Tantangan yang dihadapi umat Islam dewasa ini sebenarnya bukan berupa ekonomi, politik, sosial dan budaya, tapi tantangan pemikiran. Sebab persoalan yang ditimbulkan oleh bidang-bidang eknomi, politik, sosial dan budaya ternyata bersumber dari pemikiran. Dan dari antara tantangan pemikiran yang paling serius saat ini adalah di bidang pemikiran keagamaan. Tantangan yang telah lama kita sadari adalah tantangan internal yang berupa kejumudan, fanatisme, taklid, bid'ah, khurafat dan sebagainya. Sedangkan tantangan eksternal yang sedang kita hadapi sekarang ini adalah masuknya paham liberalisme, sekulerisme, pluralisme agama, relativisme dan lain sebagainya ke dalam wacana pemikiran keagamaan. Makalah ini membahas tantangan eksternal dengan memfokuskan pada makna liberalisasi pemikiran Islam dalam konteks liberalisasi dalam berbagai bidang yang diprakarsai oleh misionarisme, kolonialisme dan orientalisme Barat.
Sebagai akibatnya adalah lambatnya proses ijtihad umat Islam dalam merespon berbagai tantangan kontemporer, lambatnya perkembangan ilmu pengetahuan Islam dan pesatnya perkembangan aktivisme. Sedangkan tantangan eksternal adalah masuknya paham, konsep, sistem dan cara pandang asing seperti liberalisme, sekularisme, pluralisme agama, relativisme, feminism, gender dan lain sebagainya ke dalam wacana pemikiran keagamaan Islam. Sebagai akibat tantangan eksternal yang berupa percampuran konsep-konsep asing ke dalam pemikiran dan kehidupan umat Islam adalah kerancuan berpikir dan kebingunan intelektual. Mereka yang terhegemoni oleh framework yang tidak sejalan dengan Islam ini, misalnya, akan melihat Islam dengan kaca mata sekuler, liberal dan relativistik.
Dampak lebih konkret dari kedua tantangan internal dan eksternal tersebut termanifestasikan ke dalam problem pengembangan sistem ekonomi Islam. Di satu sisi umat Islam kekurangan ulama pakar syariah yang bergiat mengembangkan konsep-konsep ekonomi syariah tapi juga memahami ekonomi kontemporer. Di sisi lain ilmuwan Muslim kini kebanyakan telah diajari disiplin ilmu dan praktik ekonomi konvensional sehingga menolak syariah. Sementara itu praktik-praktik perbankan syariah, takaful, bursa syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya tidak berdasarkan pada kajian ilmiah akademik dan metodologis di tingkat perguruan tinggi. Sebaliknya kajian ekonomi Islam di perguruan tinggi tidak berkembang sepesat praktik-praktik ekonomi perbankan.
Jadi untuk mengembangkan sistem ekonomi Islam umat Islam terhadang oleh kondisi internal umat dan juga tantangan eksternalnya. Dari kedua tantangan tersebut yang akan dibahas di sini hanya tantangan eksternal umat Islam, khususnya tantangan liberalisasi pemikiran umat Islam. Tantangan yang kini sangat gencar disebarkan melalui berbagai media komunikasi dan pendidikan itu ternyata tidak berdiri sendiri. Ia menemukan momentum dan aksentuasinya setelah terjadi drama tragedi 11 September 2001. Sebab saat itulah postmodernisme dan liberalisme menemukan rival sejatinya yaitu fundamentalisme, relativisme menghadapi lawannya yakni absolutisme. Jalan atau cara-cara yang ditempuh untuk penyebaran paham-paham itu adalah misionarisme, orientalisme, dan kolonialisme.
A. Barat dan Islam
Sebelum membahas liberalisme dan liberalisasi ada baiknya dipaparkan hakekat Barat yang menjadi sumbernya dan pada saat yang sama dibandingkan dengan Islam yang menjadi obyek liberalisasi. Barat merupakan peradaban yang tumbuh dan berkembang dari kombinasi beberapa unsur yaitu filsafat, nilai-nilai kuno Yunani dan Romawi, agama Yahudi dan Kristen yang dimodifikasi oleh bangsa Eropa. Asas peradabannya adalah rasio dan spekulasi filosofis, bukan suatu agama, pendekatannya dikotomis, sifatnya rasionalitas, terbuka dan selalu berubah, makna realitas dan kebenaran hanyalah terbatas pada realitas sosial, kultural, empiris dan melulu bersifat rasional. Sedangkan Islam bersumberkan pada wahyu hadist, akal, pengalaman dan intuisi. Pendekatannya tidak dikotomis tapi tauhidi. Sedangkan makna realitas dan kebenaran berdasarkan kajian metafisis dengan bantuan wahyu.
Identitas peradaban Barat dapat dilihat dari dua periode penting di dalamnya yaitu modernisme dan postmodernisme. Ringkasnya modernisme adalah paham yang muncul menjelang kebangkitan masyarakat Barat dari abad kegelapan kepada abad pencerahan, abad industri dan abad ilmu pengetahuan. Zaman itu pun disebut dengan zaman modern. Ciri-ciri zaman modern adalah berkembangnya pandangan hidup saintifik yang diwarnai oleh paham sekulerisme, rasionalisme, empirisme, cara befikir dikotomis, desakralisasi, pragmatisme dan penafian kebenaran metafisis (baca: Agama). Sedangkan postmodernisme adalah gerakan pemikiran yang lahir sebagi protes terhadap modernisme ataupun sebagai kelanjutannya. Sebab postmodernisme sedikit banyak masih berpijak pada modernisme, yang didominasi oleh paham atau pemikiran liberalisme, pluralisme, nihilisme, relativisme, persamaan dan umumnya anti-worldview. John Lock, salah seorang filosof Barat modern menegaskan bahwa liberalisme, rasionalisme, kebebasan, dan persamaan (pluralisme) adalah inti modernisme.
Periode modern dan postmodern tidak terdapat dalam sejarah intelektual dan peradaban Islam. Pandangan Barat seperti sekulerisme, rasionalisme, empirisme, desakralisasi, pragmatisme, pluralisme, persamaan dan lain sebagainya juga tidak terdapat dalam tradisi intelektual Islam, bahkan paham-paham itu jika dikaji secara teliti bertentangan dengan Islam. Hasil penelitian kumulatif terhadap lebih dari 70 negara yang dianggap mewakili 80 persen penduduk dunia yang dilakukan World Value Survey (WVS) pada tahun 1995-1996 dan 2000-2001, membuktikan bahwa Islam dan Barat memiliki perbedaan nilai yang tajam. Hasil penelitian juga membuktikan bahwa kultur adalah penyebab perbedaan.
Lebih detail lagi mengenai apa yang disebut kultur sebaiknya kita rujuk paparan Huntington mengenai identitas peradaban Barat, khususnya Amerika sendiri, yang ia sebut dengan America's core culture. Identitas Amerika menurutnya terdiri dari beberapa elemen-elemen penting yaitu Agama Kristen, nila-nilai dan moralitias Protestan, etika kerja, Bahasa Inggris, Tradisi hukum bangsa Inggris, sistim kekuasaan pemerintahan yang terbatas, g) khazanah seni dan sastra, filsafat dan musik yang berasal dari Eropa. Ini masih ditambah dengan kepercayaan bangsa Amerika tentang prinsip-prinsip liberal, persamaan, individualisme, perwakilan pemerintahan dan kekayaan pribadi.
