"Ada yang lebih buruk dari pengkhianatan?" tanyaku getir.
"Ya. Segel kamar pusaka rusak. Keris Mpu Gandring ... hilang."
Darahku berdesir. Tembakan yang membunuh Klabang Gendis, dalam kabut setebal ini, hanya mungkin dilakukan oleh segelintir orang. Dan kebanyakan dari mereka adalah Bhayangkara---pasukanku sendiri. Tapi pencurian keris pusaka? Ini lebih dari sekedar pengkhianatan biasa.
"Bukan hanya itu."Â Gagak Bongol menyusul, suaranya sedingin es. "Pembunuh Klabang Gendis juga telah mati. Dipatuk ular berbisa, lalu dicabik-cabik anjing liar. Tapi---"Â Ia terdiam sejenak."Dia salah satu dari kita, Kakang. Seorang Bhayangkara. Dan di tubuhnya, kami menemukan ini."
Gagak Bongol mengulurkan secarik kulit kayu, surat wasiat lain, dengan tulisan yang sama seperti milik Mahisa Kingkin.
"Lingkaran pengkhianatan akan lengkap saat bulan purnama ke-12." Aku membaca tulisan itu perlahan. "Keris suci akan meminta korban terakhirnya, dan tahta akan berganti tangan."
Keheningan yang menyusul lebih pekat dari kabut di sekeliling kami. Dalam benakku berputar wajah-wajah Bhayangkara yang tersisa. Siapa yang telah memilih jalan pengkhianatan? Siapa yang membunuh saudaranya sendiri, hanya untuk mati dengan cara yang begitu hina?
"Kakang," Pradhabasu berbisik tiba-tiba. "Bulan purnama ke-12 ... itu malam ini."
Resolusi
Di bawah naungan kabut yang semakin gelap, aku membuka gulungan kulit berisi daftar nama Bhayangkara. Setiap nama membawa kenangan akan pengkhianatan dan kematian. Panji Saprang yang meregang nyawa di tanganku sendiri dalam terowongan gelap, Risang Panjer Lawang yang tewas dikhianati di Mojoagung, Mahisa Kingkin yang mati sebagai korban fitnah keji, dan Singa Parepen yang berakhir di ujung keris di Bedander.
"Periksa setiap sudut istana,"Â perintahku. "Cari jejak keris itu. Dan bawa padaku catatan kuno tentang ramalan bulan purnama ke-12."