"Tapi, kenapa? Ada yang salah denganku?"
Tanpa penjelasan yang pasti. Dia langsung bergegas pergi. Kerlap-kerlip lampu jalanan yang biasanya mengisahkan keromantisan, seperti tidak ada artinya malam itu. Ya, segampang itu untuknya.
***
Perempuan itu beruntung sekali. Orang-orang yang cintanya terbalas adalah orang paling beruntung di bumi. Dan orang-orang yang cintanya tidak terbalas adalah orang paling malang seantero jagat raya. Aku, termasuk yang mengisi antero jagat raya dengan kemalangan yang aku punya.
Aku berdiri. Melipat koran yang sobek karena basah keringat. Antrean ini masih panjang. Hatiku krasak-krusuk. Napasku masih memburu. Istirahat tadi sama sekali tidak menenangkan. Sekarang, aku melihat seorang anak kecil sekitar lima tahun sedang bercanda dengan ayah dan ibunya. Anak itu cekikikan ketika mainannya direbut sang ayah, lalu ibunya berhasil merebutnya kembali dan memberikannya kepada anaknya. Aku ikut tertawa menyaksikan pemandangan itu. Setelah aku perhatikan dengan saksama, kaki anak itu tidak normal.
Ayah anak itu, tiba-tiba melihatku yang sedang menatap mereka. Aku langsung mengalihkan pandangan. Ternyata ibu si anak itu berdiri dan menghampiriku, memberikan secuil roti legit. Dia tersenyum ramah sekali.
       "Terima." Aku menerimanya dengan ragu-ragu, lalu mereka bertiga segera berdiri dan mulai mengantre kembali.
       "Terima kasih" ucapku. Entah terdengar atau tidak.
***
Sudah hampir enam jam aku berada di antrean ini. Bau keringat sudah tidak jadi masalah lagi untukku.
Ya Tuhan masih berapa lama lagi? Seperti makan buah simalakama, maju masih panjang, mundur tidak memungkinkan. Lagi-lagi orang kembali mengeluarkan peringainya. Sebentar-bentar terasa reda, tapi tak lama ribut-ribut lagi. Aku melepas kemeja flannelku yang sudah basah sekali oleh keringat. Saat mau memasukkannya ke dalam tas, seseorang merebut topiku. Aku tidak tau siapa pelakunya. Dia seperti langsung tertelan di antara manusia.