Bahkan lebih spesifik dan parsial lagi Ronald Inglehart dan Pippa Norris menyatakan bahwa perbedaan Islam dan Barat berkaitan dengan kesetaraan gender dan kebebasan seks. Jadi yang terjadi antara Barat dan Islam, menurut mereka adalah benturan peradaban seks (Sexual clash of Civilization). Menanggapi thesis Huntington mereka berkomentar bahwa Samuel Huntington hanya setengah benar. Garis kultural yang memisahkan Barat dan dunia Islam bukan tentang demokrasi tapi seks. Menurut hasil survey terbaru, Muslim dan Barat sama-sama menginginkan demokrasi, namun dunia mereka menjadi terpisah ketika mereka bersikap terhadap perceraian, aborsi, kesetaraan gender, dan hak-hak gay, sehingga hal ini tidak menjanjikan bagi masa depan demokrasi di Timur Tengah.
Di Barat generasi mudanya, dalam soal seks, menjadi semakin liberal, sementara di dunia Islam masih tetap menjadi masyarakat yang paling tradisional di dunia. Jadi agama adalah salah satu elemen dari identitas peradaban Barat, namun yang paling dominan adalah sistim demokrasi, ekonomi, sosial dan pemikiran keagamaan yang liberal. Artinya, Barat secara keseluruhannya kini tengah menganut suatu sistim kehidupan yang disebut liberalisme. Untuk lebih detail mengenai makna liberalisme dijelaskan berikut ini.
B. Makna, Sejarah Kemunculan dan Perkembangan Liberalisme.
Term liberal diambil dari bahasa Latin liber artinya bebas dan bukan budak atau suatu keadaan dimana seseorang itu bebas dari kepemilikan orang lain. Makna bebas kemudian menjadi sebuah sikap kelas masyarakat terpelajar di Barat yang membuka pintu kebebasan berfikir. Dari makna kebebasan berfikir inilah kata liberal berkembang sehingga mempunyai berbagai makna. Secara politis liberalisme adalah ideologi politik yang berpusat pada individu, dianggap sebagai memiliki hak dalam pemerintahan, termasuk persamaan hak dihormati, hak berekspresi dan bertindak serta bebas dari ikatan-ikatan agama dan ideologi. Dalam konteks sosial liberalisme diartikan sebagai adalah suatu etika sosial yang membela kebebasan dan persamaan secara umum. Menurut Alonzo L. Hamby, PhD, Profesor Sejarah di Universitas Ohio, liberalisme adalah paham ekonomi dan politik yang menekankan pada kebebasan ,persamaan dan kesempatan.
Sejarahnya paham liberalisme ini berasal dari Yunani kuno, salah satu elemen terpenting dari peradaban Barat. Namun, jika dilacak hingga Abad Pertengahan, liberalisme dipicu oleh kondisi sistem ekonomi dan politik yang didominasi oleh sistem feodal. Di dalam sistem ini, raja dan bangsawan memiliki hak-hak istimewa, sedang kan rakyat jelata tidak diberi kesempatan secara leluasa untuk meng- gunakan hak-hak mereka, apalagi hak untuk ikut serta dalam mobilisasi sosial yang dapat mengantarkan mereka menjadi kelas atas.
Perkembangan awalnya terjadi sekitar tahun 1215, ketika Raja John di Inggris mengeluarkan Magna Charta, dokumen yang mencatat beberapa hak yang diberikan raja kepada bangsawan bawahan. Charta ini secara otomatis telah membatasi kekuasaan Raja John sendiri dan dianggap sebagai bentuk liberalisme awal. Liberalisme awal sendiri ditandai dengan perlawanan dan pembatasan terhadap kekuasaan pemerintah yang cenderung absolut.
Perkembangan liberalisme selanjutnya ditandai oleh revolusi tak berdarah yang terjadi pada tahun 1688 yang kemudian dikenal dengan sebutan The Glorious Revolution of 1688. Revolusi ini berhasil menurunkan Raja James II dari Inggris dan Irlandia, serta mengangkat William II dan Mary II sebagai raja. Setahun setelah revolusi ini, parlemen Inggris menyetujui sebuah undang-undang hak rakyat (Bill of Right) yang memuat peng- hapusan beberapa kekuasaan raja dan jaminan terhadap hak-hak dasar dan kebebasan masyarakat Inggris.
Pada saat bersamaan, seorang filsuf Inggris, John Locke, mengajarkan bahwa setiap orang terlahir dengan hak-hak dasar yang tidak boleh dirampas. Hak-hak dasar itu meliputi hak untuk hidup, hak untuk memiliki sesuatu, kebebasan membuat opini, beragama, dan berbicara. Di dalam bukunya, Two Treatises of Government (1690), John Locke menyatakan, pemerintah memiliki tugas utama untuk menjamin hak-hak dasar tersebut, dan jika ia tidak menjaga hak- hak dasar itu, rakyat memiliki hak untuk melakukan revolusi.
Pandangan ini, setelah itu, mulai berkembang di Prancis dan Inggris pada abad ke-18-19 yang menekankan bahwa kebebasan individu menciptakan kemakmuran melalui perubahan dan inovasi dalam organisasi sosial. Gerakan kebebasan individu (liberalisme) kemudian menyebar ke berbagai bidang, seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Liberalisme lahir dari sistem kekuatan sosial berupa merkantilisme, feodalisme, dan Gereja Katolik Roma. Secara umum, liberalisme ingin meminimalkan campur tangan negara dalam kehidupan sosial. Liberalisme sebagai sebuah ideologi dapat dikatakan berasal dari filosofi humanis yang mempersoalkan kekuasaan gereja pada masa Renaisans, dan juga dapat dikatakan berasal dari golongan Huines yang ingin memiliki kekuasaan untuk memilih dan membatasi. raja selama Revolusi Inggris.
Gaya liberalisme Jhone Locke menjadi dasar dan inspirasi libertarianisme yang dirintis oleh Alexis de Tocqueville, Friedrich von Hayek, dan Robert Nozick Appear. Di sisi lain, gaya liberalisme lain digaungkan oleh Jean Jacques Rousseau, yang berpendapat bahwa pemerintah harus terus berfungsi untuk melindungi pelaksanaan kebebasan individu rakyat. Model liberal ini mengilhami munculnya liberalisme egaliter, yang tokoh-tokohnya termasuk John Rawls dan Ronald Dworkin. Liberalisme ini berusaha untuk menyatukan ide-ide kebebasan dan kesetaraan individu dalam masyarakat. Pemerintah perlu mendistribusikan kembali nilai sosial untuk mewujudkan dan mewujudkan kebebasan dan kesetaraan individu dalam masyarakat.
