“ada lagi, mba ?” si pelayan menayaiku.
Aku menggeleng sambil brkata “tidak” dia lantas beranjak pergi. Ku kembali pandangi seliweran orang ddisekitarku. Langit mendadak mendung. Angin berembus kencang menggoyang payung-payung dan tenda yang berjajar rapi.
Handphoneku bergetar. Ada pesan darinya
“maaf saya telat, Bekasi macet banget” tulisnya dalamm pesan singkat itu.
“iya ga papa, saya sudah sampai” balasku cepat. Kembali kuletakan handphoneku. Sekilas kulihat jam pada layarnya sudah lewat 15 menit dari waktu yang kami janjikan. Tak apalah toh hari ini aku juga tidak ada janji dengan siapa-siapa. Selain denganya.
Gemulung awan kian menebal. Angin berhembus perlahan. Sepertinya sebentar lagi hujan. 30 menit berlalu dan dia kembali mengirimkan pesan singkat.
“aku sudah sampai, kamu masih distu kan?” tanya
“iya, mau kupesankan minum ?” balasku.
Tak berselang lama ia menjawab “ boleh, seperti biasa, ya ?”
Aku tersenyum kecil. Seperti biasa. Apa dia tak merubah kebiasannya sejak 3 tahun yang lalu. Kulirik seorang pelayan yang kebetulan berada tak jauh dari tempatku duduk. Ia berjalan kearahkaku. Tanpa melihat menu aku minta segelas teh panas dengan gula hanya sedikit. Kuberi analogi. Jika tehnya satu gelas ukuran sedang. Maka gulanya hanya seujung sendok. Tak boleh banyak. Ia tak suka manis. Meski ku pikir gula seujung sendok tak akan menberi pengaruh apa-apa.
Sang pelayan mengganguk pelan. Ia beranjak menuju ke dalam. Kembali kuamati deretan aksara pada layar handphoneku “ seperti biasa ,ya ?” dia pasti tahu aku tahu kebiasannya. Lebih dari siapaun. Lebih dari siapapun.