"Anggap saja takdir. Walaupun pilihan jenis kelamin sudah diupayakan. Tapi tetap kalah dengan kehendak takdir. Adikmu dulu saat USG awal, tampak seperti perempuan. Nyatanya terlahir lelaki."
"Bu, aku kan nggak punya saudara perempuan. Aku punya banyak teman perempuan, boleh kan?"
"Kalau hanya berteman, mengapa dilarang? Pada dasarnya perempuan juga sesekali ingin curhat kepada teman lelaki yang dianggapnya lebih logis. Asalkan hati-hati janganlah curhatnya menuju tempat sepi berdua saja. Setan akan menyertai seperti yang dialami Begawan Wisrawa dengan Dewi Sukesi dalam Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu."
"Duh, Ibu nggak pernah bercerita tentang sastra itu...
"Bukan ibu nggak bercerita. Kamu saja yang terlalu sibuk dengan hobimu sehingga tidak selalu mendekat saat ibu mendongeng. Tanyai kakak dan adikmu. Ibu selalu mendongeng setiap Minggu pagi. Tapi Kamu selalu menghilang."
"Aku kan mengasah hobi. Buktinya aku sering meraih kejuaraan dalam lomba yang berkaitan dengan hobiku kan?" kilahnya.
"Seharusnya sih, ibu mendongengnya malam hari, sebelum aku tertidur, sebelum aku terlelap dalam pelukan ibu. Aku selalu merasa sendiri. Ibu tidak pernah peduli. Sukanya marah melulu. Sudah pemarah, nggak bikin anak perempuan pula. Aku jadi seolah hidup tanpa arah,"gerutunya.
Ucapan yang membuat hatiku tersentuh. Seharusnya aku lebih banyak mendengarkan keluhannya, apa keinginannya, apa yang ingin dikatakan, dan yang ingin didengarkan.
"Jadi Ibu harus mendongeng seperti dalam Kisah Seribu Satu Malam?" tanyaku mencubit pipinya.
"Kamu kurusan. Berapa kali Kamu tidak makan malam?" tanyaku.
"Jika ibu tidak di rumah. Aku bebas tidak makan malam, kecuali diajak ayah makan di luar. Asyik."