Mohon tunggu...
Murodi Shamad
Murodi Shamad Mohon Tunggu... -

Seorang lulusan SMK yang memiliki hobi menulis, membaca dan melamun serta kerap ditemukan tengah berbincang dengan tembok dan kucing.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hujan dan Sebuah Ketuntasan Rindu

16 Desember 2015   08:40 Diperbarui: 16 Desember 2015   12:26 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Aku pikir kamu tahu alasanku” kini bendunganku bocor. Air perlahan luruh dari sudut mata.

“Ya, aku tahu” Jawabnya singkat.

Ia tampak memperbaiki posisinya. Aku menunduk agar tangisku tak kentara dihadapanya.

Sebuah kehangatan menguasai tangan kiriku yang tergelatak di meja. Kupicingkan mata dan kulihat tangannya tengah menggengam tanganku. Tangan yang sama, perasaaan yang sama namun kondisi yang sudah sangat berbeda.

“Aku minta maaf tak pernah mengabarimu” ucapnya perlahan. Ada getar yang kurasa disana mungkin ia mencoba menguasai dirinya sendiri. “ maafkan aku yang terlalu takut jujur padamu”

Terlalu sakit. Ya, ia terus berbicara. Dan hanya sekilasku mendengarnya. Aku terlampau takut mendengar semua cerita darinya. Dan aku terlalu takut ia akan melepas genggaman tangannya. Dan kembali membuatku limbung seperti 3 tahun ini.

“Dia adalah wanita yang dipilih ayahku sebelum beliau meninggal dunia. Aku sangat menyayangi ayahku, dan aku tak mau mau mengecewakanya, ini adalah permintaan terakhir darinya” ucapnya. Kini ia terisak pelan. Matanya mendung. Mata yang selalu aku suka karena memancarkan keteduhan yang tak perlu kudapati lagi setelah tak lagi bersamanya.

Dan kini, mata teduh itu beriak dan akulah penyebabnya. Sungguh aku adalah wanita yang bodoh. Mampu menempatkan air mata pada mata seoarang yang aku cintai sepenuh raga.

“aku minta maaf Lisa” ucapnya seraya merunduk dan menarik tangannya dari tanganku.

Semua sudah terjadi. 3 tahun lalu kudapati kontrakannya tak berpenghuni. Seminggu setelah lebaran. Ia tak kunjung datang. Aku menunggunya. Membiarkan pintu kamarku tak kututup sampai jauh malam. Dan membukanya sebelum subuh berkumandang. Hanya untuk memastikan apa dia sudah kembali ke tempatnya. Apa dia sudah pulang

Aku melakukannya seminggu penuh sejak hari pertama dia tak ada. Ku tanya beberapa rekannya semua tak ada yang tahu. Pernah ada desas desus bahwa ia pulang kampung dan mungkin tak akan pernah kembali. Aku tak mau mengamininya sebab artinya aku memutus pengharapanku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun