Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kisah Horor Rumah Terpencil Dekat Jembatan Kecil

3 November 2020   23:06 Diperbarui: 4 November 2020   00:31 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Liburan semester ini kita ke mana? Pertanyaan yang selalu berulang bagi kelompok kami namun tidak pernah membosankan untuk dijalani, bukan? Sheryn menawari untuk berlibur di vila leluhurnya.

"Wah, angker nggak?" spontan pertanyaan itu meluncur begitu saja.

"Kalau itu yang Kamu tanyakan, bergantung sugesti deh," jawab Sheryn sambil seolah mengingat sesuatu.

"Vila itu ada penjaganya kan? Walaupun dibangun sejak zaman Belanda?" tanya Mita menatap Sheryn yang segera mengangguk.

"Mengapa kamu terdiam, Ryn?" tanyaku melihatnya masih melamun.

Ia pun duduk di sebelahku, satu-satunya tempat kosong yang ada. Setelah menghela napas sebentar, ia pun memulai bercerita.

"Dulu nenek buyutku memiliki sahabat yang berhutang kepadanya. Belum sempat dibayar, datanglah perang dunia kedua. Pisah deh mereka sampai puluhan tahun."

"Terus?" tanyaku.

"Terus...terus...memang mau parkir?" sahut Jini.

"Terus? Sekitar tahun enampuluhan, beliau menerima kabar bahwa temannya itu tinggal di Jepang."

"Ingin berkunjung sekalian nagih utang nggak?" goda Mita.

"Mana aku tahu? Yang kudengar hanyalah, nenek buyutku bercerita suatu saat bermimpi berjalan-jalan ke Jepang ketika musim salju. Beliau tiba di sebuah rumah terpencil dekat jembatan kecil. Tiba-tiba temannya itu muncul dari dalam rumah, lalu melunasi utangnya."

"Ini cerita sungguhan atau mengarang?" goda Mita,"Bukankah aku masih punya hutang kepadamu, Ryn." lanjutnya.

"Nantilah sekalian membayar iuran liburan kita."

"Siapa yang nagih utang? Jika Kamu ingat, syukurlah,"jawab Sheryn tersenyum.

"Tapi ini kisah nyata yang dialami nenek buyutku."

"Beliau nggak ke Jepang?"

"Kan sudah jelas ciri-ciri alamatnya. Rumah terpencil dekat jembatan kecil," Jovi menghentikan pertanyaannya sebentar sambil meraba tengkuknya,

"Kok jadi merinding ya."

"Jangan diingat-ingat, agar tidak menjadi sugesti," saran Sheryn.

"Kamu tidak takut?" tanya Mita. Sheryn tetawa memandang ke arah Mita.

"Justru aku takut jika Kamu tidak segera membayar hutangmu, lalu...

"Lalu bagaimana? Orang yang muncul dalam mimpi nenek buyutmu itu datang ke Indonesia untuk membayar hutangnya?" tanya Tety.

"Hmm...ternyata informasi berikutnya yang diperoleh nenek buyutku, saat muncul dalam mimpinya itu, temannya sudah meninggal kira-kira seminggu."

"Terus bagaimana?" tanyaku.

"Nenek buyutku mendoakan, memaafkan, membebaskannya dari hutang...

"Agar tidak muncul-muncul dalam mimpi lagi?" tanya Mita.

"Iyalah. Siapa mau?" jawab Sheryn.

Kami pun diam sesaat, terbawa angan masing-masing. Sesaat ada keraguan, masihkah ingin berlibur ke vila leluhur Sheryn? Akan tetapi, keinginan berlibur itu begitu kuat, sehingga akhirnya kami pun berangkat sore hari ke tujuan.

Setiba di vila waktu sudah menunjukkan pukul 18.52. Penjaga vila membuka pintu pagar. Kuperhatikan sekeliling vila tersebut. Ternyata Mita pun melakukan hal yang sama denganku. tatkala pandangan kami bertemu, yang terucap adalah pertanyaan yang sama.

"Ryn, vila ini juga terpencil dan ada jembatan kecil?"

Sheryn hanya tertawa sambil memasukkan tas yang baru diturunkan penjaga vila dan isterinya.

"Kebetulan saja ada kesamaan," akhirnya ia menjawab juga setiba kami di kamar. Kamar yang kami pilih paling luas. Sebetulnya masih ada dua kamar lagi, tapi tidak seperti biasanya ketika kami berlibur, malam ini kami takut tidur terpisah.

"Sugesti karena kesamaan bangunan vila? Itu kan kebetulan saja. Lagipula jembatan itu kan hiasan yang dibangun di atas kolam ikan. Di sini tidak ada musim salju pula."

Setelah makan malam, kami pun tenggelam dengan kesibukan masing-masing dan masih tetap sekamar walaupun harus berdesakan. Sheryn, Jovi, dan Jini tidur di ranjang, sedangkan aku, Tety, dan Mita menggelar kasur di bawah.

