Jika ditilik dari perkembangannya liberalisme secara umum memiliki dua aliran utama yang saling bersaing dalam menggunakan sebutan liberal. Yang pertama adalah liberal classic atau early liberalism yang kemudian menjadi liberal ekonomi yang menekankan pada kebebasan dalam usaha individu, dalam hak memiliki kekayaan, dalam polesi ekonomi dan kebebasan melakukan kontrak serta menentang sistem welfare state. Kelompok ini mendukung persamaan (equality) di depan hukum tapi tidak dalam ekonomi (economic inequality) karena distribusi kekayaan oleh negara tidak menjamin kemakmuran. Persaingan dalam pasar bebas menurut kelompok ini lebih menjamin.
Yang kedua adalah liberal sosial. Aliran ini menekankan peran negara yang lebih besar untuk membela hak-hak individu dalam pengertian yang luas, seringkali dalam bentuk hukum anti- diskriminasi. Kelompok ini mendukung pendidikan bebas untuk umum (universal education), dan kesejahteraan rakyat, termasuk jaminan bagi penganggur, perumahan bagi tunawisma dan perawatan kesehatan bagi yang sakit, semua itu didukung oleh sistem perpajakan. Dengan kata lain liberalisme awal lebih menekankan pada hak-hak ekonomi dan politik.
Liberal dalam konteks kebebasan intelektual berarti independen secara intelektual, berpikiran luas, terus terang, dan terbuka. Kebebasan intelektual sejatinya berkembang sejalan dengan perkembangan liberalisme sosial dan politik yang terjadi di Barat pada akhir abad ke 18, namun akar-akarnya dapat dilacak seabad sebelumnya yaitu abad ke 17. Di masa itu dunia Barat terobsesi untuk membebaskan bidang intelektual, keagamaan, politik dan ekonomi dari tatanan moral, supernatural dan bahkan Tuhan. Maka dari itu prinsip-prinsip Revolusi Perancis 1789 dianggap sebagai Magna Charta liberalisme. Di dalamnya terdapat kebebasan mutlak dalam pemikiran, agama, etika, kepecayaan, berbicara, pers dan politik. Konsekuensinya adalah penghapusan hak-hak Tuhan dan segala otoritas yang diperoleh dari Tuhan; penyingkiran agama dari kehidupan publik menjadi bersifat individual. Selain itu agama Kristen dan Gereja harus dihindarkan agar tidak menjadi lembaga hukum ataupun sosial. Yang jelas liberalisme mengindikasikan pengingkaran terhadap semua otoritas yang sesungguhnya, sebab otoritas dalam pandangan liberal menunjukkan adanya kekuatan di luar dan di atas manusia yang mengikatnya secara moral.
Kebebasan intelektual yang mencoba untuk bebas dari agama dan dari Tuhan itu secara logis merupakan liberalisme dalam pemikiran keagamaan dan itulah yang pertamakali dirasakan oleh agama-agama di Barat. Liberalisme dalam pemikiran keagamaan atau yang terkenal dengan theological liberalism berkembang melalui tiga fase perkembangan. Fase pertama dari abad ke 17 yang dimotori oleh filsuf Perancis Rene Descartes yang mempromosikan doktrin rasionalisme atau Enlightenment yang berakhir pada pertengahan abad ke 18. Doktrin utamanya adalah percaya pada akal manusia, keutamaan individu, imanensi Tuhan dan dan meliorisme (percaya bahwa manusia itu berkembang dan dapat dikembangkan). Fase kedua bermula pada akhir abad ke 18 dengan doktrin Romanticisme yang menekankan pada individualisme, artinya individu dapat menjadi sumber nilai. Kesadaran-diri itu dalam pengertian religious dapat menjadi Kesadaran-Tuhan. Tokohnya adalah Jean-Jacques, Immanuel Kant, dan Friedrich Schleiermacher.
Fase terakhir bermula pada pertengahan abad ke 19 hingga abad ke 20 ditandai dengan semangat modernisme dan postmodernisme yang menekankan pada ide tentang perkembangan. Agama kemudian diletakkan sebagai sesuatu yang berkembang progressif dan disesuaikan dengan ilmu pengetahuan modern serta diharapkan dapat merespon isu-isu yang diangkat oleh kultur modern. Itulah sebabnya maka kajian mengenai doktrin- doktrin Kristen kemudian berubah bentuk menjadi kajian psikologis pengalaman keagamaan, kajian sosiologis lembaga-lembaga dan tradisi keagamaan, kajian filosofis tentang pengetahuan dan nilai-nilai keagamaan.