Puncak liberalisasi politik terjadi pada abad ke 19 ketika di beberapa negara Eropa paham liberalisme terus menggelinding dalam bentuk ide-ide kebebasan dan gerakan-gerakan revolusioner. Akibatnya tahun 1830 banyak raja dan bangsawan Eropa yang kehilangan kekuasaan mereka. Pada tahun 1848, banyak negara berhasil memperjuangkan hak-hak sipil, meskipun sedikit sekali yang berubah menjadi negara demokrasi. Pada tahun-tahun itu pula hampir seluruh negara Eropa berhasil menghapuskan sistem perbudakan. Sedangkan tahun 1865 Amerika Serikat melakukan amandemen ke-13 pada Konstitusi Negara itu untuk menghapuskan perbudakan. Amandeman ke-15 yang kemudian diadopsi pada tahun 1870 memberikan hak pilih kepada para budak. Sejak tahun 1800-an pula, para pekerja memperoleh hak-hak politiknya.
Menginjak abad ke 20 setelah berakhirnya perang dunia pertama pada tahun 1918, beberapa negara Eropa menerapkan prinsip pemerintahan demokrasi. Hak kaum perempuan untuk menyampaikan pendapat dan aspirasi di dalam pemerintahan. Menjelang tahun 1930-an, liberalisme mulai berkembang tidak hanya meliputi kebebasan berpolitik, tetapi juga mencari kebebasan di bidang lainnya; misalnya ekonomi, sosial, dan lain sebagainya. Tahun 1941, Presiden Franklin D. Roosevelt mendeklarasikan empat kebebasan, yakni kebebasan untuk berbicara dan menyatakan pendapat, kebebasan beragama, kebebasan dari kemelaratan dan kebebasan dari ketakutan. Pada tahun 1948, PBB mengeluarkan Universal Declaration of Human Rights yang menetapkan sejumlah hak ekonomi dan sosial, di samping hak politik.
Dari sini dapat dipahami, sejak tahun 1900-an, politik dan ekonomi liberal memiliki hubungan yang sangat erat. Gagasan ekonomi liberal didasarkan pada sebuah pandangan bahwa setiap individu harus diberi kebebasan untuk melakukan kegiatan-kegiatan ekonominya tanpa ada intervensi dan campur tangan dari negara. Kaum liberal percaya, bahwa ekonomi akan melakukan regulasi sendiri. Atas dasar itu, campur tangan negara tidak diperlukan lagi. Gagasan semacam ini diadopsi dari pemikiran- pemikiran Adam Smith dan menjadi landasan sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan di dunia saat ini.
Jika ditilik dari perkembangannya liberalisme secara umum memiliki dua aliran utama yang saling bersaing dalam menggunakan sebutan liberal. Yang pertama adalah liberal classic atau early liberalism yang kemudian menjadi liberal ekonomi yang menekankan pada kebebasan dalam usaha individu, dalam hak memiliki kekayaan, dalam polesi ekonomi dan kebebasan melakukan kontrak serta menentang sistem welfare state. Kelompok ini mendukung persamaan (equality) di depan hukum tapi tidak dalam ekonomi (economic inequality) karena distribusi kekayaan oleh negara tidak menjamin kemakmuran. Persaingan dalam pasar bebas menurut kelompok ini lebih menjamin.
Yang kedua adalah liberal sosial. Aliran ini menekankan peran negara yang lebih besar untuk membela hak-hak individu dalam pengertian yang luas, seringkali dalam bentuk hukum anti- diskriminasi. Kelompok ini mendukung pendidikan bebas untuk umum (universal education), dan kesejahteraan rakyat, termasuk jaminan bagi penganggur, perumahan bagi tunawisma dan perawatan kesehatan bagi yang sakit, semua itu didukung oleh sistem perpajakan. Dengan kata lain liberalisme awal lebih menekankan pada hak-hak ekonomi dan politik.
Liberal dalam konteks kebebasan intelektual berarti independen secara intelektual, berpikiran luas, terus terang, dan terbuka. Kebebasan intelektual sejatinya berkembang sejalan dengan perkembangan liberalisme sosial dan politik yang terjadi di Barat pada akhir abad ke 18, namun akar-akarnya dapat dilacak seabad sebelumnya yaitu abad ke 17. Di masa itu dunia Barat terobsesi untuk membebaskan bidang intelektual, keagamaan, politik dan ekonomi dari tatanan moral, supernatural dan bahkan Tuhan. Maka dari itu prinsip-prinsip Revolusi Perancis 1789 dianggap sebagai Magna Charta liberalisme. Di dalamnya terdapat kebebasan mutlak dalam pemikiran, agama, etika, kepecayaan, berbicara, pers dan politik. Konsekuensinya adalah penghapusan hak-hak Tuhan dan segala otoritas yang diperoleh dari Tuhan; penyingkiran agama dari kehidupan publik menjadi bersifat individual. Selain itu agama Kristen dan Gereja harus dihindarkan agar tidak menjadi lembaga hukum ataupun sosial. Yang jelas liberalisme mengindikasikan pengingkaran terhadap semua otoritas yang sesungguhnya, sebab otoritas dalam pandangan liberal menunjukkan adanya kekuatan di luar dan di atas manusia yang mengikatnya secara moral.
Kebebasan intelektual yang mencoba untuk bebas dari agama dan dari Tuhan itu secara logis merupakan liberalisme dalam pemikiran keagamaan dan itulah yang pertamakali dirasakan oleh agama-agama di Barat. Liberalisme dalam pemikiran keagamaan atau yang terkenal dengan theological liberalism berkembang melalui tiga fase perkembangan. Fase pertama dari abad ke 17 yang dimotori oleh filsuf Perancis Rene Descartes yang mempromosikan doktrin rasionalisme atau Enlightenment yang berakhir pada pertengahan abad ke 18. Doktrin utamanya adalah percaya pada akal manusia, keutamaan individu, imanensi Tuhan dan dan meliorisme (percaya bahwa manusia itu berkembang dan dapat dikembangkan). Fase kedua bermula pada akhir abad ke 18 dengan doktrin Romanticisme yang menekankan pada individualisme, artinya individu dapat menjadi sumber nilai. Kesadaran-diri itu dalam pengertian religious dapat menjadi Kesadaran-Tuhan. Tokohnya adalah Jean-Jacques, Immanuel Kant, dan Friedrich Schleiermacher.
Fase terakhir bermula pada pertengahan abad ke 19 hingga abad ke 20 ditandai dengan semangat modernisme dan postmodernisme yang menekankan pada ide tentang perkembangan. Agama kemudian diletakkan sebagai sesuatu yang berkembang progressif dan disesuaikan dengan ilmu pengetahuan modern serta diharapkan dapat merespon isu-isu yang diangkat oleh kultur modern. Itulah sebabnya maka kajian mengenai doktrin- doktrin Kristen kemudian berubah bentuk menjadi kajian psikologis pengalaman keagamaan, kajian sosiologis lembaga-lembaga dan tradisi keagamaan, kajian filosofis tentang pengetahuan dan nilai-nilai keagamaan.
