Sejurus kemudian perawat membawa gue ke lantai dua dan masuk ke ruang foto ronsen. Ada mesin yang besar seperti tembakan laser di film-film fiksi sains dengan tinggi hampir satu ruangan. Nggak heran harganya mahal, kameranya ya juga mahal.
Dokter kemudian membaca hasil foto gue, "Kami lihat kakinya nggak kenapa-kenapa. Nggak ada yang geser atau retak. Bisa jadi kakinya trauma. Paling dikasih salep aja, Mas."
Gue membaca situasi ini sebagai penguras dompet lainnya. Sebelum dokter melanjutkan, gue membalas, "Salepnya boleh saya tebus di luar, Dok? Ada apotek langganan soalnya dekat rumah," jawab gue, ngibul.
"Boleh. Saya tulis resep aja, ya," jawab dokter sambil pergi meninggalkan gue.
Syukurlah, dompet gue aman.
Setelah dokter memberikan hasil foto dan resep, gue dan Nouvend pamit kepada dokter dan teman-temannya. Gue berjalan menuju tempat pembayaran. Biayanya enam ratus ribu dan mereka tidak menerima kartu debit. Kami akhirnya harus berjalan dulu ke ATM yang terletak di luar lobby. Saat kami keluar dari lobby, kami melihat tulisan neon besar bertuliskan RSUD di seberang jalan.
"Lah, itu RSUD. Pantesan mahal, cok. Kita di rumah sakit swasta...," keluh gue ke Nouvend.
Setelah gue membayar biaya foto, kami pun pulang.
Di jalan, gue curhat ke Nouvend, "Duh, duitku abis nih sekarang gara-gara foto gitu doang."
"Iya, cok. Mahal banget. Aku jadi kamu sih ogah bayar segitu," keluh Nouvend. "Tapi ya mau gimana lagi... Kalau nggak kecelakaan juga nggak akan begini 'kan?"
Iya juga, sih. Gue nggak akan bayar segini kalau nggak kecelakaan dan gue nggak akan kecelakaan kalau gue nggak ada niat ke Malang.