Penggunaan bahasa dalam kontrak di Indonesia merupakan isu yang penting untuk dipahami, terutama dalam konteks kepatuhan terhadap regulasi hukum dan implikasi hukumnya. Di Indonesia, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia dalam setiap perjanjian yang melibatkan pihak lokal. Namun, praktik ini sering kali menghadapi tantangan, khususnya ketika melibatkan pihak asing yang lebih nyaman menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa kontrak utama. Konflik antara kebutuhan praktis dan ketentuan hukum ini menimbulkan sejumlah permasalahan, seperti ketidakpastian hukum dan potensi sengketa akibat penerjemahan yang buruk.
Dalam konteks globalisasi, banyak perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia harus menghadapi kewajiban ini. Meskipun kebebasan berkontrak dijamin oleh Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pelanggaran terhadap kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dapat menyebabkan kontrak dianggap tidak sah di mata hukum. Oleh karena itu, pemahaman terhadap regulasi, serta pentingnya penerjemahan yang akurat melalui penerjemah tersumpah, menjadi kunci untuk memastikan keabsahan dan keberlanjutan perjanjian bisnis.
Pendahuluan ini menyoroti pentingnya strategi penyusunan kontrak dwibahasa yang tidak hanya memenuhi persyaratan hukum tetapi juga memberikan kepastian bagi semua pihak yang terlibat. Hal ini krusial untuk menghindari kesalahpahaman dan menciptakan hubungan bisnis yang harmonis di Indonesia.
Hal terpenting memastikan perjanjian atau kontrak memenuhi semua ketentuan hukum dan
selalu memuat versi bahasa Indonesia dan padanan bahasa asing jika diperlukan sekaligus
memastikan kualitas terjemahan tersumpah untuk menghindari sengketa di kemudian hari.
Kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang mewajibkan penggunaan bahasa
Indonesia, terutama dalam perjanjian yang melibatkan pihak Indonesia menjadi penting
untuk diperhatikan. Namun dalam hal ini, Partner SSEK Law Firm Mahareksha Singh Dillon
mengungkapkan tantangan dan konsekuensi hukum terkait penggunaan bahasa asing dalam
kontrak di Indonesia.
Sebab, klien asing seringkali menghendaki penggunaan bahasa Inggris saja karena alasan
kenyamanan dan pemahaman. Tapi di sisi lain, aturan hukum di Indonesia tetap menuntut
adanya versi kontrak dalam bahasa Indonesia.
"Klien luar negeri umumnya lebih nyaman dengan bahasa Inggris karena mereka tidak
memahami bahasa Indonesia. Namun, kita sebagai praktisi hukum wajib mengingatkan
mereka untuk menyediakan terjemahan tersumpah," ujar Mahareksha Singh Dillon dalam
Workshop Hukumonline 2024 bertajuk "Penyusunan Kontrak Dwibahasa: Kepatuhan
Regulasi, Implikasi Hukum, dan Praktik Terbaik" di Jakarta, Kamis (28/11/2024).
Pria yang akrab disapa Reksha ini menjelaskan prinsip kebebasan berkontrak sebagaimana
diatur dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) seringkali menjadi
rujukan bagi pihak yang ingin menggunakan bahasa Inggris dalam perjanjian. Namun,
meskipun ada kebebasan berkontrak, UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan
Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia dalam
kontrak yang melibatkan pihak Indonesia.
Hingga kini, belum ada sanksi yang tegas diatur dalam undang-undang jika ketentuan bahasa
dalam kontrak ini dilanggar. Berbeda dengan aturan mengenai simbol negara yang memiliki
sanksi pidana. Menurutnya, pelanggaran terhadap ketentuan kewajiban penggunaan bahasa
Indonesia dalam kontrak belum memiliki sanksi yang jelas. Hal ini menimbulkan
ketidakpastian hukum.
Satu hal terpenting, menurutnya, memastikan kualitas terjemahan tersumpah. Reksha
mengingatkan bahwa penerjemahan yang buruk dapat menimbulkan salah tafsir dan
berujung pada sengketa di kemudian hari. "Apakah kita yakin dengan kualitas
terjemahannya? Ini menjadi tantangan tersendiri," kata dia.
Reksha menyoroti sejumlah kasus di mana perjanjian dibatalkan oleh pengadilan karena
tidak menggunakan bahasa Indonesia. Dalam satu kasus, kata dia, pengadilan membatalkan
perjanjian utang-piutang dengan alasan pelanggaran terhadap UU Bendera, Bahasa.
Pengadilan memandang kata "wajib" dalam undang-undang sebagai suatu keharusan yang
tidak bisa diabaikan.
Namun, Reksha menekankan praktik hukum di Indonesia tidak selalu konsisten. "Pengadilan
di Indonesia tidak terikat secara ketat pada preseden, sehingga putusan dalam kasus serupa
bisa berbeda, tergantung pada konteks dan kondisi perkaranya," kata dia mengingatkan.
Penggunaan bahasa asing sebagai padanan
Dalam kesempatan ini, Reksha mengingatkan regulasi yang terkait penggunaan bahasa
dalam kontrak yakni Perpres No. 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia.
Regulasi ini memungkinkan penggunaan bahasa asing sebagai padanan, tetapi bukan
sebagai pengganti bahasa Indonesia.
"Bahasa Indonesia tetap harus ada dan menjadi versi utama. Namun, jika ada perbedaan
penafsiran antara versi bahasa Indonesia dan bahasa asing, versi bahasa asing bisa menjadi
acuan," kata dia.
Menurut Reksha, aturan ini menimbulkan dilema baru karena membuka peluang bagi pihak
asing menggunakan versi bahasa mereka sebagai 'prevailing language' dalam sengketa. Hal
ini, kata dia, bisa menimbulkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, banyak kantor
hukum kini membuat kontrak dalam dwi bahasa untuk menghindari potensi sengketa.
Reksha menyebutkan beberapa pihak mencoba mengantisipasi potensi sengketa dengan
mencantumkan waiver clause dalam kontrak. "Klausul ini menyatakan bahwa bahasa Inggris
menjadi bahasa utama dan mengesampingkan kewajiban penggunaan bahasa Indonesia.
Namun, klausul ini tidak selalu efektif di hadapan hukum Indonesia."
Lebih lanjut, dia menyampaikan notaris juga memiliki peran penting memastikan para pihak
memahami isi perjanjian. Menurutnya, notaris wajib membacakan dan menjelaskan isi
dokumen kepada para pihak. Namun, hal ini hanya dilakukan sekali, yaitu saat
penandatanganan akta. Jika tidak ada dokumentasi tertulis yang memadai, potensi
perselisihan di kemudian hari tetap ada.
Hal terpenting juga memastikan bahwa perjanjian memenuhi semua ketentuan hukum,
termasuk penggunaan bahasa Indonesia. Kepatuhan terhadap aturan bahasa bukan hanya
formalitas, tetapi merupakan elemen esensial yang menentukan sah atau tidaknya
perjanjian menurut hukum Indonesia. Dia mengingatkan agar kontrak selalu memuat versi
bahasa Indonesia yang valid dan padanan bahasa asing jika diperlukan bukan karena itu saja bahasa kita bisa belajar bahasa negara lain.
"Terpenting memastikan para pihak memahami isi dan konsekuensi dari perjanjian yang
mereka buat. Ini akan membantu menghindari sengketa di kemudian hari," katanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H