Angin dingin bertiup, membawa aroma yang tak asing ... campuran dupa, keringat, dan ... darah. Aroma yang sama seperti malam ketika Ra Kuti melancarkan kudeta. Instingku menajam. Kabut ini bukan hanya fenomena alam biasa. Ia adalah tirai sempurna untuk sebuah pembunuhan.
"Seperti kisah Calon Arang,"Â gumamku getir sambil menggenggam erat surat wasiat di tanganku. Dulu, si penyihir itu konon menebar kabut tebal pembawa penyakit ke seluruh negeri. Tapi apa yang tidak diceritakan dalam kisah itu? Bagaimana seorang janda berilmu tinggi harus dilenyapkan karena dianggap ancaman bagi kekuasaan. Sejarah selalu ditulis oleh para pemenang, bukan?
Pradhabasu masih berdiri di sampingku, matanya menyipit menembus kabut. "Ada yang aneh dengan penjagaan malam ini, Kakang. Beberapa pos kosong, beberapa penjaga berganti shift terlalu cepat."
"Berapa banyak?"
"Tujuh pos. Semuanya di titik-titik strategis menuju kamar pusaka."
Jantungku berdetak lebih cepat. Tujuh pos. Tujuh pengkhianat dalam barisan Bhayangkara yang tewas. Tujuh simbol dalam surat wasiat Mahisa Kingkin. Ini bukan kebetulan.
Gonggongan anjing terdengar sahut-menyahut dari berbagai penjuru, seperti simfoni kematian yang menunggu waktu. Para prajurit biasa mungkin mengabaikannya sebagai kegelisahan binatang menghadapi kabut. Tetapi aku tahu lebih baik anjing-anjing itu mencium bau pembunuh yang mengendap-endap dalam kegelapan.
"Kakang!" Suara Lembang Laut memecah keheningan. "Jejak darah di koridor timur! Dan ini ...." Ia mengulurkan secarik kain berlumuran darah dengan simbol Bhayangkara.
Belum selesai ia bicara, kilatan anak panah dengan mata khusus menembus kabut, sinyal darurat dari Gajah Enggon. Aku membalas pesan itu dengan anak panahku sendiri, memberinya kode untuk mendekat. Pradhabasu dan Lembang Laut menghunus keris mereka, bersiaga.
Klimaks
"Kakang Gajah." Suara Gajah Enggon terdengar tegang saat ia muncul dari kabut, nafasnya tersengal. "Klabang Gendis tewas. Anak panah menembus tenggorokannya dengan presisi sempurna. Tapi bukan itu yang terburuk ...."