Orang sudah berdesak-desakkan dari tadi subuh. Mengenakan pakaiannya yang mereka anggap paling elok dalam almari. Berdandan necis seperti hendak kencan pertama. Dalam antrean, tak sedikit juga yang ku lihat menggendong bayi-bayi mereka, menangis dan sangat rewel. Bagaimana tidak menangis bayi-bayi itu, turut mengantre dalam kumpulan lautan manusia.
Aku meneguk air mineralku yang tinggal separo. Mampus. Beberapa tegukkan lagi, botol kedua ku akan habis. Keringatku bercucuran. Tidak hanya karena panas yang menyengat dan hawa sumuk yang menyelimuti, namun bercampur panik. Kalau air mineralku habis, mati sudah. Aku tidak mungkin keluar antrean ini hanya untuk membeli air mineral. Itu sama saja aku berlaku bodoh karena, sama saja aku akan mengulang antrean dari awal lagi. Entah kapan ujung antrean ini berakhir.
Bruk... "Yeee.., maju dong mbak! Gimana sih?!" Seorang ibu-ibu dengan polesan bibir merah menyala, mendorong bahuku dengan lantang yang mengakibatkan air mineralku tumpah. Badanku bergetar, mataku melotot, dadaku berdebar, tubuhku memberi reaksi seperti air mendidih. Ku tatap lekat-lekat si ibu berpenampilan norak itu. Tanganku mengepal. Dalam bayanganku, seluruh emosiku yang tertanam sejak mengantre akan meluap detik ini juga.
Napasku mulai memburu. Si ibu itu sudah menyalip dua step di depanku. Dengan gaya kemayunya, menyibak-nyibakkan kipas bulu noraknya. Sama noraknya dengan penampilan dan kelakuannya. Aku benar-benar ingin menjambak sanggulnya dari belakang, lalu melayangkan tinju ke wajahnya.
       "Sudah. Ini..."
       "HIH!" Aku melayangkan tinju ke arah wajahnya. Dan seketika aku terkejut bukan kepalang. Seseorang itu memegang pipinya dan mengaduh. "Waduh... maaf-maaf," aku panik. Seluruh mata kini tertuju padaku. Orang itu masih memegang pipinya. Apa tinjuku sebegitu kuatnya? Benar saja, ujung bibirnya mengeluarkan darah.
       "Eh... jangan pake lengan. Aku punya tisu." Mungkin ini bisa menjadi langkah awal sebagai bentuk tanggung jawabku yang sudah meninjunya. "Maaf-maaf. Tadi saya reflek."
       "Mana ada reflek. Muka mu merah seperti kepiting rebus busuk." Bola mataku melebar. Sialan nih orang. "Untung saya yang jadi sasaran, coba kalau orang lain. Bisa jadi kepiting rebus beneran kamu. Diamuk massa."
       "Iya. Saya minta maaf. Ya lagian, ibu-ibu tadi rese. Air minum saya kan jadi tumpah."
       "Tadi sih niatnya mau ngasih minuman. Eh... nggak tahunya malah ditonjok. Yaudah deh nggak jadi, udah nggak mood."
       "Terima kasih tisunya." Dia lantas mengambalikannya padaku dan berjalan satu step menyalip seseorang di depanku. Tubuhnya tinggi. Tidak kurus dan tidak gendut. Aku menatap punggungnya yang dibasahi keringat. "Besok-besok lagi, lebih dikontrol amarahnya, semua orang di sini sama denganmu. Juga punya rasa capek." Aku mendelik. Dia tiba-tiba berbalik menghadap belakang, dan membisikkan kalimat tadi di telingaku. Ternyata dia tersalip beberapa orang sehingga posisinya kini cukup dekat denganku.
Dia terlihat sesekali menatap ke arahku. Kini posisinya sudah berada di depan. Terhalang dua orang kali ini. Matahari semakin ganas. Antreannya masih sangat panjang. Satu-satunya cara menghalau haus adalah menelan ludahku sendiri. Perutku juga sudah mulai keroncongan. Haduh.
Aku merogoh tas ranselku, mencari topi untuk melindungi kepala ku yang mulai terbakar matahari. Saat ku raba, aku menemukan benda asing di dalamnya. Sekaleng minuman rasa jeruk. Ku keluarkan benda itu, benar ini kaleng minuman utuh masih tersegel. Seketika aku mengulum senyum.
       "Haha dasar orang aneh." Tanpa pikir panjang aku langsung meneguknya. Tidak berhemat-hemat. Persetan. Aku haus sekali. Ya, minuman ini selain menghilangkan dahaga juga menurunkan kadar emosiku karena ibu-ibu tadi.
