“kamu ga ikutan nonton ?” ujarku. Seperti ada batu es yang menggelosor dalam dadaku mendengar kata “Arindi” dan “Rivan”
“Lah, aku kan mau nemuin kamu. Tadi juga udah bilang kok dan ngajakin Arin, tapi katanya dia ga mau ganggu. Haha. Mungkin Rivan kali yang bakal ganggu kita” ujarnya sambil tergelak. Ada pancaran bahagia yang tak pernah kusentuh lagi sejak 3 tahun lalu.
“ Rivan udah bisa apa aja ? umurnya sekarang 2 tahun kan ?” tanyaku” pasti sedang lucu-lucunya ya” lanjutku. Ku teguk green late yang entah kenapa menjadi lebih pahit.
“Sedeng bandel-bandelnya iya. Apa aja maunya dilempar. Untung aku punya istri yang tabah kaya Arin” Ia memandangku, kualihkan mataku ke arah gerombolan anak muda yang tengah bercanda di ujung sana”alhamdulillah, Rivan udah bisa jalan dan bicara, meski belum lancar-lancar banget, Arin nanyain kamu terus tuh, Rivan juga pasti mau ketemu tantenya” lanjutnya.
Ia tampak bahagia, bahagia
Dulu aku juga sempat mengecap kebahagiaan yang sama. Kebahagiaan yang tubuh tanpa aku sadari. 3 tahun mengenalnya. Aku tahu segalanya tentang dia. Pun dia juga demikian. Kami satu kantor dulu. Hanya beda divisi. Kami kerap jalan bersama. Dialah orang pertama yang menyapaku sewaku aku berkerja pada hari pertama. Dia yang mengenalkan aku dengan pemilik kontrakan yang aku tinggali selama 3 tahun.
Kontarakan kami hanya terpisah selapis tembok. Aku kerap bertandang ke kontrakannya. Dia juga sering bertamu ke kontarakanku. Bahkan, bisa dibilang waktunya di kontrakanku jauh lebih lama ketimbang dia berada di kontrakannya sendiri.
Semua berjalan bergitu menyenangkan kala itu. Dia yang perantauan dan akupun perantauan membuat kami merasa memliki kesamaan nasib yang membuat kami semakin dekat. Semua ia yang pertama negetuk pintu kontarakanku kala pagi datang. Dan dia pun yang terakhir menutupnya ketika malam melumat alam.
“Aku shock waktu kamu mendadak pergi, selama seminggu setelah lebaran, aku pikir kamu ga akan pernah ballk lagi kesini” ucapku tenang. Lebih tepatnya di tenang-tenagkan. Meski perasaaan bergolak bagaikan lava di rahim merapi.
Ia menghentikan memainkan gelasnya yang sudah kosong isinya. Ada jeda yang tercipta. Sepi memeluk kami.
“Aku juga shock waktu kamu mendadak pergi. Resign mendadak. Bahkan kamu tidak pamit padaku” Ucapnya datar. Jujur, aku kecewa ia mengemabalikan ucapanku. Harsunya ia yang menjadi terdakwa sore ini ”dan kamu seperti menghilang. Berkali ku telepon, ku sms, tapi kamu ga pernah menjawab”lanjutnya