Sementara itu, pada abad ke-19 , liberalisme dalam pemikiran keagamaan Katolik Roma mengambil bentuk yang mendukung demokrasi politik dan reformasi tetapi secara teologis menganut ortodoksi. Sedangkan dalam pemikiran Kristen Protestan, terdapat kecenderungan terhadap kebebasan intelektual yang menempatkan substansi etis dan kemanusiaan Kristen serta mereduksinya menjadi teologi dogmatis.
Ketika liberalisme memasuki pemikiran keagamaan, banyak konsep dasar kekristenan yang berubah. Nicholas F. Gier, dari University of Idaho, Moscow, Idaho merangkum ciri-ciri pemikiran tokoh-tokoh liberal di Amerika Serikat sebagai: Pertama, percaya pada Tuhan, tetapi bukan Tuhan dalam kepercayaan Kristen ortodoks. Karena Tuhan mereka tidak orthodok maka mereka seringkali disebut Atheis. Ciri-ciri Tuhan menurut kitab suci dan doktrin sebagai pribadi dengan ciri-ciri tertentu adalah oleh kelompok liberal karena mereka lebih menyukai konsep ketuhanan yang diambil dari akal manusia. Tuhan dalam kepercayaan ini dianggap tidak mengetahui kehidupan manusia secara detail dan tidak mencampuri urusan individu nanusia. Kedua, kaum liberal memisahkan antara doktrin Kristen dan etika Kristen. Dengan mengurangi penekanan pada doktrin atau mereka menganut prinsip bahwa orang Kristen dan non-Kristen menerima dan saling menguntungkan.
Ketiga, kaum liberal tidak ada yang percaya pada doktrin Kristen Orthodok. Mereka menolak sebagian atau keseluruhan doktrin-doktrin Trinitas, ketuhanan Yesus, perawan yang melahirkan, Bible sebagai kata-kata Tuhan secara literal, takdir, neraka, setan dan penciptaan dari tiada. Doktrin satu-satunya yang mereka percaya, selain percaya akan adanya Tuhan adalah keabadian jiwa. Keempat, menerima secara mutlak pemisahan gereja dan negara. Para pendiri negara Amerika menyadari akibat dari pemerintahan negara-negara Eropa yang memaksakan doktrin suatu agama dan menekan agama lain. Maka dari itu kata-kata "Tuhan" dan "Kristen" tidak terdapat dalam undang-undang. Ini tidak lepas dari pengaruh tokoh-tokoh agama liberal dalam konvensi konstitusi tahun 1787. Kelima, percaya penuh pada kebebasan dan toleransi beragama.
Dengan demikian, liberalisme sosial dan politik dalam peradaban meminggirkan agama atau secara perlahan memisahkan agama dari urusan sosial dan politik. Agama tidak diberi tempat di atas kepentingan sosial dan politik. Dan ketika liberalisme memasuki pemikiran keagamaan Kristen Katolik dan Protestan, ia telah menundukkan Gereja pada kekuatan politik dan humanisme, serta mereduksi kekuatan teologi di semua bidang. Oleh karena itu, dalam liberalisme pemikiran keagamaan, pertanyaan pertama yang harus diinterogasi adalah konsep Tuhan, doktrin atau dogma agama. Setelah itu, liberalisme mempersoalkan dan kemudian memisahkan hubungan agama dari politik. Terakhir, liberalisme pemikiran keagamaan menjadi dan dipicu oleh gelombang postmodernisme yang membela pluralisme, kesetaraan dan relativisme.
C. Ciri-ciri Liberalisme Keagamaan
Liberalisme keagamaan adalah sebuah konsepsi agama (atau agama tertentu) yang mendorong kebebasan pribadi dan kelompok dan rasionalitas. Ini adalah sebuah sikap terhadap agama orang itu sendiri (berbeda dengan kritik agama dari posisi sekuler, dan berbeda dengan kritik agama selain agama orang itu sendiri) yang berseberangan dengan pandangan tradisionalis atau ortodoks, dan secara langsung berlawanan dengan tren fundamentalisme agama. Ini berkaitan dengan kebebasan beragama, yang merupakan toleransi terhadap keyakinan dan praktek agama berbeda, namun tak semua promoter kebebasan beragama sepakat dengan liberalisme agama, dan begitupun sebaliknya.
Liberalisme keagamaan adalah suatu aliran pemikiran yang cenderung mengedepankan interpretasi yang lebih longgar terhadap ajaran agama dan seringkali mendorong kebebasan berpikir dan bertindak dalam konteks keagamaan. Beberapa ciri-ciri liberalisme keagamaan meliputi :
1. Interpretasi Fleksibel, Liberalisme keagamaan cenderung menerima interpretasi yang lebih fleksibel terhadap teks-teks keagamaan, memungkinkan penafsiran yang lebih terbuka.
2. Penerimaan Terhadap Perubahan Sosial, Aliran ini dapat lebih terbuka terhadap perubahan sosial dan nilai-nilai kontemporer, seringkali mencoba mengintegrasikan ajaran agama dengan realitas zaman sekarang.
3. Pentingnya Kebebasan Beragama, Penganut liberalisme keagamaan sering mendukung kebebasan beragama dan keyakinan, bahkan jika pandangan tersebut berbeda dengan ajaran resmi agama.
D. Islam dan Tantangan Liberalisme
Karena liberalisme merupakan sistem, pandangan hidup atau ideologi Barat, maka Islam bagi Barat merupakan tantangan bagi liberalisme. Sudah tentu sebaliknya liberalisme juga merupakan tantangan bagi Islam. Francis Fukuyama dalam bukunya itu jelasjelas menyejajarkan Islam dengan ideologi Liberalisme dan trin-doktrin politik dan keadilan sosialnya sendiri. Menurutnya karena ajaran Islam bersifat universal, maka ia pernah menjadi tantangan bagi demokrasi liberal dan praktik-praktik liberal. Tapi ia juga mengakui bahwa nilai-nilai liberal Barat merupakan ancaman bagi masyarakat Islam.
Tidak diragukan lagi, dunia Islam dalam jangka panjang akan nampak lebih lemah menghadapai ide-ide liberal ketimbang sebaliknya, sebab selama seabad setengah yang lalu liberalisme telah memukau banyak pengikut Islam yang kuat. Salah satu sebab munculnya fundamentalisme adalah kuatnya ancaman nilai-nilai liberal dan Barat terhadap masyarakat Islam tradisional.
Fukuyama jelas-jelas meletakkan Islam, Liberalisme dan Komunisme sebagai ideologi-ideologi atau pemikiran yang mempunyai doktrin masing-masing dan saling bertentangan satu sama yang lain dan saling mengancam. Apa yang disebut ancaman bukan bayangbayang ketakutan yang satu terhadap yang lain, akan tetapi merupakan fakta bahwa liberalisme dan Islam itu sangat berbeda. Perbedaan ini dapat dilacak dari fakta bahwa umat manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan setiap bangsa memiliki peradaban sendirisendiri. Cara berpikir dan cara pandang antara satu peradaban dengan yang lain juga berbeda-beda. Perbedaan itu lebih berupa perbedaan cara memandang kehidupan atau perbedaan pandangan hidup. Perbedaan pandangan hidup antara satu bangsa dengan bangsa yang lain dipengaruhi oleh kultur, agama, kepercayaan, ras dan lain-lain. Huntington menyatakan bahwa substansi atau asas peradaban adalah prinsipprinsip keagamaan dan filsafat. Oleh sebab itu faktor-faktor untuk mengidentifikasi orang, dan juga faktor yang menjadikan mereka siap perang dan mati adalah keimanan dan keluarga, darah dan kepercayaan.
