Mohon tunggu...
Mustaqim Muslimin Abdul Ghani
Mustaqim Muslimin Abdul Ghani Mohon Tunggu... -

seorang bodoh yang sedang belajar untuk terus memberi manfaat ... ciyeeeeee! Idealis banget!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sajadah Milik Pierre

17 Desember 2014   20:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:07 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ah, seandainya itu adalah aku dan Marrion." Ujarnya dalam hati.

Bagian 5


Langkah kaki Pierre bersama Sebastian semakin cepat saja, bahkan setengah berlari. Degupan jantungnya pun makin kencang saja. Bukan terengah-engah karena setengah berlari itu yang membuat degupnya makin kuat, namun lebih karena ketakutan mereka. Takut bilamana mereka tertinggal menunaikan jamaan ashar, sedangkan tadi mereka telah lalai dengan adzan yang sudah jelas mereka dengar. Sibuk dengan urusan belanja seusai jamaah jumat tadi.

"Allah hanya memanggil kita 3 kali dalam hidup ini," ustad Abou Baker pernah mengingatkan hal yang penting tentang adzan itu. "Yang pertama adalah panggilan adzan, yang menyeru kita untuk bersegera sholat. Yang kedua adalah panggilan berhaji atau setidaknya berumroh bila mampu. Dan terakhir adalah panggilan saat kematian kita nantinya."

"Adzan itu adalah panggilan Allah yang pertama. Panggilan ini sangat jelas terdengar di telinga kita, bahkan sangat kuat terdengar. Ketika kita sholat, sesungguhnya kita menjawab panggilan Allah. Tetapi Allah masih fleksibel, Dia tidak 'cepat marah' akan sikap kita. Kadang kita terlambat, bahkan tidak sholat sama sekali karena malas. Allah tidak marah seketika. Dia masih memberikan rahmat-Nya, masih memberikan kebahagiaan bagi umat-Nya, baik umat-Nya itu menjawab panggilan Adzan-Nya atau tidak. Allah hanya akan membalas umat-Nya ketika hari Kiamat nanti" tegas ustadz Abou Baker kembali.

Tak terasa air mata Pierre menitik dan mulai membasahi pipinya, saat kaki-kakinya mulai menapaki jalanan di bawah Menara Jam. Iqomah sudah mulai dikumandangkan, mereka tak bisa mengejar tempat di dalam lingkungan masjid Al Haram. Mau tidak mau, mereka harus bergabung dengan jamaah lain yang mulai menggelar sajadah mereka di trotoar atau selasar pertokoan di bawah Menara Jam itu. Tak memungkinkan menerobos jamaah yang sudah mulai berhenti berjalan itu. Dzalim malah lebih dekat dengan mereka jika tetap menerobosnya.

"Kamu masih punya wudhu?" tanya Sebastian kepadanya.

"Entahlah, ... kamu sendiri bagaimana?" Pierre balik bertanya.

"Aku belum batal. Ini pakailah untuk berwudhu." jawab Sebastian sembari mengulurkan botol minum kepada Pierre. "Basuh secukupnya saja." pesan Sebastian menyambungkan. Pandangannya sambil menyapu ke arah yang lebih layak untuk mereka sholat, saat Pierre memulai wudhunya di pinggir trotoar di depan toko roti Broast. Kumandang iqomah sudah hampir berakhir, namun mereka masih belum bersiap pula di dalam barisan sholat.

Seorang laki-laki tua dengan jenggot yang disemir merah, umumnya jamaah haji dari Bangladesh memakai pewarna dari tumbuh-tumbuhan untuk menyemir rambut, kumis dan jenggot mereka, tampak melambaikan tangan mengajak mereka merapat ke shaf yang telah disusun laki-laki tua itu bersama dua jamaah yang lain. Sebastian segera merapatkan diri, berniat dan segera bertakbiratul ikrom. Pierre segera menyusul di sebelah kanannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun