Kedua faktor yang mengangkat posisi kota Mekkah menjadi pusat perhatian seperti disebutkan di atas, menimbulkan rasa iri di kalangan para penguasa dan orang-orang kuat di berbagai kabilah maupun kerajaan tertentu (seperti kerajaan Abbesinia). Oleh sebab itu banyak pihak yang berhasrat ingin menguasai, atau setidaknya menjadi orang yang di percaya memimpin kota Mekkah. Kenyataan demikian semakin memperkokoh arti pentingnya kota Mekkah, bukan hanya secara ekonomis dan religius, tetapi juga secara politis.
Salah satu usaha yang pernah ditempuh guna memenuhi ambisi me nguasai kota Mekkah, antara lain adalah datang dari pasukan Abrahah dengan tentara gajahnya (peristiwa ini diabadikan olen Al-Qur'an pada surat Al-Fil). Percobaan pengambilan kekuasaan tersebut mengalami kegagalan, sehingga semakin memperkuat posisi kota Mekkah sebagai kota terpenting di jazirah Arab.
Peristiwa kegagalan tentara Abrahah, selain mengangkat posisi kota Mekkah, juga semakin membangkitkan kebanggaan di kalangan masyarakatnya terhadap apa yang tengah mereka miliki hingga saat itu. Salah satu manifestasi kebanggaan tersebut adalah seringnya penduduk Mekkah berkumpul di sekeliling Ka'bah untuk bersenang-senang sembari meminum nabidh (minuman keras) dan mendengarkan cerita-cerita tentang masyara kat pedalaman.Begitulah suasana kota Mekkah sebelum kedatangan Islam.
 Dengan kondisi geografis serta kebiasaan sehari-hari yang telah digambarkan terdahulu, orang seperti Arab memiliki tiga macam simbol kebanggaan, yakni: keturunan, kemahiran menunggang kuda, dan kepandaian berbicara.
Keturunan bagi orang Arab benar-benar merupakan sesuatu yang sangat mendasar. Mungkin hal ini berkaitan dengan faktor ekonomi, sehingga semakin banyak keturunan seseorang maka semakin terbuka peluang untuk memperoleh sebanyak-banyaknya barang kebutuhan untuk konsumsi.Â
Demikian seterusnya hingga derajat seseorang di tengah masyarakat akan sangat bergantung pada besar-kecilnya keturunan, tinggi-rendahnya kemuliaan hubungan nasab dengan orang-orang ter dahulu, atau keadaan tertentu yang mencirikan ketinggian suatu suku. Itulah sebabnya orang-orang Arab merangkai nama individu dengan silai lah keturunan, atau suku tertentu.
Keadaan seperti ini melahirkan stratifikasi sosial kedalam lapisan suku-suku, yang wujud fisiknya terlihat pada Jauh dekatnyatempat tinggal seseorang atau suatu keluarga dengan bangunan Ka'bah. Mereka yang rumahnya terdekat dengan Ka'bah, tentulah akan menjadi anggota terhormat di tengah masyarakat itu. Demikian pula sebaliknya.Â
Simbol kedua dalam susunan kebanggaan orang Arab adalah kemahiran menunggang kuda. Kemahiran berkuda ini pada mulanya hanya sekedar untuk kepentingan pengembaraan di tengah padang pasir geni ke perluan perniagaan. jarak tempuh yang sangat Jauh dan menuntut tersedianya sarana transportasi yang memadai.Â
Oleh sebab itu kemahiran mengendalikan kuda, sebagai satu-satunya sarana yang mampu berpacu dengan waktu, merupakan kebutuhan utama dalam kehidupan orang-orang Arab. Akan tetapi lambat-laun kuda tidak hanya sekedar menjadi sarana angkut, tetapi juga sangat efektif untuk kepentingan pertahanan. Setelah mahir mengendalikan kuda dan disatukan dengan kepandaian memanan yang mereka peroleh dari Afrika, maka kemahiran berkuda berkembang sedemikian rupa hingga c munculkan teknologi perang yang cukup maju ketika itu.
Akibatnya tumbuh pula model stratifikasi kedua, yakni memandang posisi sosial seseorang atau suatu keluarga berdasarkan kemanpuannya dalam berperang. Kegagahannya dalam menaklukkan lawan di medan perang menimbulkan keseganan dan kewibawaan di tengah masyarakat. Dengan demikian kejayaan seseorang dalam menaklukkan musuh, akan semakin meningkatkan kedudukannya di masyarakat.Â
Hal ini akan tercermin dalam panutan terhadap tinggah lakunya, ketaatannya terhadap perintah, serta perlindungan diri dari ancaman luar. Begitulah perlakuan orang Arab ter hadap keperkasaan seseorang.