaupun aku tidak tahu masalah apa yang tengah dialaminya, aku harus menunjukkan ekspresi tidak marah. Aku tidak ingin ia semakin menjauh dan menganggapku tidak pernah ada jika merasa terlalu sering dimarahi.
"Ibu tidak akan mengomel kan?"tanyanya lagi sambil menata kepalanya agar nyaman bersandar di bahuku yang tengah membelai rambutnya.
"Ibu akan bertindak seperti psikolog dan guru yang mencoba mencari akar masalah lalu memberi solusi tanpa menghukum. Tapi jika masalahmu bersentuhan dengan undang-undang, ibu bisa apa? Itu memang urusan polisi, jaksa, dan hakim, karena Kamu hidup di suatu negara...
"Bukan seperti lirik lagu John Lennon, 'Imagine', itu ya, Bu?" jawabnya tertawa.
"Jika kehidupan dibiarkan berlangsung tanpa tatanan, kacaulah dunia."
"Mengapa? Toh hukum rimba penghuninya aman-aman saja."
"Karena mereka menggunakan insting. Manusia punya akal dan nafsu. Yang dimaui bukan hanya kebutuhan melainkan keinginan juga. Padahal kodrat keinginan itu tak terhingga. Selain sembako ditimbun, dana yang sudah dianggarkan pun bisa diembat," jawabku lagi sambil tetap mengelus rambutnya.
"Sudah lama ibu tidak memperlakukan aku seperti ini. Ibu suka spontan marah kalau aku salah. Aku jadi sedih, merasa tidak dibutuhkan,"protesnya sambil melingkarkan lengan ke perutku.
"Kamu saja yang sensitif. Kakak dan adikmu menganggap amarah ibu ibarat angin lalu. Bagaimanapun, ibu sangat menyayangi Kalian, kan?"
"Bu, kenapa aku dulu nggak punya saudara perempuan ya?"
Ia mulai membawaku menuju masalahnya rupanya.