"Tapi kenapa dia membunuh dirinya sendiri?" tanya Pradhabasu.
Kuambil keris Mpu Gandring dari tubuh Kartika, merasakan getaran energi kuno yang mengalir di dalamnya. "Karena ramalan itu benar," jawabku pelan. "Keris ini memang meminta korban terakhirnya---darah keturunan pengkhianat, untuk membersihkan noda masa lalu."
Di ufuk timur, fajar mulai menyingsing. Kabut perlahan-lahan terangkat, membawa pergi kegelapan yang telah menyelimuti Majapahit semalaman. Tapi aku tahu, ini bukanlah akhir. Selama ada kekuasaan, akan selalu ada pengkhianatan. Selama ada tahta, akan selalu ada darah yang tumpah.
Tahun-tahun berlalu sejak malam berdarah itu. Para penulis kronik istana mencatat kejadian itu sebagai "Malam Seribu Kabut" Tetapi mereka tidak pernah tahu kebenaran sepenuhnya. Bagaimana bisa mereka menulis tentang pengkhianatan yang begitu dalam, dendam yang begitu pekat, dan harga kesetiaan yang begitu mahal?
Surat wasiat Mahisa Kingkin dan pengakuan terakhir Kartika Sinumping kusimpan dalam peti rahasia, bersama dengan topeng kayu berukir itu. Suatu hari nanti, ketika waktunya tepat, kebenaran ini akan aku wariskan pada Bhayangkara generasi berikutnya. Agar mereka tahu bahwa dalam permainan kekuasaan, tidak ada yang hitam atau putih. Yang ada hanyalah bayangan-bayangan abu-abu, seperti kabut yang menyelimuti Majapahit malam itu.
Dan aku, Gajah Mada, akan terus berjaga. Karena meski kabut telah terangkat dan darah telah mengering, pengkhianatan baru selalu menunggu untuk lahir. Dalam permainan tahta yang tak berujung ini, kewaspadaan adalah harga dari kedamaian.
Analisis Unsur Kebahasaan
1. Diksi (Pilihan Kata)
  - Penggunaan kata-kata archaic dan bernuansa Jawa kuno: "wasiat", "pusaka", "keris"
  - Diksi yang menciptakan suasana mencekam: "kabut", "gelap", "darah", "pengkhianatan"
  - Pemilihan kata yang menunjukkan status sosial: "Kakang", "sang Ardhanareswari"