Mohon tunggu...
Mustaqim Muslimin Abdul Ghani
Mustaqim Muslimin Abdul Ghani Mohon Tunggu... -

seorang bodoh yang sedang belajar untuk terus memberi manfaat ... ciyeeeeee! Idealis banget!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sajadah Milik Pierre

17 Desember 2014   20:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:07 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satu orang jamaah dari Distrik 3 Paris, yaitu seorang wanita dengan usia sekitar 60-an dan berbadan cukup gendut, lantas mengangkat tangannya bermaksud menanyakan sesuatu kepada Diouf. Rupa-rupanya kakinya kesakitan, sehingga tidak cukup kuat untuk terus berjalan. Diouf pun mengangguk-angguk berusaha menenangkan wanita itu.

Seorang pria pendorong kursi roda yang standby agak jauh dari tempat mereka berbaris segera dipanggil dengan lambaian tangannya. Pria dengan rompi hijau, jubah putih, dan surban merah putih itu sigap mendorong kursi rodanya mendekati Diouf. Setelah tawar-menawar harga, yang disepakati dengan 150 riyal untuk thawaf hingga selesai sa'i, Diouf kemudian menunjuk sebuah tiang lampu di depan gerbang no. 91 sebagai tempat nantinya mereka berkumpul kembali dengan pria pendorong kursi roda itu.

"Dia akan memakai jalurnya sendiri, di lantai ke-dua atau ke-tiga. Sedangkan kita nanti akan mulai dari lantai utama di bawah, agar bisa lebih dekat dengan Ka'bah." Jelas Diouf kepada keluarga si wanita tua tadi. Memang ada banyak pria penyedia jasa kursi roda yang selalu siap di seputaran serambi Haram guna melayani jamaah yg akan membutuhkan bantuan untuk pelaksanaan thawaf ataupun sekaligus sa'inya. Seragam mereka pun sangat khas, seperti halnya seragam pria yg telah dipanggil Diouf tadi. Diouf meyakinkan suami wanita itu bahwa istrinya tetap aman dipandu pria pendorong kursi roda tadi.

Tak berselang lama, semua anggota rombongan telah bersiap dalam barisan, dan mereka pun memulai ritual thawaf diawali dari gerbang King Abdul Azis, gerbang nomor pertama dengan menara kembar yang mengapitnya dan gerbang itu tepat berhadapan dengan Tower Jam di selatannya.

"Umumnya jika berhaji atau umroh, jamaah mengutamakan melalui pintu nomor 10, yaitu gerbang Babus Salam. Namun kali ini kita lewat pintu nomor 1 ini saja ya, agar tidak berjubel dengan jamaah di depan kita ini." Diouf menjelaskan sambil menunjuk satu barisan besar jamaah berbendera Indonesia yg lewat di depan mereka yang saking banyaknya seperti tak habis-habisnya barisan mereka itu, dan sambil kompak bertalbiyah, seperti suatu choir paduan suara yang sangat indah. Abdullah dan kawan-kawannya hanya menggeleng-gelengkan kepala pertanda kekagumannya.

"Kalian akan bertemu mereka di mana saja di penjuru kota ini," kata Diouf menggambarkan tentang banyaknya jamaah haji asal Indonesia itu ,"jumlah mereka kira-kira 300.000 orang jika sudah berkumpul di sini semua saat haji nanti."

Tepat ketika mereka mulai mengemasi alas kaki masing-masing di depan gerbang King Abdul Azis, satu rombongan besar berikutnya yang berbendera Cina ikut melintas menuju ke pintu lainnya, mungkin menuju babus salam atau entah pintu yg mana. Dan waktu itu rupanya sudah hampir menunjuk jam setengah dua saat bayangan mereka semua lenyap ke dalam gerbang besar itu.

Di sisi lain di kota Mekkah, Sayid dan Fatimah, sepasang suami istri yg sudah sepuh sedang berkemas untuk berangkat ke Haram dari penginapan mereka di ujung jalan Hijrah. Botol plastik kecil seukuran 350 ml sedang diisi dengan air dari dispenser oleh tangan kecil Fatimah. Sedangkan Sayid yang berdiri di dekatnya itu masih sibuk membenahi letak surbannya. Ia tak ingin udara dingin dari AC di dalam masjid nanti mengganggu kekhusyukan sholat malamnya.

"Kita nanti berjalan kaki atau naik bus sholawat saja?" Tanya Sayid memberi opsi kepada istrinya.

"Jam berapa to sekarang, bi?" Tanya Fatimah balik kepada Sayid, yang kemudian menjulurkan lengan kiri menunjukkan jam tangan di pergelangannya.

"Baru setengah dua to? jalan sajalah ya?" Fatimah menawar. Memang waktunya masih sangat longgar menuju shubuh di jam 5 pagi nanti. Sedangkan perjalanan dengan berjalan kaki hanya perlu waktu setengah jam dari penginapan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun