Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketika Kakakku seperti Kartini Bagiku

22 April 2024   01:51 Diperbarui: 22 April 2024   09:13 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kakak beradik yang berjuang di daerah perantauan | Foto : Pexels.com/Trung Nguyen

Selama ini aku melihat sosok Kartini hanya sebatas dalam tulisan dan konten di media massa, ataupun penayangan film. 

Tidak pernah menyangka bahwa bahwa aku memiliki kakak perempuan yang perjuangannya begitu inspiratif bagiku, seperti seorang Ibu Kartini.

*** 

Dua tahun lalu, aku jejakkan kaki ini di ibukota negeri ini, yang nantinya gelarnya akan segera dilengserkan saat Keputusan Presiden turun.

Jakarta, menjadi kota impian segenap orang daerah dalam mencari nafkah untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Bisa dibilang, aku bukan orang susah di kampungku. Ibu Bapakku masih bisa memberikanku makan, walau aku tidak bekerja. 

Namun di usia 20-an ini, aku tidak mau selalu mengandalkan orang tuaku. Aku ingin seperti kakak perempuanku, yang kalau pulang ke kampung, bisa membanggakan Ibu Bapakku didepan tetangga-tetangga yang comel mulutnya.

Aku juga ingin seperti kakakku yang bisa membantu saudara-saudaraku lainnya yang kesusahan. 

Ahh.. enak sekali aku lihat kakakku di Jakarta.

***

"Dek, ada kerjaan di cafe, lokasinya dekat dengan lokasi kost kita, sekitar 30 menit perjalanan. Kau mau tak?", tanya kakakku.

* 

Satu tahun sudah aku di Jakarta, dan tidak menyangka betapa kerasnya bekerja di Jakarta. Betapa perihnya hidup Kakak di kota. 

Ia harus banyak berhemat, dan ternyata demi bisa membiaya Ibu Bapakku, dan memenuhi kebutuhan saudara-saudaraku, seringkali ia menahan diri untuk memenuhi keinginannya. 

Istilahnya uang yang ia hasilkan tidak bisa dinikmati untuk dirinya sendiri.

Dari awal aku datang, aku nge-kost di Tangerang, bersama kakakku untuk menghemat biaya. Setelah aku mendapatkan pekerjaan di Jakarta Timur, aku langsung menawarkan diri agar biaya sewa kost dibagi dua.

Kalau tidak, aku kasihan pada kakakku karena harus menanggung biayaku juga, padahal aku sudah bekerja.

Gajiku tidak terlalu tinggi, namun masih bisa lah untuk hidup sehari-hari. Hanya saja, kalau aku hitung untuk masa depan, uangku habis untuk biaya transportasi. 

Padahal aku sudah mengakali pengeluaranku dengan hanya makan di kost saja, dan membawa bekal.

Kakak dan aku seringkali bergantian memasak makanan di kost.

Tapi tetap saja, setiap akhir bulan, sisa uangku tidak menyemangatiku untuk terus bekerja di perantauan.

Rasa-rasanya impianku untuk bisa membanggakan orangtuaku akan lama sekali bisa tercapai.

Dalam malam, aku hanya bisa melihat kakakku pulang dengan wajah yang kuyu, mandi, kemudian makan malam.

Tidak lama kemudian, ia rebahkan tubuhnya yang hampir kurus kering diatas kasurnya, tertidur lelap, tanda ia kelelahan.

"Ya, Tuhan, aku ingin sekali berbagi beban dengan kakakku", itu lah doaku setiap malam menahan tangis.

***

"Kak! Aku mau kerja di cafe ini, gajinya ga terlalu besar, tapi sepertinya masih bisa untuk biaya kuliah. Jam kerjanya pun ga full seharian."

*

Sebagai anak bungsu dari enam bersaudara, Ibu Bapakku sebenarnya sangat berat melepaskanku untuk merantau. 

"Boleh lah, kau pergi, tapi janji sama Bapak kalau kau akan kuliah disana", tegas Bapakku saat aku merengek untuk diizinkan pindah ke Jakarta, ikut kakak perempuanku.

