"Paling kalau mau, kami cek dulu di sini. Nanti baru ke dokter spesialis. Gimana?"
Nouvend melirik ke arah gue, menunggu jawaban. Daripada nggak dapet info apa-apa, gue iyakan saja, "Iya, Mbak. Nggak apa-apa."
"Ya sudah, Masnya yang satu bisa tolong urus administrasi dulu, ya. KTP-nya di bawa."
Setelah gue memberikan KTP gue ke Nouvend, dia pergi ke meja depan ruang IGD dan perawat menyuruh gue berbaring di ranjang. Dokter kemudian memeriksa gue terkait tekanan darah serta bertanya bagian mana yang masih sakit.
Beberapa saat setelah dokter selesai memeriksa, seorang perawat mendatangi gue. Ia berkata, "Mas, jadi karena yang sakit tuh daerah sini, maka kami harus foto bagian telapak kaki, pergelangan kaki, betis dan lutut, ya."
"Oke," balas gue pasrah.
"Biayanya jadi Rp1.400.000,00."
Buset. Foto kaki aja harganya mahal. Padahal sebelumnya gue sempet cek di Internet, biaya RSUD seharusnya tidak terlalu mahal. Kalau kayak gini sih, gue jadi fotografer kaki aja. Nggak capek, duit berlimpah.
Sebagai seorang mahasiswa rantau miskin, gue mencoba bernegosiasi dengan berkata, "Wah. Kira-kira bisa dikurangi nggak, Mbak? Yang penting dulu aja gitu?"
Susternya berpikir sejenak sambil melihat ke arah gue dengan tatapan menghakimi, lalu berkata, "Kalau yang penting sih bagian pergelangan kaki sama lutut, Mas, karena tadi Mas bilang sakitnya di situ. Kalau dua itu aja jadi Rp600.000,00."
"Oke, dua itu aja," tegas gue supaya nggak dapet biaya lain lagi.