Sementara para Bhayangkara berpencar, aku membaca ulang kedua surat wasiat di tanganku. Ada sesuatu yang terlewat, sebuah petunjuk tersembunyi. Mahisa Kingkin tidak pernah melakukan sesuatu tanpa alasan.
Kini tersisa sebelas nama dalam daftar: Lembu Pulung, Panjang Sumprit, Kartika Sinumping, Jayabaya, Pradhabasu, Lembang Laut, Riung Samudra, Gajah Geneng, Gajah Enggon, Macan Liwung, dan Gagak Bongol. Sebelas nama, sebelas kemungkinan pengkhianatan yang menunggu waktu.
"Kakang!" Suara Kartika Sinumping memecah keheningan. "Kami menemukan ini di altar pemujaan."
Di tangannya, sebuah topeng kayu tua dengan ukiran yang sama dengan simbol di surat wasiat. Dan di baliknya, terukir nama yang membuat darahku membeku. Nama yang telah lama terhapus dari sejarah Majapahit, nama yang seharusnya telah mati bersama masa lalu.
Aku menatap kabut yang menari-nari di hadapanku, menyadari bahwa ia seperti cermin kehidupan politik Majapahit--- gelap, berbahaya, dan penuh tipu daya. Di balik setiap sumpah setia tersembunyi belati yang siap menikam. Di balik setiap jabatan tinggi mengalir darah yang tak pernah kering.
"Kumpulkan semua Bhayangkara yang tersisa,"Â perintahku pada Gajah Enggon. "Malam ini, lingkaran pengkhianatan akan kita patahkan. Tapi sebelum itu ...." Aku mengambil pena dan kulit kayu baru. "Ada surat wasiat terakhir yang harus aku tulis."
Karena dalam permainan tahta ini, kematian hanyalah permulaan. Pengkhianatan adalah mata uang yang berlaku, dan kesetiaan adalah lelucon pahit yang dinikmati para dewa. Dan aku, Gajah Mada, akan terus bermain dalam kabut ini, memburu setiap bayangan pengkhianatan hingga ke sudut tergelap Majapahit.
Sementara bulan purnama ke-12 mulai mengintip dari balik kabut yang pekat, aku tersenyum getir. Malam belum akan berakhir, dan darah masih akan banyak tumpah sebelum fajar menyingsing. Karena setiap pengkhianatan selalu membawa harga yang harus dibayar, dan malam ini ... adalah waktu pembayarannya.
Bulan purnama ke-12 akhirnya menampakkan wajahnya sepenuhnya, menembus kabut yang mulai menipis. Di altar pemujaan, kami menemukan jawabannya tubuh Kartika Sinumping tergeletak dengan keris Mpu Gandring menembus dadanya. Di tangannya tergenggam erat sepucuk surat--- pengakuan terakhir yang mengungkap semua.
"Kakang,"Â Gagak Bongol membaca surat itu dengan suara bergetar. "Kartika Sinumping ... dia adalah putra Ra Kuti yang selamat."
Semuanya menjadi jelas sekarang. Dendam yang diwariskan, pengkhianatan yang direncanakan selama bertahun-tahun, dan lingkaran balas dendam yang akhirnya menemukan penutupnya. Kartika Sinumping telah merencanakan semuanya - pembunuhan Klabang Gendis hanyalah pengalihan perhatian dari tujuan utamanya: mencuri keris pusaka untuk ritual balas dendam.