"Bagaiama mungkin? Aku sudah bersiap sejak pukul dua dini hari. Aku ikut mengantre bersama jutaan orang."
       "Ya. Dan apakah sekarang kamu merasa lega sampai di sini?"
Aku menggeleng.
       "Benar. Kamu mengantre bersama jutaan orang di luar sana. Tapi ada bagian penting yang justru kamu lewatkan."
       "Apa?"
       "Menghargai, merasakan, dan menerima proses antreanmu." Dia tersenyum.
       "Kamu menghiraukan orang-orang yang peduli padamu."
       "Saya mengucapkan terima kasih setiap ditolong. Saya juga membantu seseorang dalam antrean." Aku mulai emosi menjawab kalimatnya.
Dia masih tersenyum. "Ya. Benar. Dan kau berharap sesampainya di sini setelah antrean panjang, masalahmu akan selesai, bukan?"
       "Kamu akan merasa seolah semuanya baik-baik saja setelah melewatinya, tapi tanpa penerimaan itu sendiri kamu tidak akan merasa benar-benar lega. Pencapaianmu di titik antrean bukan akhir. Tidak perlu tergesa. Bahkan mungkin perlu beberapa kali antrean lagi, sampai kamu benar-benar mengerti."
Aku keluar ruangan. Aku melihat masih banyak orang yang mengantre. Aku melanjutkan langkah. Mengantre pada urutan berikutnya. Ya, sampai aku benar-benar mengerti proses antreanku.