Perbedaan identitas dan kemudian gesekan antara satu peradaban dan worldview inilah yang diskenariokan dan diteorikan Samuel P. Huntington sebagai clash of civilization (benturan peradaban). Benturan ini menurutnya akan mengakibatkan ketegangan, benturan, konflik ataupun peperangan di masa depan.12 Selain itu, tesis Huntington merupakan deklarasi ataupun selfdisclosure bahwa Barat akan berhadapan dengan peradaban yang berbeda dan akan mengakibatkan ketegangan, benturan, konflik ataupun peperangan di masa depan. Masalahnya bukan hanya karena terdapat perbedaan antar peradaban, tapi karena peradaban atau bangsa-bangsa Barat mengklaim cara pandang mereka itu "universal" dan dapat dianut oleh seluruh umat manusia.
Persoalannya apa yang oleh Barat itu dianggap universal ternyata tidak demikian bagi umat Islam. Faktanya memang antara konsep-konsep Barat dan Islam terdapat perbedaan yang tidak dapat disatukan. Perbedaan ini pada tingkat kehidupan sosial menyebabkan konflik, clash atau dalam bahasa Peter L. Berger disebut collision of consciousness (tabrakan persepsi). Pada tingkat individu, mengakibatkan terjadinya pergolakan pemikiran dalam diri seseorang dan pada tataran konsep, mengakibatkan tumpang tindih dan kebingungan konseptual. Perang pemikiran pada tingkat inidividu inilah yang kini dirasakan umat Islam Indonesia. Jadi perang pemikiran dalam skala besar saat ini terjadi antara peradaban Islam dan kebudayaan Barat atau pandangan hidup Islam dan Barat.
Akan tetapi Barat berusaha memaksakan penggunaan konsepkonsep mereka itu ke dalam pikiran umat Islam. Pemaksaan itu dikenal dengan proyek westernisasi13 dan globalisasi. Penggunaan istilah Islam fundamentalis, Islam Liberal, Islam tradisional, Islam modern dan sebagainya merupakan sedikit contoh bagaimana terminologi dan konsep-konsep Barat dipaksakan kepada umat Islam. Untuk penyebaran bidang budaya, paham-paham dan ideo logi digunakan proyek Westernisasi dan Globalisasi, untuk penyebaran bidang pemikiran keislaman digunakan gerakan orientalisme, untuk memperluas penerimaan kultur dan kepercayaan Barat digunakan gerakan misionarisme dan untuk penaklukan dunia Islam di berbagai bidang digunakan kolonialisme.
Sebenarnya jika globalisasi dipahami secara adil maka Barat dapat memahami worldview Islam dan bahkan dapat saling tukar menukar konsep dan sistem yang tidak bertentangan dengan worldview masing-masing. Namun, kenyataannya sikap Barat jauh dari harapan itu. Masyarakat Barat memang terbukti tidak toleran dan bahkan resisten terhadap praktik-praktik keagamaan masyarakat Islam di Barat. Di negeri-negeri mereka Barat misalnya kita tidak akan pernah menyaksikan mimbar agama Islam di TV, atau perayaan hari Raya Islam di tempat terbuka, kumandang azan dari menara masjid.
Padahal di negara mayoritas Muslim umat Kristiani bebas merayakan hari natal, caramah di TV, membunyikan lonceng gereja dan sebagainya. Demikian pula dalam soal pakaian. Di Barat pakaian jilbab bagi Muslimah di "haramkan", sementara umat Islam Indonesia dipaksa toleran terhadap orang Barat yang berpakaian setengah telanjang di tempat-tempat umum. Jika sikap masyarakat Barat begitu resisten, maka tidak heran jika umat Islam juga resisten terhadap paham-paham sekuler, liberal, pragmatis dan hedonis serta berbagai kultur yang khas masayarakat Barat. Sudah tentu situasi seperti ini harus diterima sebagai konflik atau perang pemikiran yang telah terjadi dan berjalan terus. Inilah yang disebut dengan Ghazwul fikri (perang pemikiran).
Kini setelah peristiwa dramatis 11 September 2001, upayaupaya Barat untuk menyebarkan nilai, ide, konsep, sistem dan kultur Barat ke dunia Islam semakin gencar dan merupakan kerjasama kompak antara Barat kolonialis, orientalis dan misionaris. Karena hal ini berkaitan dengan pemikiran, maka mediun yang digunakan untuk menyebarkan konsep dan pemikiran Barat adalah medium untuk pemikiran yang berupa karya-karya ilmiah, seperti buku, makalah-makalah dan workshop-workshop ataupun berupa opini di media elektronik dan media massa. Namun, medium yang paling efektif bagi penyebaran teori, konsep dan ideologi adalah bangkubangku kuliah di perguruan tinggi melalui transmisi oral para intelektual, ulama, saintis, budayawan. Melalui berbagai sarana inilah maka secara teknis paham, ide, konsep, sistem dan teori liberalisme Barat disebarkan ke dunia Islam.
E. Liberalisasi Melalui Missionaris, Orientalis dan Kolonialis
Dalam kondisi pasif yang kita saksikan dari peradaban Islam dan kebudayaan Barat hanyalah suatu perbedaan biasa dan wajar. Tapi dalam gerakannya yang ekspansif melalui proyek globalisasi, modernisasi, dan westernisasi Barat berubah wajah menjadi tantangan bagi bangsa-bangsa dan peradaban lain, termasuk Islam. Maka dari itu, jika wajah kebudayaan Barat itu diperinci lebih spesifik lagi akan kita temukan bahwa globalisasi dan westernisasi itu merupakan gerakan yang bersumber dari Orientalis, Missionaris dan Kolonialis. Ketiganya merupakan gerakan pemikiran yang mengusung prinsip-prinsip atau elemen-elemen pandangan hidup Barat. Berikut ini diungkapkan bagaimana ketiga bentuk gerakan tersebut bekerjasama menghadapi umat Islam dan kini menjadi tantangan umat Islam.
a. Orientalisme
Secara literal, kata orientalis menunjukkan subjek, pelaku atau orang yang ahli tentang hal-hal yang berkaitan dengan "Timur" biasanya di sebut dengan ahli ketimuran. Akan tetapi karena berdasarkan sejarah munculnya disiplin ilmu ini lebuh baik di tekankan kepada penyelidikan atau studi orang-orang Barat. (Alirman Hamzah, 2003, hlm 12
Kajian tentang Timur (orient) termasuk tentang Islam, yang dilakukan oleh orang Barat telah bermula sejak beberapa abad yang lalu. Namun menurut The Oxford Dictionary gerakan pengkajian ketimuran ini diberi nama orientalisme baru abad ke 18.
