Mohon tunggu...
Mustaqim Muslimin Abdul Ghani
Mustaqim Muslimin Abdul Ghani Mohon Tunggu... -

seorang bodoh yang sedang belajar untuk terus memberi manfaat ... ciyeeeeee! Idealis banget!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sajadah Milik Pierre

17 Desember 2014   20:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:07 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di saat bersamaan dengan Sayid dan Mursyid menggelar sajadahnya, serombongan orang yang tinggi besar menyeruak menembus ke shaf-shaf terdepan. Sayid beringsut merapatkan barisannya dengan Mursyid, untuk memberi ruang yang lebih lapang kepada jamaah lain yang terdesak oleh rombongan yang baru datang tadi.

Di ujung belakang rombongan tadi tampak tergopoh-gopoh Pierre bersama beberapa rekannya yang lain, tampaknya ia cukup terhambat untuk mencapai shaf di lantai 3 ini bersama rekan-rekan satu rombongan yang telah bertemu di depan gerbang masjid ini. Pierre ikut menyusul menerobos barisan sholat yang tampak agak longgar setelah didesak rombongan di depannya. Kebetulan sekali lokasi barisan yang mereka tuju di depannya sudah penuh, sehingga sebagian yang lain terpaksa mundur kembali. Demikian pula dengan Pierre dan kawan-kawannya, terpaksa membuat shaf yang benar-benar baru di antara shaf depan yg telah penuh dan shaf Sayid di belakangnya yang juga telah penuh, karena tidak kebagian barisan. Bahkan kakinya saat ini berpijak di bagian atas sajadah milik Sayid. Ia gugup menemui dirinya berada di tempat yang "salah" ini. Konsentrasinya jadi kacau, bahkan keringatnya mulai menitik di dalam udara yang kering di dalam masjid Al Haram ini.

Sayid demi menemui tempat sholatnya menyempit tinggal kurang dari 3/4 panjang sajadahnya saja, hanya melafadzkan istighfar secara beruntun, sambil menegaskan keyakinan dalam hatinya seperti yang telah dialami sebelumnya.

"Tidak ada tempat sempit di dalam masjid Allah ini. Semuanya tamu Allah, akan dijamu Allah dengan sebaik-baiknya pula." Demikian ia menegaskan dalam tekadnya. Memang sebelumnya, beberapa kali ketika berada di shaf depan, ia sempat mengalami harus terdesak oleh beberapa jamaah yg memaksa mendapatkan tempat sholat. Namun ia dengan segala keyakinannya akan kebesaran Allah yang menjadikan dirinya tamu Allah, masih bisa melaksanakan sholat tanpa merasa kesempitannya sama sekali.

Bahkan saat ini, ketika nampak olehnya gerak-gerik kegugupan jamaah di depannya, yang muncul justru rasa kasihan di dalam batinnya kepada jamaah itu. Sholat maghrib telah dimulai, hati dan pikiran Sayid mulai ia pusatkan sepenuh-penuhnya utk menghadapkan wajahnya hanya kepada Allah. Dia seolah telah mendapati dirinya di antara jutaan jamaah yg bersama-sama rukuk dan sujud, membentuk suatu barisan yg begitu indah dan rapi dalam padang hijau yang sedemikian luasnya.

"Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar" kalimat itu terus mengalir dalam benaknya hingga usai bersalam. Allah Maha Besar, dan dia sangat kecil dalam pandangan itu. Ruang yang semula sempit di sekitarnya tadi betul-betul menjadi lebar selebar-lebarnya. Sekali lagi, Sayid mengalaminya di dalam Al Haram ini, dalam lingkup yang semestinya dia kesulitan bergerak, apalagi untuk bersujud, ternyata badan dan kepalanya begitu bebas dalam lingkup yang sesungguhnya hanya lebih sedikit panjang dari separuh sajadahnya itu. Air matanya terus berderai demi menyadari kebesaran kuasa Allah ini.

Usai bersalam, Sayid bergegas menyusulinya dengan sholat rawatib sebelum sholat jenazah dimulai. Pierre diam tak bergerak dalam duduknya, karena ia belum bisa menyibak separuh sajadah yang didudukinya. Pemilik sajadah di belakangnya cepat sekali dalam menyambungkan sholat demi sholat.

"Hei, sajadah ini sajadah yang kucari-cari tadi!" Pekik dalam hatinya girang demi mengetahui sajadah ungu yang didudukinya ini sama persis dengan sajadah yang diburunya tadi.

"Aku akan segera minta maaf, sekaligus cari tahu di mana kakek ini mendapatkannya." Rencana itu begitu saja mengalir dalam benak Pierre, diikuti dengan bayangan wajah penuh senyuman Marrion yg bahagia menerima hadiahnya ini, sebelum kemudian bayangan itu terbuyarkan oleh tangan Sebastian yg meraih pundaknya, mengajak untuk segera bangkit berdiri menyisih dari sajadah yang dipijaknya.

Saat Pierre menoleh ke belakang kemudian, didapatinya kakek di belakangnya telah selesai melipat sajadah ungunya dengan rapi. Tak lama kemudian pandangan kedua insan ini saling beradu, dan disusul tangan kiri sang kakek yang meraih tangan kanan Pierre. Sayid menyodorkan sajadah ungu itu kepada Pierre sambil berkata, "Ini sajadahmu, Nak!"

Pierre hanya terbengong saja ketika tangan kirinya pun didekapkan ke sajadah itu oleh tangan kanan Sayid. Ia tak bisa berkata-kata ketika telunjuk Sayid menuding-nuding sajadah itu dan dada Pierre, seolah menegaskan bahwa sajadah itu benar-benar diberikan kepadanya. Ia masih terpaku terharu mendapati kebaikan hati sang kakek tersebut, yang mana tak marah sedikit pun akibat sajadahnya terinjak oleh Pierre, melainkan malah dengan penuh senyuman dan rasa senang hati menghadiahkan sajadah ungu yang diidam-idamkannya itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun