"Gue perhatikan apakah ada anak-anak dari provokator elit yang kena tembak?" tanya Brojol dengan muka sinis.
Brojol dan Brondong kompak menggelengkan kepala masing-masing. Mereka kembali meminum kopi bersama roti panggang coklat keju  harga langit.
Tatapan mereka mengarah ke  jalan Gatot Subroto. Demonstran semakin liar. Lemparan batu, lemparan bom molotov semakin agresif. Asap gas air mata bertambah lebar. Beberapa polisi pria dengan helem dan tameng bergerak maju menghadang lalu mengusir gerak pengunjuk rasa.
Satu persatu demonstran di tangkap polisi lalu di bawa ke dalam truk untuk dipindahkan ke markas agar bisa mengumpulkan kisah yang tersembunyi.
Sebuah mobil ambulan berjalan menjauh dari kerumunan perusuh kemudian berhenti di rumah sakit terdekat. Seorang pria terlentang di kasur ambulan korban kerusuhan keluar dari mobil putih kemudian di pindahkan ke ruang gawat darurat.
Mulut dan hidungnya di tutup alat bantu pernapasan dari tabung oksigen. Tangan kanannya di tusuk jarum dengan pipa plastik kecil dari bungkus infus yang tergantung. Namun dada kirinya di tutup perban agar darah tidak keluar banyak.
Saat korban sudah di ruang gawat darurat napasnya masih ada karena alat detak jantung masih memberikan gambar tanda jantung masih berfungsi, namun ke dua kelopak matanya masih tertutup.
Detak jantungnya masih stabil.
Dua puluh menit setelah korban berada di ruang gawat darurat. Datanglah seorang perempuan berpakaian lusuh menjenguk korban. Perempuan tersebut ternyata istri dari korban peluru nyasar.
Dengan sikap pelan dan berhati-hati tangan perempuan itu mengusap rambut dan pipi suami pujaan anak dan istri. Dengan pelan dan hati terasa remuk air mata perempuan itu keluar.
Air mata perempuan itu semakin deras mengalir di pipinya yang tanpa polesan bedak kecantikan. Teringat olehnya tiga orang anak mereka yang masih kecil.