Sekitar pukul 22.00 hujan turun dengan lebatnya, membuat kami tertidur pulas. Aku masih mengantuk ketika Mita membangunkanku sekitar pukul 02.00.

"Ada apa sih, Mit?" tanyaku sambil menggeliat.

Mita duduk bersila sambil meringkuk di dalam selimutnya.

"Kamu tidak bermimpi sesuatu?"

"Jangankan bermimpi. Kapan hujan reda pun aku tidak tahu,"jawabku ikut duduk di sebelahnya. Kunyalakan penerangan untuk membuka gawai.

Pada saat yang bersamaan, Jovi dan Jini pun terbangun. Keduanya antre ke kamar kecil sekalian mengambil air wudu untuk salat malam. Aku dan Mita pun mengikuti.

Setelah itu, kami semua terbangun dan tidak dapat tidur lagi. Semuanya tenggelam bersama gawai masing-masing. Sheryn sibuk di pantry yang bersebelahan dengan kamar tidur kami, membuat teh.

"Sheryn mengapa tidak takut?" tanya Mita menoleh ke arah Sheryn yang tengah memasak air.

"Sejak kecil aku sering tinggal di sini. Mengapa takut?" jawabnya sambil membuka tutup gula.

"Aku tadi malam mimpi ada orang mengetuk pintu,"kata Mita sambil meraba tengkuknya.

"Mimpi atau terjaga?" ulang Sheryn sambil mendekat. Di tangannya sudah ada nampan berisi gelas dan teh panas di teko.

"Mimpi," jawab Mita.

"Mimpi saja dipikir. Itu kan bunga tidur," jawab Jini.

"Iya nih, menakuti saja nih. Kukira ada orang mengetuk pintu sungguhan. Ternyata mimpi," gerutuku.

"Wah...jangan-jangan teman nenek buyutku mau membayar hutang,"goda Sheryn sambil menepuk bahu Mita yang sesekali masih meraba tengkuknya. Akan tetapi, waktu sudah menunjukkan pukul 04.30, kami pun kembali menuju kamar mandi.

Setelah berjalan-jalan pagi sambil sesekali berlarian menuju perkampungan penduduk di sekitar, kami pun kembali ke vila pukul 07.30. Bu Mur, isteri penjaga vila sudah menyiapkan nasi pecel untuk makan pagi. Dalam kondisi lapar setelah berolahraga terlebih hujan semalam masih menyisakan dingin yang sesekali menggigit, membuat kami makan dengan nikmat.

"Lauk tahu panasnya ludes nih, Bu Mur," kata Sheryn, "Masih adakah? Jika ada, teman-teman minta digorengkan lagi nih."

Seharian kami bergurau, sibuk dengan gawai, menyanyi, dan yang tidak ketinggalan adalah berfoto-foto di sekitar vila maupun di dekat perkampungan. Tak terasa, senja pun bersiap-siap datang menjelang. Esok pagi kami bersiap-siap pulang.

Tiba-tiba, setelah petang menghilang, vila kedatangan tamu seorang ibu. Aku yang mulai agak terkantuk menemuinya. Tamu tersebut menemui bu Mur. Aku yang masih berada di situ setelah bu Mur menemuinya, mendengar pertanyaan beliau

"Tadi berangkat sendirian ke sini?"

"Kami berdua...

Setelah kata berdua terdengar, aku pun bergegas bergabung dengan teman-teman untuk salat Magrib, sementara itu tamu bu Mur pun terdengar berpamitan. Sambil masih salat rakaat terakhir, begitu mendengar suara teman bu Mur berpamitan, sempat-sempatnya dalam hatiku membatin, setelah teman bu Mur berpamitan, tentu teman yang satu lagi akan berpamitan pula. Bukankah tadi datang ke vila berdua? Setelah salam dan masih duduk berdoa, telingaku mendengar suara lagi, yang lain dengan suara temen bu Mur yang kutemui sore tadi, berpamitan pula.

Setiba di meja makan saat makan malam, iseng kutanyai bu Mur tentang tamunya yang kutemui sore tadi.

"Tadi tamunya datang berdua ya, Bu?"

"Tidak. Bu Diah teman arisan. Tadi mampir menarik uang arisan."

"Tapi sebelum berlalu, kudengar katanya berdua...

"Berdua dengan bu Tini. Tapi Tidak jadi ikut ke sini karena bu Tini  ingin membeli sayur untuk makan malam."

"Lho, tadi kudengar suara orang berpamitan setelah bu Diah," aku tak dapat menyembunyikan keterkejutanku. Dalam suasana menegangkan begitu, Sheryn menyahut,

"Duh...jadi korslet nih, gegara kisah sebelum perang dunia kedua."

"Tersugesti, jadi sulit konsentrasi atau...

"Jika atau diteruskan lalu diikuti khayalan aneh-aneh, akan bermunculan kisah-kisah aneh lainnya nih. Kita masih semalam di sini lho,"tukas Jini sambil menghabiskan segelas teh hangat di depannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun