Udara di lantai satu seputar Ka'bah terasa sangat sejuk bagi Sayid yg sedang menuruni anak-anak tangga dari lantai dua bersama Mursyid untuk mulai melaksanakan thawaf. Kerumunan jamaah yang sedang berthawaf itu seolah tersibak membentangkan jalan memberi ruang bagi keduanya. Dalam dua putaran thawaf saja, Sayid mendapati dirinya telah berada di depan hajar Aswad, dan sejenak berikutnya telah berada di bawah Multazam tanpa bersusah payah ataupun saling berdesakan dengan jamaah lain.
"Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar!" Sayid mulai melafadzkan doa dan puji syukurnya kepada Sang Khalik di bawah Multazam itu. Kakinya terus merambat ringan di antara ribuan jamaah yang ada di sekitarnya hingga Mursyid menepuk pundaknya untuk beralih berganti dengan jamaah lain di dalam lingkup Hijir Ismail itu.
Di tempat lain di lantai tiga Al Haram tadi, Pierre menjalankan sholat-sholat sunnah dengan penuh kesyukurannya di atas sajadah "baru"-nya itu. Ia merasakan Allah sebegitu dekat dengan dirinya, seolah memeluk dirinya dengan penuh kasih sayang dan kehangatan. Rakaat demi rakaat terus dia sambungkan. Entah sholat apa yang dilakukannya, yang terutama tersembul bulat dalam hatinya adalah niat syukurnya atas segala karunia Allah kepadanya selama ini. Pierre, sang mualaf, menemukan dirinya berada di sebuah jalan yang sangat terang benderang namun tiada menyilaukan.
catatan kaki :
sebenarnya bingung juga mau meng-upload tulisan ini di kompasiana. Masuk di cerpen jelas terlalu panjang, namun jika masuk ke novel, terlalu singkat ... maunya sih di-cerbung-kan saja.
Sambil berharap tidak di-delete sama Admin lagi seperti tulisan2 yang lain, gara2 dianggap copas dari artikel FB saya sendiri ... kalo pun di-delete, aku ra popo, hehehehe
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H