*****
Sepuluh tahun silam, Karim Sang Pemimpin adalah sosok yang sangat disegani hingga ke negeri seberang. Ia adalah pemimpin negeri yang berwatak keras namun adil. Sayangnya ia gagal membimbing putra-putranya sendiri. Mereka; Ali dan Amir, mendapatkan pendidikan yang tinggi, tapi perilaku mereka tidak mencerminkan kualitas pendidikan yang telah mereka jalani.
Keduanya suka berfoya-foya dan berjudi secara sembunyi-sembunyi. Mereka selalu berhasil menemukan tempat tersembunyi untuk berjudi dan melarikan diri sebelum penegak hukum mengepung mereka.
Pada suatu ketika, seorang teman membocorkan lokasi pesta judi Amir dan teman-teman lainnya kepada penegak hukum. Amir dan teman-temannya berhasil ditangkap dan dibawa ke pengadilan. Hukuman-pun dijatuhkan. Amir dan teman-temannya harus menerima hukuman cambuk dari para algojo.
Karim Sang Pemimpin datang sesaat sebelum eksekusi cambuk dilakukan. Ia mengambil cambuk dari tangan algojo lalu mencambuk putranya tersebut. Amir menjerit kesakitan, tetapi Karim tidak menghiraukannya.
“Tahukah kau, Nak?” tanya Karim sambil terengah-engah. “Ayah merasa bersyukur karena mereka tidak memutuskan untuk memotong tanganmu. Mereka hanya memutuskan untuk mencambukmu seperti ini!!!” ujar Karim sambil mencambuknya lagi. Amir meraung sekeras-kerasnya.
“Ampun, Ayah…. Aku tak akan mengulanginya. Ampuuun…..”, Amir memohon belas kasihan ayahnya. Punggungnya mulai robek dan mengucurkan darah segar. Karim mencambuknya lagi dan lagi. Jeritan Amir terdengar makin memilukan.
“Kau telah mempermalukan aku, Nak. Kau telah mencoreng muka ayahmu ini.” Satu cambukan membelah telinga kanan Amir. Amir melengking panjang.
“Ayah menghukummu sambil berharap agar kelak Allah tidak akan mengirimmu ke neraka. Ayah berharap agar kau segera bertobat sebelum kematian menjemputmu.” Satu cambukan lagi mengoyak punggung Amir semakin lebar. Seorang algojo dan seorang petugas pengadilan memegangi tangan Karim.
“Sudah cukup, Yang Mulia. Sudah cukup hitungannya.” ujar petugas pengadilan. Karim menoleh ke arahnya, lalu menoleh ke arah algojo. Sedetik kemudian, ia melepaskan cambuk dari tangannya.
“Lepaskan ikatan Amir dan bawa ke ruang pengobatan.” perintah si petugas kepada rekan-rekannya. Karim menyaksikan para petugas menggotong Amir ke ruang pengobatan lalu bergegas pergi bersama ajudannya. Sejumlah orang berkerumun hingga Karim tidak bisa melanjutkan langkahnya. Mereka menunduk hormat. Seorang di antara mereka bergerak maju.