Mengapa Barat tertarik mengkaji Timur dan Islam, mempunyai latar belakang sejarah panjang yang kompleks, dan sekurangkurangnya terdapat dua motif utama: Pertama adalah motif keagamaan. Barat yang disatu sisi mewakili Kristen memandang Islam sebagai agama yang sejak awal menentang doktrin-doktrinnya. Islam yang misinya menyempurnakan millah sebelumnya tentu banyak melontarkan koreksi terhadap agama itu. Itulah Islam dianggap "menabur angin" dan lalu menuai badai perseteruan dengan Kristen. Bahkan lebih ekstrim lagi, perseteruan itu ada sejak sebelum Islam datang. Thomas Right, penulis buku Early Christianity in Arabia, mensinyalir perseteruan antara Islam dan Kristen terjadi sejak bala tentara Kristen pimpinan Abrahah menyerang Ka'bah dua bulan sebelum Nabi lahir.
Di situ tentara Abrahah kalah telak dan bahkan tewas. Kalau saja tentara itu tidak kalah mungkin seluruh jazirah itu berada di tangan Kristen, dan tanda salib sudah terpampang di Ka'bah. Muhammd pun mungkin mati sebagai pendeta. Jika Right benar berarti orang Kristen sendiri telah lama menentang millah Nabi Ibrahim, sebab mereka bukan menyerang Islam yang dibawa Nabi, tapi Ka'bah yang merupakan khazanah millah Ibrahim itu. Jadi motif orientalisme adalah keagamaan dan berkaitan dengan Kristen dan missionarisme.
Kedua adalah motif politik. Islam bagi Barat adalah peradaban yang di masa lalu telah tersebar dan menguasai peradaban dunia dengan begitu cepat. Barat sebagai peradaban yang baru bangkit dari kegelapan melihat Islam sebagai ancaman besar dan langsung bagi kekuasaan politik dan agama mereka. Barat sadar benar bahwa Islam bukan hanya sekadar istana-istana megah, bala tentara yang gagah berani atau bangunan-bangunan monumental, tapi peradaban yang memiliki khazanah dan tradisi ilmu pengetahuan yang tinggi. Oleh sebab itu mereka perlu merebut khazanah ini untuk kemajuan mereka dan sekaligus untuk menaklukkan Islam. Jadi motif kajian-kajian orientalis itu bersifat politis kolonialisme.
Motif yang hampir serupa juga terjadi di kalangan missionaris. Jurnal The Muslim World yang diterbitkan oleh Michael Zwemmer tahun 1920, misalnya pada mulanya terang-terangan untuk media informasi bagi para missionaris tentang Islam dan dunia Islam. Tapi kemudian menjadi jurnal kajian Islam yang serius dan ilmiah, meskipun tetap menggunakan framework yang sama. Montgomery Watt yang dianggap orientalis moderat misalnya, ketika menulis al-Qur'an dan Sunnah mencoba meragukan otentisitas ajaran Islam. Ia mencoba membuktikan bahwa beberapa bagian al-Qur'an dan Hadis itu dibuat-buat dan tidak konsisten, dan karena itu tidak bisa dijadikan sumber pandangan hidup Islam. Ia bahkan mencurigai adanya ayat-ayat setan dalam al-Qur'an. Inilah contoh bias orientalis yang paling nyata. Kajian orientalis terhadap Hadis yang juga bias itu misalnya dapat ditemui dalam metodologi Harald Motzki dalam mengkaji hadis Sahifah Hammam Ibn Munabbih. Motzki yang dianggap objektif itu ternyata juga ambigu. Ia seakan-akan mengkritik metode kajian Joseph Schacht, namun sejatinya tidak beda dan tetap mempertahankan sikap orientalismenya.
Jadi, orientalisme yang dikenal saat ini sebagai suatu tradisi kajian ilmiah tentang Islam, sejatinya adalah berdasarkan pada 'kaca mata' dan pengalaman manusia Barat yang dipicu oleh motif dan semangat missionaris. Tapi motivasi ini ditutupi dengan jubah intelektualisme dan dedikasi akademik. Tidak heran jika orientalis kemudian dianggap memiliki disiplin dan sikap ilmiah yang khas, bahkan menjadi sebuah framework pengkajian. Meskipun ilmiah, tapi jika cara pandang dan tujuannya diwarnai oleh latar belakang agama dan politik serta worldview Barat atau nilai-nilai peradaban Barat, kajian mereka itu lebih cenderung salah. Ini juga membuktikan bahwa ilmu memang tidak bebas nilai.
Oleh sebab itu menganggap orientalis di masa kini objektif dan ilmiah hanya benar dipermukaannya. Kajian akademis dan ilmiah terhadapnya membuktikan sebaliknya. Cara pandang mereka terhadap Nabi, al-Qur'an dan Islam sebagai agama masih tidak bisa lepas bebas dari pengaruh pendahulunya. Dan orientalis terdahulu itu diwarnai oleh pengalaman manusia Barat. Perlu disadari bahwa kajian outsider tentang suatu agama dan peradaban, termasuk Islam, betapapun objektif dan akademisnya, ia tetap saja menyisakan bias A.L. Tibawi penulis buku English Speaking Orientalists, menyimpulkan bahwa ketika para orientalis ahli polemik periode awal terlibat dalam penghinaan dan penafsiran yang salah tentang Islam, tujuan mereka hanyalah destruktif. Tapi setelah adanya motif missionaris mereka mulai menggunakan pendekatan obyektif. Metodenya merupakan campuran antara penghinaan dan pengungkapan halhal negatif tentang Islam, namun dengan menggunakan fakta-fakta yang solid, tapi tetap dipahami dalam perspektif Kristen. Metode yang pertama telah ditinggalkan sedangkan metode yang kedua menjadi lemah atau diberi baju baru. Tapi yang aneh adalah ketika para orientalis itu gencar menyarankan, mendorong dan bahkan memprovokasi agar Islam itu direformasi.
Kajian dan sekaligus serangan orientalis terhadap Islam dan sejarahnya memang sangat canggih dan subtil sehingga pembaca awam, alias bukan pakar tidak mudah untuk membongkar implikasi-implikasi negatifnya. Pernyataan mereka itu umumnya berdasarkan spekulasi, bahkan manipulasi sumber data dan seringkali bersikap selektif terhadap data-data sejarah dengan tujuan dan kepentingan tertentu.
Selain dari itu, ciri-ciri kajian orientalis adalah parsial, artinya jika mereka mengkaji suatu bidang tertentu, mereka melewatkan bidang kajian yang lain. Orientalis ahli Fiqih melontarkan kritik kritik yang tidak dikaitkan dengan Kalam misalnya, kritik dalm bidang filsafat tidak dikaitkan dengan aqidah, kritik dan kajian alQur'an tanpa disertai ilmu tafsir, bahkan tidak aneh jika para orientalis mengkaji al-Qur'an dengan metodologi Bibel, mengkaji politik Islam dalam perspektif politik Barat sekuler. Dan yang pasti disiplin ilmu pengetahuan dalam Islam itu tidak dikaji dengan framework pandangan hidup Islam, tapi Barat.
Meski telah banyak kajian tentang orientalisme, tapi dalam perkembangan pemikiran akhir-akhir ini, tema orientalisme ini menjadi semakin relevan untuk diangkat kembali. Sebab kini mengadopsi pandangan, framework dan kritik-kritik para orientalis tentang Islam menjadi tren di kalangan sementara cendekiawan Muslim. Nampaknya, mereka berpikiran bahwa dengan cara itu mereka bisa mengambil jalan pintas untuk reformasi, pembaruan atau liberalisasi pemikiran Islam. Bagi masyarakat awam atau ulama tradisional, pemikiran hasil adopsi itu nampak baru, karena tidak pernah ada dalam khazanah intelektual Islam. Padahal, sifat barunya tidak mempunyai unsur tajdid, karena terlepas dari fondasi asalnya (wahyu) dan bahkan seringkali berseberangan. Mungkin mereka telah gagal menyelami khazanah intelektual Islam secara komprehensif, kreatif, dan apresiatif sehingga kehilangan daya kritis mereka terhadap orientalis dan Barat.
Orientalisme adalah suatu cara pandang orang Barat terhadap bangsa selain Barat. Bangsa-bangsa selain Barat itu -- yakni bangsabangsa Timur Tengah dan Asia - dilihat dengan kacamata rasial yang penuh prasangka. Bangsa-bangsa Timur dianggap mundur dan tidak sadar akan sejarah dan kebudayaan mereka sendiri. Untuk itu Barat kemudian membantu membuat kajian tentang konsep-konsep kebudayaan, sejarah, dan juga agama-agama dan bangsa-bangsa Timur. Sudah tentu prinsip, metode dan pendekatan kajian ini khas Barat. Namun, kajian ini tidak murni kajian keilmuan, tapi kajian yang dimanfaatkan untuk proyek missionaris Kristen dan imperialisme Barat ke Negara-negara Timur.
b. Missionaris
Dalam agama Kristen sebenarnya terdapat dua istilah khusus dalam penyiaran agama. Pertama, kata missi yang diindonesiakan menjadi misi, artinya: "urusan penyiaran agama Katolik", atau penyebaran Kabar Gembira (Injil) dan mendirikan jemaat-jemaat setempat yang dilakukan atas dasar pengutusan sebagai kelanjutan misi Kristus. Kedua, kata Zending, artinya perka-baran Injil, usaha-usaha menyebarkan agama Protestan. Dengan demikian kedua kata tersebut sama maknanya, tetapi berbeda pemakaiannya Misi untuk penyiaran Katolik, sedangkan Zending untuk penyiaran  Protestan. Itulah terma awal dari masing-masing agama. Akan tetapi dalam pemakaian secara umum, untuk menyebut kegiatan penyiaran kedua agama tersebut, lebih lazim dipakai istilah Misi. Maka untuk uraian selanjutnya dalam bab ini, pemakaian kata Misi Kristen juga ditujukan untuk kedua agama tersebut, yakni Kristen Protestan dan Katolik.
Ketika Barat masuk ke negara-negara Islam ia membawa serta misi agama, politik, ekonomi dan kebudayaan. Namun tidak banyak yang melihat bahwa Barat itu sendiri telah membawa seperangkat doktrin pemikiran yang berdasarkan pandangan hidup mereka. Hal ini dapat dicermati dari fakta sejarah bahwa gerakan kolonialisme selalu disertai atau bahkan didahului oleh kegiatan missionaris Kristen yang berkaitan dengan orientalisme. Keduanya tidak lain dari aktivitas untuk mempengaruhi cara berfikir. Kerjasama missionaris, orientalis dan kolonialis ini telah lama terjadi dan dapat dibuktikan melalui pengakuan Alb C. Kruyt (tokoh Nederlands bijbelgenootschap) dan OJH Graaf van Limburg Stirum.
Peran Snough Hurgronye sebagai orientalis dalam memuluskan penjajahan Belanda di Indonesia merupakan bukti kongkret kerjasama antara orientalisme, missionarisme dan kolonialisme Barat. Targetnya lagi-lagi berkaitan dengan pemikiran, yaitu untuk meru bah cara berpikir umat Islam. Proyek missionaris yang menonjol adalah penghancuran pemikiran umat Islam. Strategi ini telah lama diikrarkan oleh Samuel Zwemmer seorang orientalis Yahudi yang menjabat direktur organisasi misionaris dan yang juga pendiri Jurnal the Muslim World. Pada tahun 1935 pada Konferensi Misionaris di Kota Yerussalem Zwemmer mengatakan bahwa: Misi utama kita sebagai orang Kristen bukan menghancurkan kaum Muslimin, namun mengeluarkan seorang Muslim dari Islam, agar jadi orang Muslim yang tidak berakhlak. Dengan begitu akan membuka pintu bagi kemenangan imperialis di negeri-negeri Islam. Tujuan kalian adalah mempersiapkan generasi baru yang jauh dari Islam. Generasi Muslim yang sesuai dengan kehendak kaum penjajah, generasi yang malas, dan hanya mengejar kepuasan hawa nafsunya. Di mata rantai kebudayaan Barat, gerakan misi punya dua tugas: menghancurkan peradaban lawan (baca: peradaban Islam) dan membina kembali dalam bentuk peradaban Barat. Ini perlu dilakukan agar Muslim dapat berdiri pada barisan budaya Barat akhirnya muncul generasi Muslim yang memusuhi agamanya sendiri.
Harry Dorman, dalam bukunya Towards Understanding Islam, mengungkapkan pernyataan seorang misonaris Kristen: "Boleh jadi, dalam beberapa tahun mendatang, sumbangan besar misionaris di wilayah-wilayah Muslim akan tidak begitu banyak memurtadkan orang muslim, melainkan lebih banyak menyelewengkan Islam itu sendiri. Inilah bidang tugas yang tidak bisa diabaikan." Dr. Cragg, seorang misionaris terkenal asal Inggris, menyatakan:"Tidak perlu diragukan bahwa harapan terakhir misi Kristen hanyalah melakukan perubahan sikap umat Muslim, sedemikian rupa sehingga mereka mau bertoleransi. Apa yang disampaikan Zwemmer 70 tahun yang lalu itulah kini yang diterapkan Barat sebagai strategi perang pemikiran terhadap umat Islam. Oleh sebab itu gerakan kristenisasi berkembang dari konversi kepada gerakan distorsi dan perang pemikiran.
c. Kolonialis
Seperti disebutkan di atas bahwa orientalis pernah bekerjsama dengan kolonialis dan missionaris. Pengertian kolonialisme dalam hal ini menyesuaikan dengan kondisi pascaperang dunia kedua, yang bergeser dari pendudukan menjadi penguasaan dalam bidang-bidang tertentu secara strategis. Kolonialisme kini tidak mesti berarti exploitasi sumber daya manusia dan alam seperti di zaman penjajahan, tapi monopoli dalam perdagangan, penguasaan sistem ekonomi politik dan liberalisasi perdagangan. Untuk itu kolonialis berkepentingan untuk menyebarkan kultur dan pemikiran Barat, sehingga ide-ide atau pemikiran Islam dan umat Islam sejalan dengan pemikiran dan kepercayaan Barat. Tujuan akhirnya kepentingan ekonomi dan politik mereka di negara-negara Islam dapat berjalan dengan mulus.
Strategi bagaimana agar ide-ide dan pemikran umat Islam sejalan dengan kolonialis, dan bagaimana sebuah pemikiran berubah menjadi kebijakan strategis, sebaiknya kita rujuk sebuah buku yang berjudul Civil Democratic Islam, Partners, Resources and Strategies, (2003). Buku yang ditulis oleh Cheryl Bernard23 ini menjelaskan tentang strategi dan taktik pemikiran yang perlu dilakukan Barat untuk menghadapi umat Islam pasca 11 September. Targetnya untuk melawan apa yang mereka istilahkan dengan "terorisme dan fundamentalisme" dalam Islam.
Cheryl Bernard menulis ini di bawah proyek penelitian sebuah lembaga swadaya masyarakat di Amerika lembaga itu bernama Rand Corporation. Sebuah lembaga riset yang mengklaim sebagai lembaga independen yang membuat "analisa objektif dan solusi efektif terhadap persoalan yang dihadapi oleh masyarakat ataupun individu diseluruh dunia". Lembaga ini dibiayai oleh Smith Richardson Foundation. Di lembaga ini Cheryl menulis untuk Divisi Riset Keamanan Nasional (National Security Research Division) di mana suaminya bekerja. Tujuan dari buku ini adalah untuk membuat suatu laporan dan usulan dalam rangka membantu kebijakan pemerintah Amerika, khususnya dalam soal pemberantasan ekstrimisme, dan pengembangan bidang sosial, ekonomi, politik melalui proses demokratisasi. Yang jelas divisi ini bertugas memberi saran-saran kepada pemerintah Amerika bagaimana menghadapi fundamentalisme dalam Islam dan menyebarkan pemikiran liberal ketengah-tengah umat Islam.
Sebuah saran tentunya berdasarkan pertimbangan dan dasar pemikiran tertentu. Pemikiran mana yang menjadi asasnya, ia pilih sejalan dengan kepentingannya. Berdasarkan pemikiran itu ia memberi masukan kepada pemerintah Amerika, pertama tentang nilai-nilai mana dalam Islam yang bisa diseret ke dalam nilai-nilai Amerika. Kedua tentang peta masalah-masalah umat Islam dalam konteks nilai-nilai Amerika. Dan akhirnya muncullah saran-saran agar isu-isu seperti demokrasi dan HAM, poligami, hukuman bagi kriminalitas, keadilan, masalah minoritas, pakaian wanita dan hakhak suami-istri masuk ke dalam pemikiran umat Islam. Saran-saran itu, seperti yang akan terlihat di bawah ini, dilaksanakan dengan baik di Indonesia.
Untuk membuktikan adanya serangan yang berbentuk politik atau memakai kendaraan politik, berikut ini dipaparkan strategi bagaimana menghadapi Islam yang tertuang dalam buku tersebut. Laporan itu membagi umat Islam menjadi 4 kelompok dan memberi masukan bagaimana seharusnya sikap pemerintah Amerika terhadap keempat kelompok tersebut :
a. Fundamentalis, yaitu kelompok yang menolak nilai-nilai demokrasi, dan kultur Barat kontemporer. Mereka menginginkan negara autoritarian dan murni untuk melaksanakan hukum dan nilai-nilai moral Islam, tapi mau menggunakan teknologi modern untuk mencapai tujuan mereka.
b. Traditionalis, yaitu kelompok yang menginginkan masyarakat konservatif, curiga terhadap modernitas, inovasi dan perubahan.
c. Modernis, yaitu kelompok yang menginginkan agar dunia Islam menjadi bagian dari modernitas global. Mereka ingin memodernisir Islam agar sejalan dengan zaman.
d. Sekularis yaitu kelompok yang mengingkan dunia Islam menerima pemisahan gereja dan negara, sebagaimana yang terjadi pada demokrasi industri Barat, di mana agama diposisikan sebagai urusan pribadi.
Untuk menghadapi kelompok-kelompok tersebut di atas Cheryl Benard memberi saran-saran bagaimana menghadapi masingmasing kelompok. Di akhir saran-saran ia mengingatkan agar kebijakan yang diambil disesuaikan dengan strategis tidaknya isu yang berkembang. Saran-saran untuk menghadapi keempat kelompok tersebut dapat disimak berikut ini :
a. Pertama-tama dukung modernis, dengan mengembangkan visi mereka tentang Islam sehingga mengungguli kelompok tradisionalis. Caranya dengan memberikan arena yang luas agar mereka dapat menyebarkan pandangan mereka. Mereka harus dididik dan diangkat secara ketengah-tengah publik sebagai mewakili wajah Islam kontemporer.
b. Dukung kelompok sekularis berdasarkan kasus per kasus
c. Dorong institusi sipil dan kultural serta program-programnya
d. Dukung kelompok tradisionalis sebatas untuk mengarahkan mereka agar berlawanan dengan kelompok fundamentalis dan untuk mencegah pertalian yang erat diantara mereka. Didalam kelompok tradisionalis kita harus mendukung secara selektif mereka yang lebih sesuai dengan masyarakat sipil modern. Misalnya, beberapa mazhab-mazhab Fiqih lebih dapat disesuaikan dengan pandangan kita tentang keadilan dan hak azazi manusia daripada yang lain
e. Musuhi kelompok fundamentalis secara aktif dengan menghantam kelemahan mereka dalam pandangan keislaman dan ideologi mereka, yaitu dengan mengeskpos hal-hal yang tidak dapat diterima oleh masyarakat baik anak muda yang idealis ataupun pengikut tradisionalis yang saleh, seperti korupsi, kekerasan, kebodohan, pelaksanaan Islam yang bias dan jelas salah dan ketidakmampuan mereka memimpin dan memerintah.
Untuk pelaksanaan saran-saran di atas Cheryl memerincikan langkah-langkah yang lebih kongkret dalam bentuk yang ia sebut rekomendasi yang terdiri dari 5 poin :
a. Hancurkan monopoli fundamentalis dan tradisionalis dalam mendefinisikan, menjelaskan dan menafsirkan Islam.
b. Tunjuk cendekiawan modernis yang tepat untuk membuat website yang menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan perilaku harian dan menawarkan pandangan hukum Islam kaum modernis.
c. Dukung cendekiawan modernis untuk menulis buku-buku teks dan mengembangkan kurikulum.
d. Terbitkan buku-buku pengantar dengan disubsidi agar dapat diperoleh seperti karya-karya penulis fundamentalis.
e. Terbitkan buku-buku pengantar dengan disubsidi agar dapat diperoleh seperti karya-karya penulis fundamentalis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H