Sementara itu, pada abad ke-19 , liberalisme dalam pemikiran keagamaan Katolik Roma mengambil bentuk yang mendukung demokrasi politik dan reformasi tetapi secara teologis menganut ortodoksi. Sedangkan dalam pemikiran Kristen Protestan, terdapat kecenderungan terhadap kebebasan intelektual yang menempatkan substansi etis dan kemanusiaan Kristen serta mereduksinya menjadi teologi dogmatis.
Ketika liberalisme memasuki pemikiran keagamaan, banyak konsep dasar kekristenan yang berubah. Nicholas F. Gier, dari University of Idaho, Moscow, Idaho merangkum ciri-ciri pemikiran tokoh-tokoh liberal di Amerika Serikat sebagai: Pertama, percaya pada Tuhan, tetapi bukan Tuhan dalam kepercayaan Kristen ortodoks. Karena Tuhan mereka tidak orthodok maka mereka seringkali disebut Atheis. Ciri-ciri Tuhan menurut kitab suci dan doktrin sebagai pribadi dengan ciri-ciri tertentu adalah oleh kelompok liberal karena mereka lebih menyukai konsep ketuhanan yang diambil dari akal manusia. Tuhan dalam kepercayaan ini dianggap tidak mengetahui kehidupan manusia secara detail dan tidak mencampuri urusan individu nanusia. Kedua, kaum liberal memisahkan antara doktrin Kristen dan etika Kristen. Dengan mengurangi penekanan pada doktrin atau mereka menganut prinsip bahwa orang Kristen dan non-Kristen menerima dan saling menguntungkan.
Ketiga, kaum liberal tidak ada yang percaya pada doktrin Kristen Orthodok. Mereka menolak sebagian atau keseluruhan doktrin-doktrin Trinitas, ketuhanan Yesus, perawan yang melahirkan, Bible sebagai kata-kata Tuhan secara literal, takdir, neraka, setan dan penciptaan dari tiada. Doktrin satu-satunya yang mereka percaya, selain percaya akan adanya Tuhan adalah keabadian jiwa. Keempat, menerima secara mutlak pemisahan gereja dan negara. Para pendiri negara Amerika menyadari akibat dari pemerintahan negara-negara Eropa yang memaksakan doktrin suatu agama dan menekan agama lain. Maka dari itu kata-kata "Tuhan" dan "Kristen" tidak terdapat dalam undang-undang. Ini tidak lepas dari pengaruh tokoh-tokoh agama liberal dalam konvensi konstitusi tahun 1787. Kelima, percaya penuh pada kebebasan dan toleransi beragama.
Dengan demikian, liberalisme sosial dan politik dalam peradaban meminggirkan agama atau secara perlahan memisahkan agama dari urusan sosial dan politik. Agama tidak diberi tempat di atas kepentingan sosial dan politik. Dan ketika liberalisme memasuki pemikiran keagamaan Kristen Katolik dan Protestan, ia telah menundukkan Gereja pada kekuatan politik dan humanisme, serta mereduksi kekuatan teologi di semua bidang. Oleh karena itu, dalam liberalisme pemikiran keagamaan, pertanyaan pertama yang harus diinterogasi adalah konsep Tuhan, doktrin atau dogma agama. Setelah itu, liberalisme mempersoalkan dan kemudian memisahkan hubungan agama dari politik. Terakhir, liberalisme pemikiran keagamaan menjadi dan dipicu oleh gelombang postmodernisme yang membela pluralisme, kesetaraan dan relativisme.
C. Ciri-ciri Liberalisme Keagamaan
Liberalisme keagamaan adalah sebuah konsepsi agama (atau agama tertentu) yang mendorong kebebasan pribadi dan kelompok dan rasionalitas. Ini adalah sebuah sikap terhadap agama orang itu sendiri (berbeda dengan kritik agama dari posisi sekuler, dan berbeda dengan kritik agama selain agama orang itu sendiri) yang berseberangan dengan pandangan tradisionalis atau ortodoks, dan secara langsung berlawanan dengan tren fundamentalisme agama. Ini berkaitan dengan kebebasan beragama, yang merupakan toleransi terhadap keyakinan dan praktek agama berbeda, namun tak semua promoter kebebasan beragama sepakat dengan liberalisme agama, dan begitupun sebaliknya.