***
Semua orang sudah tampak kelelahan dalam antrean ini. Napasku juga sudah sepenggal-penggal. Beberapa di antaranya memilih untuk duduk ala kadarnya, dan rela diserobot antreannya. Mungkin sudah benar-benar kehabisan energi. Tubuhku juga sudah memberikan sinyal harus beristirahat. Tapi, masih kuurungkan niat itu. Kalau aku duduk, maka akan tersalip orang lain dan itu akan mengakibatkan antreanku semakin panjang.
Tenang... Sabar... Kuasai... ucapku berulang-ulang. Dalam situasi seperti ini, orang-orang menunjukkan peringainya dan keegoisan untuk diri sendiri semakin terasa. Di sebelah kanan, ada yang ribut berebut sepotong roti. Di depan, anak kecil dan bayi-bayi semakin menjerit-jerit. Di belakang, seruan minta tolong terus terdengar, berharap belas kasihan siapa saja.
Tenang...Sabar...Kuasai... ucapku berulang-ulang. Napasku semakin pendek. Tubuhku bergetar. Keringatku membasahi separuh kemeja flanelku. Aku tidak punya apa-apa lagi. Tidak ada roti-tidak ada kaleng minuman. Mataku mulai berkunang-kunang.
       "Neng, duduk saja." Seorang kakek-kakek di sebelah kiriku. "Pakai ini."
       "Terima kasih, kek." Aku menerima koran itu lalu segera duduk. Ku pijat kedua keningku yang pening sekali. Di depanku, seorang pasangan muda-mudi juga tengah duduk. Si perempuan bergelendotan manja, si cowok dengan kelembutannya membelai rambut perempuan itu. Seketika aku teringat puzzle-puzzle kisah romansa milikku sendiri.
***
       "Aku mau putus."
       "Tapi, kenapa? Ada yang salah denganku?"
Tanpa penjelasan yang pasti. Dia langsung bergegas pergi. Kerlap-kerlip lampu jalanan yang biasanya mengisahkan keromantisan, seperti tidak ada artinya malam itu. Ya, segampang itu untuknya.
***
Perempuan itu beruntung sekali. Orang-orang yang cintanya terbalas adalah orang paling beruntung di bumi. Dan orang-orang yang cintanya tidak terbalas adalah orang paling malang seantero jagat raya. Aku, termasuk yang mengisi antero jagat raya dengan kemalangan yang aku punya.
Aku berdiri. Melipat koran yang sobek karena basah keringat. Antrean ini masih panjang. Hatiku krasak-krusuk. Napasku masih memburu. Istirahat tadi sama sekali tidak menenangkan. Sekarang, aku melihat seorang anak kecil sekitar lima tahun sedang bercanda dengan ayah dan ibunya. Anak itu cekikikan ketika mainannya direbut sang ayah, lalu ibunya berhasil merebutnya kembali dan memberikannya kepada anaknya. Aku ikut tertawa menyaksikan pemandangan itu. Setelah aku perhatikan dengan saksama, kaki anak itu tidak normal.
Ayah anak itu, tiba-tiba melihatku yang sedang menatap mereka. Aku langsung mengalihkan pandangan. Ternyata ibu si anak itu berdiri dan menghampiriku, memberikan secuil roti legit. Dia tersenyum ramah sekali.
       "Terima." Aku menerimanya dengan ragu-ragu, lalu mereka bertiga segera berdiri dan mulai mengantre kembali.
       "Terima kasih" ucapku. Entah terdengar atau tidak.
***
Sudah hampir enam jam aku berada di antrean ini. Bau keringat sudah tidak jadi masalah lagi untukku.
Ya Tuhan masih berapa lama lagi? Seperti makan buah simalakama, maju masih panjang, mundur tidak memungkinkan. Lagi-lagi orang kembali mengeluarkan peringainya. Sebentar-bentar terasa reda, tapi tak lama ribut-ribut lagi. Aku melepas kemeja flannelku yang sudah basah sekali oleh keringat. Saat mau memasukkannya ke dalam tas, seseorang merebut topiku. Aku tidak tau siapa pelakunya. Dia seperti langsung tertelan di antara manusia.
       "WOY ANJING!!!!!"
Amarahku kembali meledak-ledak. Semburan sinar matahari semakin terasa menyengat, malah sedang berada dipuncak. Sialan. Anak setan. Makian dan sumpah serapah keluar dari mulutku. Napasku terus memburu. Kepalaku nyut-nyutan. Aku bertambah emosi, pada orang di depanku yang mengenakan payung dan menyenggol-nyenggol wajahku.
Tubuhku semakin didesak-desak. Tergeser ke kanan, ke kiri, terdorong ke depan, tasku ditarik mundur. Orang-orang sialan. Aku kali ini tidak mau kalah, aku menguatkan kedua tanganku, ikut mendorong dalam antrean. Persetan.
***
       "Maju goblok!"
       "WOIIII!!!"