Bagi keluargaku, pendidikan sangatlah penting. 

Hidup akan dikategorikan sukses kalau bisa mendapatkan pendidikan yang tinggi, dan tentu memiliki profesi yang bisa menghasilkan uang. 

Setahun lalu, memang aku dan kakak sudah mencari kuliah yang tidak terlalu jauh dengan kost, dan harganya juga masih bisa sesuai kantong. 

Namun jam kerjaku lah yang membuatku memutuskan untuk menunda kuliah dulu. Untung saja kakakku ini juga sepakat, kalau tidak bisa habis aku dimaki-maki sepanjang hari, karena janjiku pada Bapak.

*

Satu jam perjalanan dari tempat kostku ke tempat kuliah.

Aku bersyukur sekali pada Tuhan karena membukakan jalan untukku agar bisa memenuhi janjiku pada Bapak, dan tidak terlalu memberatkan finansial kakak perempuanku.

Di kampus ini, mahasiswanya diizinkan untuk bayar per bulan. Dengan begitu aku bisa membiayai sendiri uang kuliahku.

Waktu kuliah pun bisa dilakukan di malam hari, walaupun secara kenyataan, dosen seringkali tidak pengertian pada jam perjalanan orang pulang kerja ke kampus.

Beruntung saya memiliki atasan yang sangat pengertian pada jadwal kampus, jadi aku hampir tidak pernah dijadwalkan lembur, ataupun saat mepet mau pulang kerja, atasanku sama sekali tidak pernah memberikan tugas.

Aku memilih jurusan kuliah yang paling ekonomis, karena aku sendiri tidak tahu harus memilih jurusan apa. 

"Yang penting aku memenuhi janjiku ke Bapak," tekadku dalam hati.

***

"Dek, kita beli motor yuk, kau ke sana-ke sini naik ojol (ojek online), juga belum tentu dapat pas malam hari!", kata kakak perempuanku ini.

"Biayanya bagaimana, Kak, jangan nanti kau repot lagi karena aku", kataku.

"Ga lah, kita bagi dua saja ya. Cukup lah gajimu, aku sudah hitung itu", kata kakak perempuanku meyakinkan. 

*

Setahun lebih aku tinggal bersama kakak perempuanku, aku sudah menganggap dia hampir seperti pengganti ibuku.

Motor pun dibeli, aku menurutinya karena tahu dia pasti khawatir kalau malam hari aku telat pulang karena kesulitan mendapatkan ojol. Belum lagi terkadang rate-nya bisa-bisa sangat mahal.

Dipikir-pikir lebih baik aku beli motor, setidaknya uang yang aku keluarkan bisa menghasilkan benda kepemilikan yang berharga.

***

Aku cukup menyenangi apa yang aku jalani saat ini. Kuliah dan bekerja. 

Aku merasa dapat memberdayakan diriku dengan maksimal. Apalagi kata kakakku, kuliah tidak hanya bisa menaikkan gaji saat lulus nanti, tapi membuka wawasan, dan kesempatan untuk mendapatkan koneksi jauh lebih besar.

Aku tidak sabar menunggu kesuksesan masa depanku.

*

"Della, kamu kenapa, kok kinerjamu menurun?", tegur atasanku padaku saat pertengahan jam kerja.

*

Sudah dua minggu ini kena tegur oleh atasan.

Aku sama sekali tidak bisa tidur di malam hari, karena menjaga kakakku yang takutnya tiba-tiba kejang.

Jujur, aku sangat ketakutan beberapa malam ini. 

Apalagi, belum ada sebulan, salah satu kakakku di kampung, ada yang meninggal karena kelelahan. Aku tidak mau kehilangan kakak lagi, apalagi kakak perempuanku ini paling dekat denganku.

Beruntung teman baik kakakku tinggal di kamar kost sebelah, sehingga bisa langsung dibawa ke rumah sakit. 

