dalam kontrak yakni Perpres No. 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia.
Regulasi ini memungkinkan penggunaan bahasa asing sebagai padanan, tetapi bukan
sebagai pengganti bahasa Indonesia.
"Bahasa Indonesia tetap harus ada dan menjadi versi utama. Namun, jika ada perbedaan
penafsiran antara versi bahasa Indonesia dan bahasa asing, versi bahasa asing bisa menjadi
acuan," kata dia.
Menurut Reksha, aturan ini menimbulkan dilema baru karena membuka peluang bagi pihak
asing menggunakan versi bahasa mereka sebagai 'prevailing language' dalam sengketa. Hal
ini, kata dia, bisa menimbulkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, banyak kantor
hukum kini membuat kontrak dalam dwi bahasa untuk menghindari potensi sengketa.
Reksha menyebutkan beberapa pihak mencoba mengantisipasi potensi sengketa dengan