Tanya punya tanya, akhirnya kakakku mencurahkan isi hatinya yang selama ini terpendam.
Ternyata kakakku selama ini tidak punya tabungan sama sekali, uangnya hampir sebagian besar habis digunakan untuk membantu kedua orangtuaku dan empat saudara-saudariku di kampung, termasuk aku.
"Kakak sebenarnya senang, dek, dan sangat ikhlas kok bantu keluarga, tapi kenapa mereka hanya menuntut, sekali ucapan terima kasih saja ga ada", keluh kakakku dalam isak tangisnya.
Pilu sekali aku mendengarnya.
Aku adalah salah satu saudara yang membebani kakakku, terutama di kampung.Â
Sering aku meminta uang jajan pada kakakku, dan andai hanya dikasih sedikit, aku selalu bilang "pelit kali kau ini, mentang-mentang kaya kau".Â
Kalau diingat hal itu, ingin sekali aku menampar mulutku, bisa jadi itu uang terakhirnya demi uang jajanku.
***
Aku pernah membaca tentang sosok Ibu Kartini yang begitu inspiratif memerangi ketidak-setaraan dalam pendidikan, juga ketidak-seteraan dalam kedudukan kaum pria dan wanita dalam mengecap pendidikan guna memajukan negerinya.
Namun perjuangan beliau tidak sesederhana itu, ada liku batin ketika dirinya harus memendam keinginan untuk memberontak adat budaya pada masa itu, yang hampir mengerdilkan keberadaan rakyat Indonesia sendiri, demi reputasi ayahnya yang saat itu menjabat sebagai Bupati Jepara.
Ada liku batin juga ketika ia harus memendam rasa perih, ketika terlihat perbedaan perlakuan masyarakat dan kolonial terhadap istri pertama sang Ayah yang begitu dihormati, sedangkan istri-istri lainnya dipandang sebelah itu. Padahal hubungan poligami sendiri dianggap bukanlah hal yang tabu.Â