Perih itu timbul karena ibu Kartini bukanlah istri pertama, melainkan berkedudukan seorang istri kedua atau ketiga.
Kakak perempuanku ini mungkin tidak sehebat Ibu Kartini, namun perjuangannya membiayai seluruh keluargaku, hingga menahan diri untuk menikmati penghasilannya sangat inspiratif bagiku.
Menurutku, ia juga pintar seperti Ibu Kartini yang mementingkan pendidikan bagi kaum perempuan, karena bisa mencetak anak-anak yang berpendidikan dan bisa memajukan bangsa dan negara.
Karena latar belakang keluarga yang mementingkan pendidikan, kakakku sangat mendukung ketika aku, sebagai anak bungsu dan keponakan-keponakannya mendapatkan pendidikan yang layak dan setinggi mungkin.Â
Buktinya biaya sekolahku masa SMA dan keponakan-keponakanku dibiayai sebagian oleh kakakku.
Tidak menyangka sebegitu besarnya rasa dan uang yang ia korbankan demi kebahagiaan keluargaku.
Semenjak obrolan dari hati ke hati itu, aku bersemangat untuk turut berjuang mencari nafkah, sehingga bisa berbagi beban finansial. Kakak perempuanku tidak lagi sendirian dalam menanggung beban ekonomi keluarga.
Aku ingin seperti kakakku yang gemar membaca buku, meresap pengetahuan dari berbagai sumber dari internet untuk terus meningkatkan skill diri, dengan begitu mungkin aku bisa meningkatkan gajiku dari tahun ke tahun.
Dan impianku saat ini, aku bisa melangkah hingga bisa berbagi beban dengan kakakku, agar ia tidak sakit lagi, dan bisa menikmati sebagian hasil jerih payahnya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H