Orientasi
Kabut tebal merayap seperti ular raksasa di antara bebatuan candi, menelan setiap jejak cahaya yang tersisa. Di atas menara pengawasan tertinggi istana Majapahit, aku berdiri mengamati bagaimana kegelapan perlahan-lahan melahap kerajaan yang telah kupersembahkan seluruh hidupku untuk melindunginya.Â
Para penjaga di bawah sana mulai menyalakan obor satu demi satu, menciptakan konstelasi titik-titik api yang justru membuat bayangan semakin pekat. Bodoh. Mereka hanya membuat diri mereka menjadi target yang lebih mudah.
Aku menggenggam surat wasiat usang yang kutemukan pagi tadi di balik batu nisan Mahisa Kingkin. Tinta pada kulit kayu itu sudah memudar, tapi kata-katanya masih bisa terbaca."Bahaya mengintai dari dalam lingkaran terdalam. Mereka yang tersenyum padamu siang hari akan menghunuskan belati saat malam tiba." Di sudut surat itu, terukir simbol rahasia Bhayangkara yang hanya dikenal oleh anggota tertua pasukan elit ini.
Dari kejauhan, aku mendengar bisikan para dayang yang tak henti-hentinya membicarakan dongeng usang tentang kabut dan bidadari. Mereka percaya kabut ini adalah selubung suci yang diturunkan para dewa untuk melindungi para bidadari yang hendak memberi penghormatan pada Ken Dedes, sang Ardhanareswari.Â
Ha! Betapa manusia begitu mahir menciptakan kebohongan indah untuk menutupi ketakutan mereka pada kegelapan.
Tetapi malam ini berbeda. Kabut ini terlalu tebal, terlalu gelap, seolah membawa pesan tersembunyi dari masa lalu. Aku masih ingat bagaimana Ken Dedes memanfaatkan kepercayaan rakyat akan mitos bidadari ini. Seorang wanita cerdas, harus kuakui, yang tahu bagaimana mengubah takhayul menjadi legitimasi kekuasaan. "Titisan Pradnya Paramita." Begitu mereka memujanya. Tetapi aku tahu lebih baik dalam menyadarinya. Di balik mitos agung selalu ada darah yang mengalir dan tengkorak yang terpendam.
"Kakang Gajah."Â Suara Pradhabasu mengejutkanku dari belakang. "Para pendeta istana gelisah. Mereka bilang kabut ini membawa pertanda buruk. Tiga ekor burung gagak hitam ditemukan mati di altar pemujaan pagi tadi."
Aku tersenyum sinis. "Sejak kapan kau percaya takhayul, Pradhabasu?"
"Bukan takhayul yang aku khawatirkan, Kakang,"Â jawabnya pelan. "Tapi racun yang ditemukan dalam tubuh burung-burung itu. Racun yang sama yang dulu digunakan untuk membunuh Mahisa Kingkin."
 Menuju Konflik
Angin dingin bertiup, membawa aroma yang tak asing ... campuran dupa, keringat, dan ... darah. Aroma yang sama seperti malam ketika Ra Kuti melancarkan kudeta. Instingku menajam. Kabut ini bukan hanya fenomena alam biasa. Ia adalah tirai sempurna untuk sebuah pembunuhan.
"Seperti kisah Calon Arang,"Â gumamku getir sambil menggenggam erat surat wasiat di tanganku. Dulu, si penyihir itu konon menebar kabut tebal pembawa penyakit ke seluruh negeri. Tapi apa yang tidak diceritakan dalam kisah itu? Bagaimana seorang janda berilmu tinggi harus dilenyapkan karena dianggap ancaman bagi kekuasaan. Sejarah selalu ditulis oleh para pemenang, bukan?
Pradhabasu masih berdiri di sampingku, matanya menyipit menembus kabut. "Ada yang aneh dengan penjagaan malam ini, Kakang. Beberapa pos kosong, beberapa penjaga berganti shift terlalu cepat."
"Berapa banyak?"
"Tujuh pos. Semuanya di titik-titik strategis menuju kamar pusaka."
Jantungku berdetak lebih cepat. Tujuh pos. Tujuh pengkhianat dalam barisan Bhayangkara yang tewas. Tujuh simbol dalam surat wasiat Mahisa Kingkin. Ini bukan kebetulan.
Gonggongan anjing terdengar sahut-menyahut dari berbagai penjuru, seperti simfoni kematian yang menunggu waktu. Para prajurit biasa mungkin mengabaikannya sebagai kegelisahan binatang menghadapi kabut. Tetapi aku tahu lebih baik anjing-anjing itu mencium bau pembunuh yang mengendap-endap dalam kegelapan.
"Kakang!" Suara Lembang Laut memecah keheningan. "Jejak darah di koridor timur! Dan ini ...." Ia mengulurkan secarik kain berlumuran darah dengan simbol Bhayangkara.
Belum selesai ia bicara, kilatan anak panah dengan mata khusus menembus kabut, sinyal darurat dari Gajah Enggon. Aku membalas pesan itu dengan anak panahku sendiri, memberinya kode untuk mendekat. Pradhabasu dan Lembang Laut menghunus keris mereka, bersiaga.
Klimaks
"Kakang Gajah." Suara Gajah Enggon terdengar tegang saat ia muncul dari kabut, nafasnya tersengal. "Klabang Gendis tewas. Anak panah menembus tenggorokannya dengan presisi sempurna. Tapi bukan itu yang terburuk ...."
"Ada yang lebih buruk dari pengkhianatan?" tanyaku getir.
"Ya. Segel kamar pusaka rusak. Keris Mpu Gandring ... hilang."
Darahku berdesir. Tembakan yang membunuh Klabang Gendis, dalam kabut setebal ini, hanya mungkin dilakukan oleh segelintir orang. Dan kebanyakan dari mereka adalah Bhayangkara---pasukanku sendiri. Tapi pencurian keris pusaka? Ini lebih dari sekedar pengkhianatan biasa.
"Bukan hanya itu."Â Gagak Bongol menyusul, suaranya sedingin es. "Pembunuh Klabang Gendis juga telah mati. Dipatuk ular berbisa, lalu dicabik-cabik anjing liar. Tapi---"Â Ia terdiam sejenak."Dia salah satu dari kita, Kakang. Seorang Bhayangkara. Dan di tubuhnya, kami menemukan ini."
Gagak Bongol mengulurkan secarik kulit kayu, surat wasiat lain, dengan tulisan yang sama seperti milik Mahisa Kingkin.
"Lingkaran pengkhianatan akan lengkap saat bulan purnama ke-12." Aku membaca tulisan itu perlahan. "Keris suci akan meminta korban terakhirnya, dan tahta akan berganti tangan."
Keheningan yang menyusul lebih pekat dari kabut di sekeliling kami. Dalam benakku berputar wajah-wajah Bhayangkara yang tersisa. Siapa yang telah memilih jalan pengkhianatan? Siapa yang membunuh saudaranya sendiri, hanya untuk mati dengan cara yang begitu hina?
"Kakang," Pradhabasu berbisik tiba-tiba. "Bulan purnama ke-12 ... itu malam ini."
Resolusi
Di bawah naungan kabut yang semakin gelap, aku membuka gulungan kulit berisi daftar nama Bhayangkara. Setiap nama membawa kenangan akan pengkhianatan dan kematian. Panji Saprang yang meregang nyawa di tanganku sendiri dalam terowongan gelap, Risang Panjer Lawang yang tewas dikhianati di Mojoagung, Mahisa Kingkin yang mati sebagai korban fitnah keji, dan Singa Parepen yang berakhir di ujung keris di Bedander.
"Periksa setiap sudut istana,"Â perintahku. "Cari jejak keris itu. Dan bawa padaku catatan kuno tentang ramalan bulan purnama ke-12."
Sementara para Bhayangkara berpencar, aku membaca ulang kedua surat wasiat di tanganku. Ada sesuatu yang terlewat, sebuah petunjuk tersembunyi. Mahisa Kingkin tidak pernah melakukan sesuatu tanpa alasan.
Kini tersisa sebelas nama dalam daftar: Lembu Pulung, Panjang Sumprit, Kartika Sinumping, Jayabaya, Pradhabasu, Lembang Laut, Riung Samudra, Gajah Geneng, Gajah Enggon, Macan Liwung, dan Gagak Bongol. Sebelas nama, sebelas kemungkinan pengkhianatan yang menunggu waktu.
"Kakang!" Suara Kartika Sinumping memecah keheningan. "Kami menemukan ini di altar pemujaan."
Di tangannya, sebuah topeng kayu tua dengan ukiran yang sama dengan simbol di surat wasiat. Dan di baliknya, terukir nama yang membuat darahku membeku. Nama yang telah lama terhapus dari sejarah Majapahit, nama yang seharusnya telah mati bersama masa lalu.
Aku menatap kabut yang menari-nari di hadapanku, menyadari bahwa ia seperti cermin kehidupan politik Majapahit--- gelap, berbahaya, dan penuh tipu daya. Di balik setiap sumpah setia tersembunyi belati yang siap menikam. Di balik setiap jabatan tinggi mengalir darah yang tak pernah kering.
"Kumpulkan semua Bhayangkara yang tersisa,"Â perintahku pada Gajah Enggon. "Malam ini, lingkaran pengkhianatan akan kita patahkan. Tapi sebelum itu ...." Aku mengambil pena dan kulit kayu baru. "Ada surat wasiat terakhir yang harus aku tulis."
Karena dalam permainan tahta ini, kematian hanyalah permulaan. Pengkhianatan adalah mata uang yang berlaku, dan kesetiaan adalah lelucon pahit yang dinikmati para dewa. Dan aku, Gajah Mada, akan terus bermain dalam kabut ini, memburu setiap bayangan pengkhianatan hingga ke sudut tergelap Majapahit.
Sementara bulan purnama ke-12 mulai mengintip dari balik kabut yang pekat, aku tersenyum getir. Malam belum akan berakhir, dan darah masih akan banyak tumpah sebelum fajar menyingsing. Karena setiap pengkhianatan selalu membawa harga yang harus dibayar, dan malam ini ... adalah waktu pembayarannya.
Bulan purnama ke-12 akhirnya menampakkan wajahnya sepenuhnya, menembus kabut yang mulai menipis. Di altar pemujaan, kami menemukan jawabannya tubuh Kartika Sinumping tergeletak dengan keris Mpu Gandring menembus dadanya. Di tangannya tergenggam erat sepucuk surat--- pengakuan terakhir yang mengungkap semua.
"Kakang,"Â Gagak Bongol membaca surat itu dengan suara bergetar. "Kartika Sinumping ... dia adalah putra Ra Kuti yang selamat."
Semuanya menjadi jelas sekarang. Dendam yang diwariskan, pengkhianatan yang direncanakan selama bertahun-tahun, dan lingkaran balas dendam yang akhirnya menemukan penutupnya. Kartika Sinumping telah merencanakan semuanya - pembunuhan Klabang Gendis hanyalah pengalihan perhatian dari tujuan utamanya: mencuri keris pusaka untuk ritual balas dendam.
"Tapi kenapa dia membunuh dirinya sendiri?" tanya Pradhabasu.
Kuambil keris Mpu Gandring dari tubuh Kartika, merasakan getaran energi kuno yang mengalir di dalamnya. "Karena ramalan itu benar," jawabku pelan. "Keris ini memang meminta korban terakhirnya---darah keturunan pengkhianat, untuk membersihkan noda masa lalu."
Di ufuk timur, fajar mulai menyingsing. Kabut perlahan-lahan terangkat, membawa pergi kegelapan yang telah menyelimuti Majapahit semalaman. Tapi aku tahu, ini bukanlah akhir. Selama ada kekuasaan, akan selalu ada pengkhianatan. Selama ada tahta, akan selalu ada darah yang tumpah.
Tahun-tahun berlalu sejak malam berdarah itu. Para penulis kronik istana mencatat kejadian itu sebagai "Malam Seribu Kabut" Tetapi mereka tidak pernah tahu kebenaran sepenuhnya. Bagaimana bisa mereka menulis tentang pengkhianatan yang begitu dalam, dendam yang begitu pekat, dan harga kesetiaan yang begitu mahal?
Surat wasiat Mahisa Kingkin dan pengakuan terakhir Kartika Sinumping kusimpan dalam peti rahasia, bersama dengan topeng kayu berukir itu. Suatu hari nanti, ketika waktunya tepat, kebenaran ini akan aku wariskan pada Bhayangkara generasi berikutnya. Agar mereka tahu bahwa dalam permainan kekuasaan, tidak ada yang hitam atau putih. Yang ada hanyalah bayangan-bayangan abu-abu, seperti kabut yang menyelimuti Majapahit malam itu.
Dan aku, Gajah Mada, akan terus berjaga. Karena meski kabut telah terangkat dan darah telah mengering, pengkhianatan baru selalu menunggu untuk lahir. Dalam permainan tahta yang tak berujung ini, kewaspadaan adalah harga dari kedamaian.
Analisis Unsur Kebahasaan
1. Diksi (Pilihan Kata)
  - Penggunaan kata-kata archaic dan bernuansa Jawa kuno: "wasiat", "pusaka", "keris"
  - Diksi yang menciptakan suasana mencekam: "kabut", "gelap", "darah", "pengkhianatan"
  - Pemilihan kata yang menunjukkan status sosial: "Kakang", "sang Ardhanareswari"
2. Gaya Bahasa
  - Personifikasi: "kabut merayap seperti ular raksasa", "kegelapan perlahan-lahan melahap kerajaan"
  - Metafora: "pengkhianatan adalah mata uang yang berlaku", "kesetiaan adalah lelucon pahit"
  - Simile: "seperti simfoni kematian", "seperti cermin kehidupan politik"
  - Hiperbola: "darah yang tak pernah kering", "kabut yang menelan setiap jejak cahaya"
3. Citraan (Imagery)
  - Visual: penggambaran kabut, darah, api obor
  - Auditori: gonggongan anjing, bisik-bisik dayang
  - Taktil: angin dingin, genggaman keris
  - Olfaktori: aroma dupa, keringat, dan darah
4. Sudut Pandang
  - Menggunakan sudut pandang orang pertama ("aku") yang memberikan kesan intim dan personal
  - Narator sebagai tokoh utama yang terlibat langsung dalam konflik
5. Kohesi dan Koherensi
  - Penggunaan kata penghubung yang tepat
  - Alur cerita yang mengalir dengan transisi yang halus
  - Pengulangan motif (kabut, pengkhianatan, darah) yang memperkuat kesatuan cerita
6. Unsur Kedaerahan
  - Penggunaan istilah Jawa: "Kakang", "Mpu"
  - Referensi budaya Jawa: keris pusaka, ritual pemujaan
  - Setting historis Majapahit yang kental
7. Makna
  - Denotasi: makna harfiah tentang pembunuhan dan pengkhianatan
  - Konotasi: simbolisme tentang kekuasaan, loyalitas, dan moral
  - Konteks historis dan budaya yang kaya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H