       "Mbak kasihani mbak."
       "Mas tolong bawakan ini sebentar."
       "Pak, apa boleh bagi seteguk saja?"
       "Bu jangan geser-geser, kaki bapak ini terinjak."
***
Tubuhku seperti melayang. Aku tidak peduli didorong ke depan, belakang, kiri, kanan. Aku seperti zombie dalam antrean. Tatapanku kosong. Terserah arah antrean ini mau membawaku kemana. Aku tidak peduli.
Jutaan orang tumpah ruah dalam antrean ini. Membawa tujuan dan latar belakangnya. Ada yang mengantre bersama keluarga cemaranya. Ada yang mengantre dengan sahabat-sahabat karibnya. Ada yang mengantre dengan kekasih hatinya. Ada yang sendirian. Ada yang mendapat kenalan. Ada yang menolong. Ada yang ditolong. Ada yang mencuri. Ada yang memberi. Ada yang menangis. Ada yang tertawa.
Sekarang, aku merasa sangat kosong dalam antrean ini. Semua ambisi yang aku bawa, emosi yang meletup-letup seakan hilang menguap begitu saja. Tidak ada lagi celetukkan, "aku pasti bisa meraih itu," "akan kutunjukkan pada siapapun yang meremehkanku," "aku marah," "aku kecewa," "aku iri," "Tuhan mau apa?" "Tuhan aku capek?" "Tuhan kenapa harus saya?"
Langkah kaki dalam antrean ini mengambang. Mengikuti arus. Tanpa emosi berarti yang dirasakan.
***
Terik matahari mulai redup. Aku masih sama. Langkah kaki mengambang. Mengikuti arus. Tanpa emosi berarti yang dirasakan. Namun, tiba-tiba langkahku terhenti. Seorang ibu dengan bayinya yang ia dekap, tertendang-tendang rombongan yang melangkah kasar. Aku berdiri tepat di hadapan ibu-anak itu. Menjadi tameng si rombongan kasar. Ibu itu mendongak. Air matanya bercucuran. Menganggukkan kepala sebagai ucapan terima kasih. Aku tersenyum. Mulai melanjutkan langkah dalam antrean.
Aku masih mengantre. Masih sama. Langkah kaki mengambang. Mengikuti arus. Tanpa emosi berarti yang dirasakan. Begitu terus sampai hari melenggang malam. Nampaknya, antrean tidak sesesak tadi tengah hari. Kurasakan napasku mulai sedikit lega. Aku mengamati sekitar. Orang-orang juga tidak serusuh tadi, mereka justru beristirahat seperti orang piknik.
Ujung antrean ini sudah mulai terlihat. Aku istirahat sebentar. Meluruskan kaki. Ada yang terasa aneh. Tapi, aku sendiri tidak tahu apa. Aku mengambil kemeja flannelku untuk menutupi wajahku. Aku menangis. Ya, malam itu aku menangis.
***
Aku sudah tiba. Ini giliranku. Aku berada di sebuah ruangan dengan tembok berwarna kuning memudar. Aku langsung duduk di karpet hijau itu. Menarik napasku dalam-dalam. Menghembuskannya. Kuulangi berkali-kali. Terdengar suara langkah kaki dari belakangku. Aku sudah bisa menebakknya siapa itu.
       "Kamu terburu-buru sekali anak manis. Sangat berambisi."
       "Bagaiama mungkin? Aku sudah bersiap sejak pukul dua dini hari. Aku ikut mengantre bersama jutaan orang."
       "Ya. Dan apakah sekarang kamu merasa lega sampai di sini?"
Aku menggeleng.
       "Benar. Kamu mengantre bersama jutaan orang di luar sana. Tapi ada bagian penting yang justru kamu lewatkan."
       "Apa?"
       "Menghargai, merasakan, dan menerima proses antreanmu." Dia tersenyum.
       "Kamu menghiraukan orang-orang yang peduli padamu."
       "Saya mengucapkan terima kasih setiap ditolong. Saya juga membantu seseorang dalam antrean." Aku mulai emosi menjawab kalimatnya.
Dia masih tersenyum. "Ya. Benar. Dan kau berharap sesampainya di sini setelah antrean panjang, masalahmu akan selesai, bukan?"
       "Kamu akan merasa seolah semuanya baik-baik saja setelah melewatinya, tapi tanpa penerimaan itu sendiri kamu tidak akan merasa benar-benar lega. Pencapaianmu di titik antrean bukan akhir. Tidak perlu tergesa. Bahkan mungkin perlu beberapa kali antrean lagi, sampai kamu benar-benar mengerti."
Aku keluar ruangan. Aku melihat masih banyak orang yang mengantre. Aku melanjutkan langkah. Mengantre pada urutan berikutnya. Ya, sampai aku benar-benar mengerti proses antreanku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H