"Terlalu lelah, dan stress, mungkin ada tekanan psikologi", diagnosa sang dokter.

Minum obat sudah dilakukan, namun terkadang kejang itu masih suka muncul. 

Aku pun memberanikan diri untuk bertanya pada kakakku, tekanan apa yang sedang dia hadapi, apa karena beban biayaku terlalu besar?

Tanya punya tanya, akhirnya kakakku mencurahkan isi hatinya yang selama ini terpendam.

Ternyata kakakku selama ini tidak punya tabungan sama sekali, uangnya hampir sebagian besar habis digunakan untuk membantu kedua orangtuaku dan empat saudara-saudariku di kampung, termasuk aku.

"Kakak sebenarnya senang, dek, dan sangat ikhlas kok bantu keluarga, tapi kenapa mereka hanya menuntut, sekali ucapan terima kasih saja ga ada", keluh kakakku dalam isak tangisnya.

Pilu sekali aku mendengarnya.

Aku adalah salah satu saudara yang membebani kakakku, terutama di kampung. 

Sering aku meminta uang jajan pada kakakku, dan andai hanya dikasih sedikit, aku selalu bilang "pelit kali kau ini, mentang-mentang kaya kau". 

Kalau diingat hal itu, ingin sekali aku menampar mulutku, bisa jadi itu uang terakhirnya demi uang jajanku.

***

Aku pernah membaca tentang sosok Ibu Kartini yang begitu inspiratif memerangi ketidak-setaraan dalam pendidikan, juga ketidak-seteraan dalam kedudukan kaum pria dan wanita dalam mengecap pendidikan guna memajukan negerinya.

Namun perjuangan beliau tidak sesederhana itu, ada liku batin ketika dirinya harus memendam keinginan untuk memberontak adat budaya pada masa itu, yang hampir mengerdilkan keberadaan rakyat Indonesia sendiri, demi reputasi ayahnya yang saat itu menjabat sebagai Bupati Jepara.

Ada liku batin juga ketika ia harus memendam rasa perih, ketika terlihat perbedaan perlakuan masyarakat dan kolonial terhadap istri pertama sang Ayah yang begitu dihormati, sedangkan istri-istri lainnya dipandang sebelah itu. Padahal hubungan poligami sendiri dianggap bukanlah hal yang tabu. 

Perih itu timbul karena ibu Kartini bukanlah istri pertama, melainkan berkedudukan seorang istri kedua atau ketiga.

Kakak perempuanku ini mungkin tidak sehebat Ibu Kartini, namun perjuangannya membiayai seluruh keluargaku, hingga menahan diri untuk menikmati penghasilannya sangat inspiratif bagiku.

Menurutku, ia juga pintar seperti Ibu Kartini yang mementingkan pendidikan bagi kaum perempuan, karena bisa mencetak anak-anak yang berpendidikan dan bisa memajukan bangsa dan negara.

Karena latar belakang keluarga yang mementingkan pendidikan, kakakku sangat mendukung ketika aku, sebagai anak bungsu dan keponakan-keponakannya mendapatkan pendidikan yang layak dan setinggi mungkin. 

Buktinya biaya sekolahku masa SMA dan keponakan-keponakanku dibiayai sebagian oleh kakakku.

Tidak menyangka sebegitu besarnya rasa dan uang yang ia korbankan demi kebahagiaan keluargaku.

Semenjak obrolan dari hati ke hati itu, aku bersemangat untuk turut berjuang mencari nafkah, sehingga bisa berbagi beban finansial. Kakak perempuanku tidak lagi sendirian dalam menanggung beban ekonomi keluarga.

Aku ingin seperti kakakku yang gemar membaca buku, meresap pengetahuan dari berbagai sumber dari internet untuk terus meningkatkan skill diri, dengan begitu mungkin aku bisa meningkatkan gajiku dari tahun ke tahun.

Dan impianku saat ini, aku bisa melangkah hingga bisa berbagi beban dengan kakakku, agar ia tidak sakit lagi, dan bisa menikmati sebagian hasil jerih payahnya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun