Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Terkoneksi melalui Kenangan

18 Desember 2024   16:45 Diperbarui: 18 Desember 2024   18:40 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ria, ini jam tangan favoritmu ya?"

"Kok tau?"

"Lebih bersinar ketimbang jam tangan yang lain."

Aku tertawa mendengar ucapan temanku, Yuri, yang baru saja selesai membaca buku Marie Kondo yang berjudul The Life Changing Magic of Tidying Up.

Mungkin benar bersinar, karena hatiku benar-benar menyayangi jam tangan ini. 

Jam tangan yang penuh kenangan, membuatku selalu terkoneksi dengan jiwanya yang sudah tidak mungkin aku temui. 

***

"Oma, kalau cape ga perlu kerja lagi, nikmatin waktu saja di rumah", kataku ketika melihat ekspresi Omaku yang begitu kelelahan karena seharian bekerja. 

Usianya hampir mencapai 70-an, tapi selalu bersemangat kerja di toko batik, usaha Opa yang dirintis dari muda, dan sekarang menjadi usaha keluarga besar.

"Mungkin bosen kali ya, biasa bekerja dari muda, tau-tau harus berleha-leha di rumah", pikirku, terkenang Opaku sebelum meninggal, tetap mau datang ke toko, tidak mau beristirahat di rumah.

"Nyusahin aja itu, Oma kamu, udah tahu pikunan, masih aja maksa kerja!", dumel Tante Vira yang merupakan anak kandung Opa, anak tiri Oma. 

Perkataan itu mempengaruhiku, karena memang kerja Oma sering salah terus, sampai kami harus selalu membetulkan, dan meminta maaf pada pelanggan.

Tapi lucunya pelanggan memaklumi, dan tetap saja berlangganan pada kami.

"Oma, emang ga cape kerja tiap hari?", aku bertanya padanya, sambil mengelap kakinya dengan air hangat. Kakinya bengkak akibat seharian berdiri, ngobrol dengan pembeli.

"Cape, sih, tapi Oma seneng, Ria", sahutnya dengan mata berbinar. 

Aku sudah tahu Oma sangat hobi dagang, dan ngobrol, tapi kasihan juga kalau melihatnya tiap hari kelelahan seperti ini.

"Kalau gitu, ga usah tiap hari kerja, lah, Oma, sehari kerja, sehari di rumah, gimana?", aku berusaha membujuknya. 

Oma menghela napas sambil tersenyum, "Ga, ah, Oma senang di toko. Ada Opa dan Valen..."

Aku tertegun mendengarnya. Apa Oma lagi halusinasi?

Melihat Oma terpejam, dan tidak lama tertidur, aku hanya melanjutkan memijit kakinya. 

***

"Nyaman pakai baju ini", kata Tante Vira cuek setiap ditanya oleh pelanggan yang berkunjung.

Sepeninggalan Opa, tante Vira lebih sering memakai batik Opa, yang pasti ukurannya oversize di tubuhnya yang langsing dan tinggi semampai. 

Penampilan Tante Vira memang agak nyentrik dibanding saudara-saudaranya, namun tetap terlihat fashionable. 

Cincin besar yang nyentrik hadiah dari mamaku, Valen, tidak pernah absen dipakainya di jari telunjuknya.

Berkat Tante Vira yang pandai memadu-madankan batik Opa ditubuhnya, penjualan kain batik di toko sangat meningkat pesat. 

Orang merasa terkagum-kagum dengan apapun yang dipakai Tante Vira. 

Gayanya yang cuek, ceplas ceplos, tapi humoris, mudah membuat orang merasa dekat, sekaligus terpesona.

"Mungkin Tante Vira pakai batik Opa, supaya ningkatin penjualan kali ya?", pikirku, karena semua baju batik Opa, kain batiknya dari toko sendiri. 

Dibikin jadi baju, karena Opa suka dengan batiknya, dan sebagai salah satu cara promosi. 

Pastinya Tante Vira mengikuti cara Opa dalam memasarkan produknya. Herannya, Tante tidak pernah memotong kain batik kami, untuk membuat model batik perempuan.

Mengapa hanya memakai kemeja batik Opa?

***

Tiga tahun berlalu, aku tidak berhenti merindukan mama dan Opa.... 

Selalu teringat kejadian terakhir detik-detik menjelang aku hanya bisa diam terpaku melihat tubuh mereka diselimuti kain putih. 

Sore itu...

"Sore, Kak... ini Ria bukan ya?", hatiku nyelos mendengar suara yang tidak dikenal, tapi memakai nomor ponsel mama.

Saat itu aku sedang rapat dengan Lenny dan Bahar, tim kerjaku, membahas konten untuk launching produk terbaru perusahaan tempatku bekerja.

"Betul, ada apa dengan mama saya?", tanyaku segera memahami keadaan. 

Pasti ini bukan dalam kondisi yang biasa kalau sampai orang lain menggunakan ponsel mamaku.

"Alhamdulillah... Kak, segera ke rumah sakit Sehat Jaya ya, Kak.. Mama dan mungkin kakeknya Kakak mengalami kecelakaan. Kami di UGD ya, Kak".

"Kecelakaan atau gimana, Kak?"

"Kecelakaan, Kak, dan kondisi cukup parah. Tolong segera ke sini ya..."

"Baik, saya segera ke sana. Boleh tahu nama kakak?"

"Friska, Kak. Tadi saya dan orang sekitar yang bantu mama dan kakeknya keluar dari mobil."

Aku langsung terduduk. 

Jantungku berdebar, tapi masih berusaha mengembalikan logikaku. 

Apakah ini serius? Atau penipuan?

Lenny langsung merebut ponselku, "Shareloc, ya, Kak, kami ke sana sekarang. Terima kasih."

Aku lupa kejadian selanjutnya, yang aku ingat aku, Lenny dan Bahar langsung mengendarai mobil secepat mungkin dari kantor. 

Kedua rekan kerjaku langsung menemaniku, karena tidak tahu penelepon itu benar memberitahu, atau sedang menjebakku.

Sesampainya di rumah sakit, aku langsung berlari kesetanan, dan bertanya pada resepsionis. 

Gerakannya begitu lelet, pertanyaannya terlalu banyak, membuatku frustasi hingga berteriak, "FRISKAA!! FRISKAA!", supaya cepat keluar.

Seorang perempuan muda langsung menghampiriku dengan tergopoh-gopoh, bajunya penuh bekas darah, "Kak Ria, ya? Sini..."

Aku langsung mengikutinya dengan langkah yang cepat, mengibaskan gorden pembatas, dan memandang adegan yang kukira hanya dalam film saja.

Seorang suster menutup wajah Opa dengan selimut putih. 

Disebelahnya, aku lihat mama tertidur, wajahnya pucat pasi, tubuhnya tidak bergerak. 

"Ibu, keluarganya?"

Aku lupa apakah pertanyaan itu aku jawab atau tidak. 

Yang aku ingat aku hanya bisa tertegun melihat apa yang ada didepan mataku. 

Selimut putih dengan tubuh yang tidak bergerak.

Baru menyadari mama dan Opa pergi untuk selamanya ketika peti ditutup, tanah merah mulai beradu menutupi peti. 

Baru bisa menyadari ini semua bukan mimpi, ketika Tante Vira dan Oma berlomba mau terkubur didalamnya, hingga harus diseret menjauh.

Walau saudara tiri, tapi Tante Vira dan mama sangat akrab, seperti saudara kandung.

Disini aku memahami istilah "sakit tak berdarah".

Aku tidak bisa menangis sama sekali... 

Hingga hari ini belum ada satu tetes pun yang keluar dari mataku ketika mengingat kejadian itu.

***

Buku
Buku "Seorang Pria yang Melalui Duka dengan Mencuci Piring" | Dokumentasi Pribadi

Buku "Seorang Pria yang melalui Duka dengan Mencuci Piring" terpajang di toko buku. 

Masuk dalam kategori best seller.

Membaca sinopsis dibelakangnya, aku tertarik dengan kata "tutorial". 

"Ahh... mungkin ini bisa menjadi cara supaya aku, Oma dan Tante Vira untuk ga berduka terus". 

Baru setahun belakangan Oma tidak lagi menangis setiap malam, dan Tante Vira tidak marah-marah pada suaminya sebagai pelampiasan kerinduannya pada Opa dan mamaku.

Sesampainya di rumah, aku langsung membacanya buku tersebut.

Diawali dengan kata pengantar, yang bercerita bahwa salah satu temannya memberi makan ikan Mas Koki setiap pagi. 

Ketika ikan Mas Koki itu mati, temannya langsung menangis tiga hari tanpa henti. 

Aneh...

Ternyata ada makna dibalik ikan Mas Koki kesayangannya, temannya merasa terkoneksi dengan ayahnya yang sudah meninggal, melalui memberi makan sang ikan setiap pagi. 

Jadi yang ditangisi bukanlah ikan Mas Koki, akan tetapi koneksi sang teman dengan jiwa ayahnya yang sudah tiada. 

Membacanya langsung membuatku teringat pada jam tangan yang sering kupakai.

Jam tangan ini adalah hadiah mama padaku saat aku berulangtahun yang ke-24 tahun, sekaligus pertama kalinya Opa mencium pipiku sembari berkata "Selamat ulang tahun, cucuku".

Opa biasanya terlalu strict, nyaris tanpa sentuhan kasih sayang. 

Mengobrol dan mengomel adalah bentuk kasih sayangnya.

Juga, mungkin keputusanku untuk resign dan membantu usaha keluarga, juga bagian dari caraku terkoneksi dengan Opa dan Mama. Toko adalah jiwa Opa, dan mama selalu senang membuat desain motif Batik.

Ahh... mungkin juga ini cara Oma terkoneksi dengan Opa dan mama, yang dulunya juga ikut dalam usaha keluarga.

Dan... mungkin juga cara Tante Vira untuk tetap terkoneksi dengan Opa, dengan memakai baju batiknya Opa, dan cincin besar itu juga membuatnya merasa terkoneksi dengan jiwa mama.

Tanpa disadari, aku, Oma dan Tante Vira membuat suatu koneksi dengan jiwa Opa dan Mama melalui benda dan suasana.

Setelah memahami kalimatnya, aku pun melanjutkan halaman, judul pembuka pada bab pertama, membuatku langsung merasa bagian dari komunitas,  "Selamat Datang di Klub Berduka". 

Setiap kata dalam halaman membuatku meneteskan air mata, hal yang sudah kukira tidak akan pernah bisa lagi dilakukan.

Proses dokter dan istrinya kehilangan dan mesti menerima kepergian anaknya, begitu membuatku menangis sesunggukkan. 

Ada penjelasan juga dimana sang dokter mengulang terus cerita bagaimana anaknya pergi pada semua orang yang melayat dan bertanya penyebab sang buah hati meninggal.

Menceritakan ulang kejadiannya, hanya berat diawal, namun membuatnya merasa tetap dekat dengan jiwa anaknya, saking seringnya sampai menciptakan sebuah keikhlasan.

Ternyata selama ini, aku memilih diam, bisa jadi bagian dari diriku yang belum ikhlas atas kepergian Opa dan mamaku.

Aku takut ketika aku bercerita, semua detik terakhir yang ada didepan mataku kembali muncul, dan rasa sesal terus menyelimuti diriku.

Aku terlambat datang...

Menyesali seandainya sore itu, aku bersikeras libur dari kantor, biar aku saja yang membawa Opa ke rumah sakit, pasti Opa dan mama masih bernapas. 

Tapi aku memilih masuk kerja, tidak mengindahkan permintaan mamaku untuk menemaninya membawa Opa check up ke rumah sakit. 

Kata andai selalu bersahutan, dan ternyata dalam buku sang dokter, itu adalah suatu kewajaran, karena beliau juga mengalaminya. 

Wajar dalam diri manusia yang berandai-andai, walau waktu tidak mungkin terulang lagi.

Merasa senasib, aku membacanya terus, nyaris lupa untuk tidur. 

Membalik setiap halaman, serasa aku bisa belajar dari pengalaman dokter dr.ndreamon yang akhirnya bisa mengikhlaskan kepergian anaknya yang belum satu tahun, sekaligus ayahnya.

***

"Ria, kamu sakit apa? Kok dari tadi cuman cuci piring, bukannya siap-siap ke toko?", tanya Tante Vira yang setelah kepergian Opa dan mama, tinggal dengan Oma, untuk menjaganya bersamaku.

"Menyalurkan duka...", kataku sambil tersenyum.

Tante Vira memandangku dengan tertegun.

"Terima kasih Opa, sudah hadir dalam hidup kami. Terima kasih Mama udah ngelahirin, Ria.. Maaf, Ria telat ke rumah sakit", bisikku pelan-pelan, sambil mencuci piring dengan khusyuk, mengikuti tutorial dalam buku.

Tanpa terasa air mataku mengalir. 

Tante Vira, pertama kalinya memelukku, dari belakang. Ikut menangis...

*** 

Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun