“Aku pikir kamu tahu alasanku” kini bendunganku bocor. Air perlahan luruh dari sudut mata.
“Ya, aku tahu” Jawabnya singkat.
Ia tampak memperbaiki posisinya. Aku menunduk agar tangisku tak kentara dihadapanya.
Sebuah kehangatan menguasai tangan kiriku yang tergelatak di meja. Kupicingkan mata dan kulihat tangannya tengah menggengam tanganku. Tangan yang sama, perasaaan yang sama namun kondisi yang sudah sangat berbeda.
“Aku minta maaf tak pernah mengabarimu” ucapnya perlahan. Ada getar yang kurasa disana mungkin ia mencoba menguasai dirinya sendiri. “ maafkan aku yang terlalu takut jujur padamu”
Terlalu sakit. Ya, ia terus berbicara. Dan hanya sekilasku mendengarnya. Aku terlampau takut mendengar semua cerita darinya. Dan aku terlalu takut ia akan melepas genggaman tangannya. Dan kembali membuatku limbung seperti 3 tahun ini.
“Dia adalah wanita yang dipilih ayahku sebelum beliau meninggal dunia. Aku sangat menyayangi ayahku, dan aku tak mau mau mengecewakanya, ini adalah permintaan terakhir darinya” ucapnya. Kini ia terisak pelan. Matanya mendung. Mata yang selalu aku suka karena memancarkan keteduhan yang tak perlu kudapati lagi setelah tak lagi bersamanya.
Dan kini, mata teduh itu beriak dan akulah penyebabnya. Sungguh aku adalah wanita yang bodoh. Mampu menempatkan air mata pada mata seoarang yang aku cintai sepenuh raga.
“aku minta maaf Lisa” ucapnya seraya merunduk dan menarik tangannya dari tanganku.
Semua sudah terjadi. 3 tahun lalu kudapati kontrakannya tak berpenghuni. Seminggu setelah lebaran. Ia tak kunjung datang. Aku menunggunya. Membiarkan pintu kamarku tak kututup sampai jauh malam. Dan membukanya sebelum subuh berkumandang. Hanya untuk memastikan apa dia sudah kembali ke tempatnya. Apa dia sudah pulang
Aku melakukannya seminggu penuh sejak hari pertama dia tak ada. Ku tanya beberapa rekannya semua tak ada yang tahu. Pernah ada desas desus bahwa ia pulang kampung dan mungkin tak akan pernah kembali. Aku tak mau mengamininya sebab artinya aku memutus pengharapanku.