Motif yang hampir serupa juga terjadi di kalangan missionaris. Jurnal The Muslim World yang diterbitkan oleh Michael Zwemmer tahun 1920, misalnya pada mulanya terang-terangan untuk media informasi bagi para missionaris tentang Islam dan dunia Islam. Tapi kemudian menjadi jurnal kajian Islam yang serius dan ilmiah, meskipun tetap menggunakan framework yang sama. Montgomery Watt yang dianggap orientalis moderat misalnya, ketika menulis al-Qur'an dan Sunnah mencoba meragukan otentisitas ajaran Islam. Ia mencoba membuktikan bahwa beberapa bagian al-Qur'an dan Hadis itu dibuat-buat dan tidak konsisten, dan karena itu tidak bisa dijadikan sumber pandangan hidup Islam. Ia bahkan mencurigai adanya ayat-ayat setan dalam al-Qur'an. Inilah contoh bias orientalis yang paling nyata. Kajian orientalis terhadap Hadis yang juga bias itu misalnya dapat ditemui dalam metodologi Harald Motzki dalam mengkaji hadis Sahifah Hammam Ibn Munabbih. Motzki yang dianggap objektif itu ternyata juga ambigu. Ia seakan-akan mengkritik metode kajian Joseph Schacht, namun sejatinya tidak beda dan tetap mempertahankan sikap orientalismenya.
Jadi, orientalisme yang dikenal saat ini sebagai suatu tradisi kajian ilmiah tentang Islam, sejatinya adalah berdasarkan pada 'kaca mata' dan pengalaman manusia Barat yang dipicu oleh motif dan semangat missionaris. Tapi motivasi ini ditutupi dengan jubah intelektualisme dan dedikasi akademik. Tidak heran jika orientalis kemudian dianggap memiliki disiplin dan sikap ilmiah yang khas, bahkan menjadi sebuah framework pengkajian. Meskipun ilmiah, tapi jika cara pandang dan tujuannya diwarnai oleh latar belakang agama dan politik serta worldview Barat atau nilai-nilai peradaban Barat, kajian mereka itu lebih cenderung salah. Ini juga membuktikan bahwa ilmu memang tidak bebas nilai.
Oleh sebab itu menganggap orientalis di masa kini objektif dan ilmiah hanya benar dipermukaannya. Kajian akademis dan ilmiah terhadapnya membuktikan sebaliknya. Cara pandang mereka terhadap Nabi, al-Qur'an dan Islam sebagai agama masih tidak bisa lepas bebas dari pengaruh pendahulunya. Dan orientalis terdahulu itu diwarnai oleh pengalaman manusia Barat. Perlu disadari bahwa kajian outsider tentang suatu agama dan peradaban, termasuk Islam, betapapun objektif dan akademisnya, ia tetap saja menyisakan bias A.L. Tibawi penulis buku English Speaking Orientalists, menyimpulkan bahwa ketika para orientalis ahli polemik periode awal terlibat dalam penghinaan dan penafsiran yang salah tentang Islam, tujuan mereka hanyalah destruktif. Tapi setelah adanya motif missionaris mereka mulai menggunakan pendekatan obyektif. Metodenya merupakan campuran antara penghinaan dan pengungkapan halhal negatif tentang Islam, namun dengan menggunakan fakta-fakta yang solid, tapi tetap dipahami dalam perspektif Kristen. Metode yang pertama telah ditinggalkan sedangkan metode yang kedua menjadi lemah atau diberi baju baru. Tapi yang aneh adalah ketika para orientalis itu gencar menyarankan, mendorong dan bahkan memprovokasi agar Islam itu direformasi.
Kajian dan sekaligus serangan orientalis terhadap Islam dan sejarahnya memang sangat canggih dan subtil sehingga pembaca awam, alias bukan pakar tidak mudah untuk membongkar implikasi-implikasi negatifnya. Pernyataan mereka itu umumnya berdasarkan spekulasi, bahkan manipulasi sumber data dan seringkali bersikap selektif terhadap data-data sejarah dengan tujuan dan kepentingan tertentu.
Selain dari itu, ciri-ciri kajian orientalis adalah parsial, artinya jika mereka mengkaji suatu bidang tertentu, mereka melewatkan bidang kajian yang lain. Orientalis ahli Fiqih melontarkan kritik kritik yang tidak dikaitkan dengan Kalam misalnya, kritik dalm bidang filsafat tidak dikaitkan dengan aqidah, kritik dan kajian alQur'an tanpa disertai ilmu tafsir, bahkan tidak aneh jika para orientalis mengkaji al-Qur'an dengan metodologi Bibel, mengkaji politik Islam dalam perspektif politik Barat sekuler. Dan yang pasti disiplin ilmu pengetahuan dalam Islam itu tidak dikaji dengan framework pandangan hidup Islam, tapi Barat.
Meski telah banyak kajian tentang orientalisme, tapi dalam perkembangan pemikiran akhir-akhir ini, tema orientalisme ini menjadi semakin relevan untuk diangkat kembali. Sebab kini mengadopsi pandangan, framework dan kritik-kritik para orientalis tentang Islam menjadi tren di kalangan sementara cendekiawan Muslim. Nampaknya, mereka berpikiran bahwa dengan cara itu mereka bisa mengambil jalan pintas untuk reformasi, pembaruan atau liberalisasi pemikiran Islam. Bagi masyarakat awam atau ulama tradisional, pemikiran hasil adopsi itu nampak baru, karena tidak pernah ada dalam khazanah intelektual Islam. Padahal, sifat barunya tidak mempunyai unsur tajdid, karena terlepas dari fondasi asalnya (wahyu) dan bahkan seringkali berseberangan. Mungkin mereka telah gagal menyelami khazanah intelektual Islam secara komprehensif, kreatif, dan apresiatif sehingga kehilangan daya kritis mereka terhadap orientalis dan Barat.
Orientalisme adalah suatu cara pandang orang Barat terhadap bangsa selain Barat. Bangsa-bangsa selain Barat itu -- yakni bangsabangsa Timur Tengah dan Asia - dilihat dengan kacamata rasial yang penuh prasangka. Bangsa-bangsa Timur dianggap mundur dan tidak sadar akan sejarah dan kebudayaan mereka sendiri. Untuk itu Barat kemudian membantu membuat kajian tentang konsep-konsep kebudayaan, sejarah, dan juga agama-agama dan bangsa-bangsa Timur. Sudah tentu prinsip, metode dan pendekatan kajian ini khas Barat. Namun, kajian ini tidak murni kajian keilmuan, tapi kajian yang dimanfaatkan untuk proyek missionaris Kristen dan imperialisme Barat ke Negara-negara Timur.
b. Missionaris
Dalam agama Kristen sebenarnya terdapat dua istilah khusus dalam penyiaran agama. Pertama, kata missi yang diindonesiakan menjadi misi, artinya: "urusan penyiaran agama Katolik", atau penyebaran Kabar Gembira (Injil) dan mendirikan jemaat-jemaat setempat yang dilakukan atas dasar pengutusan sebagai kelanjutan misi Kristus. Kedua, kata Zending, artinya perka-baran Injil, usaha-usaha menyebarkan agama Protestan. Dengan demikian kedua kata tersebut sama maknanya, tetapi berbeda pemakaiannya Misi untuk penyiaran Katolik, sedangkan Zending untuk penyiaran  Protestan. Itulah terma awal dari masing-masing agama. Akan tetapi dalam pemakaian secara umum, untuk menyebut kegiatan penyiaran kedua agama tersebut, lebih lazim dipakai istilah Misi. Maka untuk uraian selanjutnya dalam bab ini, pemakaian kata Misi Kristen juga ditujukan untuk kedua agama tersebut, yakni Kristen Protestan dan Katolik.
Ketika Barat masuk ke negara-negara Islam ia membawa serta misi agama, politik, ekonomi dan kebudayaan. Namun tidak banyak yang melihat bahwa Barat itu sendiri telah membawa seperangkat doktrin pemikiran yang berdasarkan pandangan hidup mereka. Hal ini dapat dicermati dari fakta sejarah bahwa gerakan kolonialisme selalu disertai atau bahkan didahului oleh kegiatan missionaris Kristen yang berkaitan dengan orientalisme. Keduanya tidak lain dari aktivitas untuk mempengaruhi cara berfikir. Kerjasama missionaris, orientalis dan kolonialis ini telah lama terjadi dan dapat dibuktikan melalui pengakuan Alb C. Kruyt (tokoh Nederlands bijbelgenootschap) dan OJH Graaf van Limburg Stirum.
Peran Snough Hurgronye sebagai orientalis dalam memuluskan penjajahan Belanda di Indonesia merupakan bukti kongkret kerjasama antara orientalisme, missionarisme dan kolonialisme Barat. Targetnya lagi-lagi berkaitan dengan pemikiran, yaitu untuk meru bah cara berpikir umat Islam. Proyek missionaris yang menonjol adalah penghancuran pemikiran umat Islam. Strategi ini telah lama diikrarkan oleh Samuel Zwemmer seorang orientalis Yahudi yang menjabat direktur organisasi misionaris dan yang juga pendiri Jurnal the Muslim World. Pada tahun 1935 pada Konferensi Misionaris di Kota Yerussalem Zwemmer mengatakan bahwa: Misi utama kita sebagai orang Kristen bukan menghancurkan kaum Muslimin, namun mengeluarkan seorang Muslim dari Islam, agar jadi orang Muslim yang tidak berakhlak. Dengan begitu akan membuka pintu bagi kemenangan imperialis di negeri-negeri Islam. Tujuan kalian adalah mempersiapkan generasi baru yang jauh dari Islam. Generasi Muslim yang sesuai dengan kehendak kaum penjajah, generasi yang malas, dan hanya mengejar kepuasan hawa nafsunya. Di mata rantai kebudayaan Barat, gerakan misi punya dua tugas: menghancurkan peradaban lawan (baca: peradaban Islam) dan membina kembali dalam bentuk peradaban Barat. Ini perlu dilakukan agar Muslim dapat berdiri pada barisan budaya Barat akhirnya muncul generasi Muslim yang memusuhi agamanya sendiri.